Hari-hari ini bangsa Indonesia di seluruh pelosok Nusantara gegap gempita merayakan HUT Kemerdekaan RI ke-72. Perayaan yang mestinya diekspresikan dengan rasa bahagia dan syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, bukan dengan hura-hura dan pesta pora.
Simaklah petikan isi pembukaan UUD 1945: "Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
Butir kalimat dalam pembukaan UUD 1945 tersebut tidak saja mencerminkan tentang visi kebangsaan yang jauh, namun juga menunjukkan kesadaran Ketuhanan yang kuat pada diri para Pendiri Republik ini.
Betul, bahwa Indonesia bukan negara agama, akan tetapi, sejak awal negeri ini didesain menjadi negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma agama. Maka, segala upaya yang dapat menjauhkan bangsa ini dari Allah Yang Maha Kuasa adalah tindakan menyimpang dan ahistoris.
Bangsa Indonesia sejak awal juga menyatakan diri anti penjajahan. "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan" sebagaimana termaktub pula dalam pembukaan UUD 1945.
Kemerdekaan yang dimaksud tentu bukan sekedar kemerdekaan secara fisik bahwa penjajah telah pergi. Akan tetapi, lebih dari itu kemerdekaan dalam arti substansial: merdeka dari mental terjajah, bedaulat secara politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sudahkah bangsa Indonesia benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya?
Salah satu buah kemerdekaan adalah kemajuan yang meliputi keamanan, kesejahteraan dan kesentosaan. Sudahkah itu semua kita dapatkan setelah 72 tahun merdeka? Memang, dibanding negara-negara maju lainnya di dunia, seperti Amerika, misalnya, tentu saja usia Indonesia belumlah seberapa. Tetapi ada pula negara-negara yang usia kemerdekaannya jauh setelah kemerdekaan RI, seperti Korea dan Singapura, namun kini telah menapaki jalan menuju negara maju.
Artinya, capaian kemajuan suatu negara bukanlah semata didasarkan atas usia kemerdekaannya. Namun, lebih kepada kesadaran bangsanya untuk bekerja keras dan bersatu padu mewujudkan impian bersama sebagai sebuah bangsa. Jangan terus berbangga diri hanya dengan menjadi negara berkembang atau kategori dunia ketiga. Meskipun klasifikasi seperti itu tidak sepenuhnya kita sepakati, namun setidaknya indikator dan capaian-capaian kemajuannya sejajar dengan negara-negara maju di dunia.
Indonesia adalah negara dan bangsa yang besar. Secara geografis bentangan Sabang sampai Merauke seperti halnya Teheran hingga London. Secara demografis, jumlah penduduk Indonesia yang mendekati kira-kira 270 juta jiwa lebih besar dari jumlah penduduk 22 negara Arab di kawasan Timur Tengah.
Secara sumber daya alam, tidak perlu diragukan lagi bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam terpendam yang luar biasa, baik di daratan maupun di lautan. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahi kekayaan alam tersebut di bumi pertiwi ini. Sudah tak terhitung lagi berapa kekayaan alam Indonesia yang diangkut ke luar negeri. Maka, negeri ini selalu menjadi incaran bangsa-bangsa di dunia dari dulu hingga kini.
Secara sumber daya manusia pun, sesungguhnya bangsa ini tidaklah kalah dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Banyak sekali putra-putri terbaik bangsa yang pemikiran, karya-karya dan wibawanya diakui di tingkat dunia.
Beberapa contoh saja, misalnya, Presiden Soekarno, sang pencetus, pemrakarsa dan sekaligus pelopor Gerakan Non Blok yang sangat fenomenal. Soekarno bukan saja sosok pemimpin kharismatik bagi rakyat Indonesia, tetapi diakui pula sebagai pemimpin dunia. Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang diprakarsainya sangat diperhitungkan dunia.
Selanjutnya, Presiden Soeharto, telah pula menginspirasi para pemimpin negeri-negeri tetangga. Bahkan, tak kurang seorang pemimpin besar seperti Mahatir Muhammad dan Perdana Menteri Lee Kuan Yew yang telah membawa Singapura menjadi negara maju mengaku sebagai murid-murid Pak Harto. Di bawah kepemimpinan Pak Harto, Indonesia disegani dunia.
Maka dari itu, kesyukuran Kemerdekaan ke-72 ini harus menjadi momentum untuk terus memajukan negeri dengan cara memberdayakan seluruh potensi bangsa dan menyinergikannya menjadi karya besar untuk sebanyak mungkin kesejahteraan negeri.
Bukan saatnya lagi bangsa ini terjebak dalam pertikaian-pertikaian kecil yang terus menerus dan melelahkan. Apalagi, bertikai mempertentangkan Islam dan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan pilar-pilar kebangsaan lain yang telah menjadi common platform sejak awal. Apalagi mengintimidasi umat Islam Indonesia sebagai anti Pancasila dan Kebhinekaan. Yang demikian itu adalah tindakan konyol, kontra-produktif dan ahistoris.
Pancasila yang dirumuskan oleh Para Pendiri Bangsa ini semua silanya adalah cerminan ajaran-ajaran prinsip dalam Islam. Tuhan Yang Maha Esa adalah manifestasi tauhid. Ada kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan semuanya itu adalah esensi keislaman. Jadi, umat Islam tidak mungkin akan mengganti Pancasila, karena bagaimana mungkin seorang muslim akan menentang ajaran tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan?
Saatnya pula mengakhiri pertikaian-pertikaian horisontal yang tidak produktif, apalagi antar sesama umat Islam. Maka, umat harus merapatkan shaff, saling bekerjasama secara mutualistis dan produktif, dan bersama-sama menjadi kekuatan yang akan membentengi kesatuan negeri dan sekaligus menjadi kontributor utama kemajuannya. Kemajuan Indonesia tanpa umat Islam apa artinya dan untuk siapa?
"Barangsiapa tidak menunaikan kewajibannya terhadap tanah air, bangsa dan juga agamanya karena takut lelah atau takut mati, maka sesungguhnya ia tidak berhak hidup di dalamnya. Sebab, kamatian itu sesuatu yang pasti datang, sedangkan jiwa yang mulia adalah jiwa yang sejatinya tidak akan pernah mati", demikian pepatah Arab.
Sebelumnya:
Jatidiri Seorang Pemimpin