Pengabdian kepada umat harus senantiasa dilakukan secara kaffah, total dan maksimal. Demikian prinsip yang mengakar kuat di jiwa almarhum KH. Mohammad Tidjani Djauhari, M.A. hingga maut menjemputnya, Kamis, 27 September 2007. Ibarat matahari, kehadiran Tidjani, tidak saja sebagai penebar cahaya, ia adalah cahaya itu sendiri yang mampu menerangi ruang kesadaran umat Islam dari segala penjuru.
Matahari Itu Terbit
Mohammad Tidjani dilahirkan pada 23 Oktober 1945 di Prenduan, sebuah desa kecil 22 km timur kota Pamekasan dan 30 km di sebelah barat kota Sumenep. Mohammad Tidjani adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya, KH. Djauhari Chotib, adalah seorang ulama besar, tokoh Masyumi, dan pendiri Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.
Sejak kecil, Mohammad Tidjani tumbuh berkembang dalam ranah pendidikan Islam yang sangat kental. Hal itu tak lepas peran ayahnya, Kiai Djauhari, yang berobsesi kelak Tidjani mampu menjelma pribadi muslim yang memiliki mental dan kepribadian yang tangguh. Karena itu, Tidjani kecil sangat akrab dan menikmati pendidikan keagamaan yang telah diterimanya sejak kecil. Tahun 1953, Tidjani menapakkan kakinya di bangku Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ulum Al-Washiliyah (MMA). Di sinilah, ia memulai belajar dasar-dasar ilmu pengetahuan. Hari-hari baginya adalah kesempatan emas untuk mengasah diri dan memperluas wawasan keilmuan. Tidjani sebagai matahari kecil mulai menebarkan cahaya. Cahayanya menelisik dan meranumkan senyum masyarakat Prenduan saat itu yang menaruh harapan besar di pundaknya.
Dari Gontor ke Saudi Arabia
Mengetahui minat dan bakat intelektual yang terpendam dalam Tidjani cukup besar, tahun 1958, Kiai Djauhari mengirimnya untuk nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor. Apalagi, Kiai Djauhari cukup kagum dengan sistem dan pola pendidikan modern yang diterapkan di pondok pimpinan KH. Imam Zarkasyi itu. Sebuah pondok yang tidak mengenal kamus dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Di sinilah, Tidjani memulai petualangan ilmu pengetahuannya. Tidak saja ilmu-ilmu keagamaan yang ia pelajari, melainkan juga keterampilan dasar kepemimpinan dan manajemen. Tidjani dikenal santri yang cerdas. Tak ayal, prestasi akademik tertinggi pun selama nyantri Gontor diraihnya.
Bulan Januari 1964, Tidjani tamat dari KMI Gontor dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Darussalam (PTD) —UNIDA sekarang, red) sekaligus menjadi guru KMI Gontor. Waktu itu, Tidjani dipercaya sebagai sekretaris Pondok dan staf Tata Usaha PTD. Jabatan ini tergolong baru di Gontor. Jadilah Tidjani sebagai sekretaris pertama di Pondok Modern Gontor. Posisi sebagai sekretaris beliau manfaatkan dengan maksimal. Jabatan inilah yang memungkinkannya untuk melakukan interaksi secara luas dengan berbagai pihak secara intens, tak terkecuali dengan almarhum KH. Imam Zarkasyi, yang kelak menjadi mertuanya, setelah Tidjani mempersunting putrinya, Anisah Fathimah Zarkasyi. Inilah kado paling berharga dalam petualangan panjang Tidjani belajar di Gontor, sekaligus menandai lahirnya babak baru komunikasi edukatif antara Al-Amien dan Gontor.
Setelah mengabdi setahun di Gontor, tahun 1965, Tidjani melanjutkan studinya di Universitas Islam Madinah. Kesuksesan studinya di universitas ini, di antaranya, berkat usaha kakeknya, Syeikh Abdullah Mandurah. Tahun 1969, Tidjani tamat belajar tingkat license dari Fakultas Syariah Jamiah Islam Madinah dengan predikat mumtaz. Tak puas, tahun 1970, Tidjani melanjutkan studi magisternya di Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah, hingga akhirnya lulus tahun 1973, dengan tesis “Tahqiq Manuskrip Fadhail Al-Quran wa Adaabuhu wa Muallimuhu li-Abi Ubaid Al-Qosim” (Keistimewaan Al-Quran: Etika dan Rambu-rambunya dalam Perspektif Abu Ubaid Al-Qosim). Sebuah kajian mendalam tentang sebuah manuskrip kitab tentang Al-Quran yang dikarang oleh Abu Ubaid Al-Qosim, seorang ulama Syam, yang hidup sezaman dengan Imam Syafi’ie. Bahasa asli kitab ini masih menggunakan bahasa Romawi. Untuk kepentingan inventarisasi dan pendalaman bahan penelitian ini, Tidjani menjelajahi perpustakaan-perpustakaan di Turki, Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Spanyol hingga Mesir. Alhasil, penjelajahan intelektual akademisi yang cukup melelahkan itu mengantarkannya meraih predikat mumtaz (cum laude)dari Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah.
