Wakaf merupakan salah satu instrumen penting dalam ajaran Islam yang bertujuan memberdayakan potensi ekonomi kaum muslimin. Berbeda dengan zakat yang sifatnya wajib dan menjadi rukun Islam, wakaf bersifat sunnah muakkadah(sunah yang sangat dianjurkan)
. Namun demikian, cakupan wakaf lebih luas lagi; zakat ditujukan kepada delapan golongan sebagaimana ditentukan sendiri oleh Allah SWT dalam surat At-Taubah[9]:60, yaitu fakir, miskin, pengurus zakat, mualaf (orang yang baru masuk Islam), memerdekakan budak, orang yang terlilit hutang, orang-orang yang berjihad di jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (musafir). Sedangkan wakaf bisa ditujukan untuk keperluan apa saja dalam koridor kebaikan dan kemaslahatan kemanusiaan.
Dari segi pendapatan, wakaf tidak terbatas, sementara zakat dibatasi hanya 2,5 %, 5 %, 10 % atau 20 %. Secara asumsi sederhana saja: jika seseorang memiliki kekayaan senilai Rp. 1 M, maka zakat yang dikeluarkan hanya Rp. 25 juta. Tetapi, melalui wakaf ia bisa mengeluarkan Rp. 100– 700 juta. Jika zakat cenderung habis didistribusikan, maka wakaf adalah menahan aslinya dan mengalirkan manfaatnya.
Pengertian wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung, dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan, baik umum maupun khusus.
Contoh-contoh wakaf sudah banyak diketahui dalam literatur fiqh maupun sejarah Islam. Masjid Nabawi yang ada di Madinah, misalnya, dahulu tanahnya adalah milik dua anak yatim dari Bani Najjar. Semula mau dihibahkan kepada Rasulullah SAW, tetapi Beliau menolaknya, mungkin karena pertimbangan ia adalah milik anak yatim yang harus dilindungi, dan Rasul memutuskan untuk membelinya dengan harga 10 Dinar Emas, yang dibayarkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
Inilah amal jariyah yang dijanjikan pahala sangat besar oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah walau sebesar sangkar burung atau yang lebih kecil dari itu, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga” (HR. Ibnu Majah). Subhanallah, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra yang membayar tanah Masjid Nabawi telah wafat lebih dari 1400 tahun yang lalu, tetapi pahala jariyahnya tetap mengalir karena sampai hari ini dan seterusnya ia akan tetap menjadi tempat shalat kaum muslimin.
Utsman bin Affan ra mewakafkan sumur yang bernama ‘Bi’ru Rumah’, untuk dipergunakan memberi minum kaum muslimin. Sebelumnya, pemilik sumur mempersulit dalam masalah harga, maka Rasulullah menganjurkan untuk membelinya, dan menjanjikan bahwa yang membeli sumur tersebut akan masuk surga. “Barangsiapa yang membeli sumur Rumah, maka Allah SWT mengampuni dosa-dosanya.” (HR. An-Nasai) Lalu, tergeraklah hati Usman bin Affan.
Abu Thalhah ra mewakafkan kebunnya, yaitu perkebunan ‘Bairuha’, padahal perkebunan itu adalah harta yang paling dicintainya. Abu Thalhah termotivasi oleh ayat yang sebelumnya baru saja diturunkan kepada Rasulullah SAW yang berbunyi: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Qs. Ali Imran [3]:92)
Umar bin Khattab ra juga mewakafkan tanah di Khaibar. Tanah Khaibar ini sangat disukai oleh Umar karena subur dan banyak hasilnya. Umar meminta nasehat kepada Rasulullah, maka Rasul menyuruh agar Umar menahan pokoknya dan memberikan hasilnya kepada fakir miskin, dan Umar pun melakukan hal itu. Ini terjadi pada tahun ke-7 Hijriah.
Ketika Umar bin Khattab ra menjadi khalifah, ia mencatatkan wakafnya dalam akte wakaf yang dipersaksikan kepada para saksi dan mengumumkannya kepada masyarakat luas. Sejak saat itu banyak keluarga Nabi SAW dan para sahabat yang lain yang mewakafkan tanah dan perkebunannya.
Orang-orang Barat dan Eropa terkesima dengan kenyataan sejarah ini. Maka, mereka pun akhirnya mengakui bahwa Islam adalah penggagas pertama wakaf keluarga, dan hal itu secara terang-terangan dinyatakan di dalam Ensiklopedia Amerika, dimana sebelumnya tidak pernah dikenal dalam perundang-undangan manapun baik di dunia Barat maupun Eropa. (bersambung)