TAZAKKA – Setiap tanggal 17 Agustus, Pondok Modern Tazakka menyelenggarakan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI. Untuk upacara HUT kemerdekaan RI ke-76, diselenggarakan di area kampus Tazakka, pada Selasa pagi (17/8).
Upacara ini diikuti oleh seluruh guru dan santri, termasuk keluarga guru tanpa kecuali. Bertindak selaku Inspektur Upacara adalah Pimpinan dan Pengasuh Pondok KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A.
Diawali dari mengheningkan cipta untuk mendoakan para syuhada pahlawan kemerdekaan RI, lalu pembacaan Naskah Proklamasi Kemerdekaan oleh Ustadz Haris Adam Ishlahi, kemudian Pembukaan UUD 1945 oleh Ustadz H. Hakim As-Shidqi, M.Pd.I, dan Pancasila oleh Inspektur Upacara ditirukan oleh seluruh hadirin.
Pengibaran Bendera Merah Putih dilakukan oleh Tim Paskibra Pondok Modern Tazakka yang terdiri dari para santri. Sesaat sebelum Merah Putih dikibarkan, Komandan Upacara menyerukan hormat bendera, dan seketika itu seluruh peserta upacara menghormat bendera diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Dalam amanahnya, Inspektur Upacara mengingatkan kembali tentang tujuan kemerdekaan. Yaitu terciptanya sebuah bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Menurutnya, kedaulatan bermakna bebas dari intervensi asing: daulat secara teritorial, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta sosial dan budaya. Sedangkan adil, bukan lagi sekedar sebagai sebuah sistem dan nilai, akan tetapi juga sebagai sebuah rasa.
“Negara harus dapat mewujudkan rasa keadilan pada seluruh rakyat Indonesia, dari sisi keadilan politik, hukum, ekonomi, dan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Sila Kelima Pancasila” tandasnya.
KH. Anang Rikza Masyhadi juga mengingatkan bahwa kita termasuk bangsa yang paling majemuk di dunia. Ada 300 lebih suku bangsa; 700an lebih bahasa ibu yaitu bahasa yang digunakan pertama kali oleh anak-anak Indonesia; dan ada enam agama resmi.
“Secara geografis, Indonesia terdiri dari lebih 16.000 pulau, baik yang besar maupun yang kecil, membentang dari Sabang hingga Merauke: sama seperti bentangan luas wilayah dari London ke Istanbul. Secara demografis, penduduk negeri ini menurut sensus BPS 2020 telah mencapai 270an juta” imbuhnya.
Menurutnya, meskipun berbeda-beda bangsa ini telah menyatakan diri sebagai satu kesatuan Negara Republik Indonesia, melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selama 76 tahun tidak ada masalah. Semua penduduk negeri ini menyadari bahwa mereka bertumpah darah yang sama yaitu Indonesia; berbangsa yang sama yaitu bangsa Indonesia; dan berbahasa yang sama yaitu bahasa Indonesia.
Kemudian, sebagai bangsa, kita telah bersepakat dengan empat pilar kebangsaan dan kenegaraan, yaitu Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara dan Bhineka Tunggal Ika sebagai seboyan negara.
“Sudah lengkap, dan itu semua hasil konsensus para pendiri Republik ini, empat pilar itu milik bersama kita semua, maka jangan disempitkan menjadi seolah-olah milik sekelompok saja, maka jangan ada orang yang merasa paling Pancasila, atau paling NKRI, atau paling toleran dalam kebhinekaan. Ini akan mengganggu suasana kebatinan dan keikhlasan masyarakat luas, yang selama ini loyal melaksanakan semua itu dalam prilaku keseharian” lanjutnya.
Jikapun ada yang anti Pancasila dan NKRI, lanjutnya, mereka hanyalah kelompok kecil, sangat kecil dan bukan mainstream, bukan arus utama. Sebaiknya, ditangani saja secara terbatas dan dilokalisir. Tidak perlu menjadi wacana nasional, apalagi yang terus menerus didengung-dengungkan.
“Toleransi itu, bagi bangsa Indonesia bukan lagi sekedar budaya, tetapi telah menjadi watak dan karakternya. Ibarat orang ngaji, sudah khatam, dan selama ini tak pernah ada masalah yang berarti. Memang ada satu dua yang intoleran, tapi mereka yang intoleran itu tidak mainstream, bukan kelompok arus utama” ungkap Kandidat Doktor Suez Canal University, Mesir.
Bahkan, tandasnya lagi, antar suku dan adat telah melebur dan mencair di masyarakat, bahkan terjadi perkawinan silang diantara mereka. Antar pemeluk agama pun selama ini saling menghormati dalam ibadah dan keyakinannya masing-masing. Tidak ada masalah.
Maka, menurutnya, tidak perlu tema toleransi digaungkan secara berlebihan dan overdosis, jangan pula makna toleransi dibawa menjauh dari konteks yang sebenarnya, karena hal ini dapat mengotori kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita.
“Sudahilah, kembalilah hidup normal seperti dulu, ketika toleransi itu tidak banyak diucapkan, namun dipraktekkan dalam kehidupan nyata sehari-hari” pesannya kepada peserta upacara.
Inspektur Upacara KH. Anang Rikza Masyhadi juga menyerukan agar seluruh Warga Negara Indonesia kembali ke jati diri dan pangkuan Indonesia yang sejati, yang otentik, dengan tulus dan ikhlas, sebagaimana dahulu para pahlawan dan pendiri Republik ini telah menyontohkannya.
“Tugas negara adalah menyambung kembali yang retak, dan merangkai yang terserak supaya menjadi utuh kembali, rangkul mereka yang khilaf, jangan dipukul, gunakanlah pendekatan persuasif, dan introspeksilah ke dalam, barangkali ada hak-hak warga yang belum tertunaikan yang membuat mereka seolah seperti melawan” pungkasnya.
Di bagian akhir, Inspektur Upacara berpesan kepada para santri agar menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh untuk mewarisi dan mengelola negeri ini di masa depan.
“Saya percaya, para santri yang terdidik dengan ilmu pengetahuan dan sains, yang memiliki akhlakul karimah, dan berjiwa nasionalis serta patriotis, kalian benar-benar dinantikan oleh negeri ini untuk tampil menjadi pemimpin di masa depan” tegas Beliau yang disambut dengan ucapan “amin” oleh seluruh peserta upacara.
Usai upacara, para santri merayakan dan memeriahkan HUT Kemerdekaan RI melalui berbagai perlombaan, atraksi dan penampilan-penampilan kesenian hingga malam hari. @aliakbar
Sebelumnya:
Selamat Hari Pramuka (14 Agustus)