"Tidjani menjelajahi perpustakaan-perpustakaan di Turki, Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Spanyol hingga Mesir. Ahasil, penjelajahan intelektualnya itu mengantarkan meraih predikat cumlaude dari King Abdul Aziz University, Makkah".
Meniti Karier di Rabithah ‘Alam Islami
Tidjani mengagumi sosok seorang Muhammad Natsir sebagai pibadi besar dan berwibawa. Tidjani masih tercatat sebagai mahasiswa di Jamiah Islamiyah Madinah.
Kisah ini bermula ketika M. Natsir (dai, ulama, politisi, ketua Partai Masyumi, dan mantan Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia tahun 1950-1951) menghadiri undangan sebagai tamu pemerintah Saudi Arabia untuk mengetahui tim ulama dari Saudi Arabia, Irak, Tunisia, Maroko dan Mesir guna mengantisipasi problematika tanah Quds setelah jatuh ke tangan Zionis Yahudi tahun 1967. Saat itu, M. Natsir tercatat sebagai anggota Rabithah Alam Islami dan Muktamar Alam Islami. Kedatangan M. Natsir dimanfaatkan oleh Tidjani untuk berkenalan dan bersilaturrahim.
Kariernya di Rabithah melesat cepat. Beberapa jabatan penting pernah direngkuhnya, antara lain: Anggota Bidang Riset (1974-1977), Sekretaris Departemen Konferensi dan Dewan Konstitusi (1977-1979), Direktur Bagian Penelitian Kristenisasi dan Aliran-aliran Modern yang Menyimpang (1979-1981), Direktur Bagian Keagamaan dan Aliran-aliran yang Menyimpang (1983-1987), dan Direktur Bagian Riset dan Studi (1987-1988).
Tidak banyak tokoh Indonesia yang dipercaya menduduki jabatan bergensi di Rabithah Alam Islami, sebuah wadah organisasi dunia Islami layaknya PBB. Tidjani mengakui bahwa itu semua berkat ajaran hidup dan ilmu bahasa Arab dan Inggris yang ia dapatkan ketika nyantri di Gontor. Keaktifannya di Rabithah Alam Islami inilah yang mengantarkannya menjelajahi berbagai negara di belahan dunia: Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia. Di antaranya, tahun 1976, Tidjani mengikuti Konferensi Islam di kota Dakkar, Senegal.
Berlabuh di Al-Amien Prenduan
Ketika kariernya Rabithah Alam Islami berada di puncak. Tidjani memutuskan untuk pulang kampung halaman. Ibarat kacang, Tidjani tidak pernah lupa kulitnya. Tidjani sudah mencicipi asin garam perjalanan dakwah lewat organisasi Rabithah Alam Islami. Bahkan, manis pahitnya kebudayaan Timur Tengah sudah ia rasakan. Dalam komunikasi Bahasa Arab, boleh dikatakan, lisan Tidjani adalah lisan Arab.
Kepulangannya ke Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan disambut gegap gempita. Tidjani memaknainya sebagai babak baru perjalanan dakwahnya, khususnya di bidang pendidikan. Misinya adalah merealisasikan dan menyempurnakan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, yang telah didirikan oleh ayahnya, Kiai Djauhari Chotib, tahun 1971, menjadi lembaga pendidikan Islam ala Gontor yang berkualitas, kompetitif, dan bertaraf internasional.
Setelah 62 Tahun
Setelah 62 tahun, Tidjani mengabdikan dirinya untuk umat dan bangsa. Allah memanggilnya ke haribaanNya dengan senyum, Kamis dini hari (27/9) sekitar pukul 02.00 WIB di kediamannya. Kiai Tidjani meninggalkan seorang istri (Ny. Hj. Anisah Fathimah Zarkasyi), 3 putra (DR. KH. Ahmad Fauzi Tidjani, MA, H. Imam Zarkayi, Lc, Abdullah Muhammadi), 5 putri (DR. Hj. Shofiyah, Lc, MA., Hj. Aisyah Tidjani, Lc, M. Si.,
Afifah, Amnah, dan Syifa’), dan 2 cucu (Syafiqoh Mardiana dan Ayman Fajri).
Tidak banyak tokoh Indonesia yang dipercaya menduduki jabatan penting bergengsi di Rabithah Alam Islami, sebuah wadah organisasi dunia Islam layaknya PBB. Diakuinya itu berkat ajaran dan bekal bahasa Arab dan Inggris ketika nyantri di Gontor dulu.
Sebelumnya:
Batu Pertama Guest House Oleh MadamatBerikutnya:
Zakat Untuk Beasiswa