Sebagian kaum muslimin di Indonesia masih memahami wakaf sebatas pada tanah, bangunan dan harta tak bergerak lainnya. Maka, ketika muncul konsep wakaf tunai atau wakaf uang (cash waqf/waqfun-nuqud) terjadilah perdebatan yang panjang dan melelahkan diantara para ulama. Padahal, konsep tersebut telah diterapkan jauh-jauh hari di belahan dunia lain, khususnya di negeri-negeri muslim.
Bagaimana jika seorang muslim ingin berwakaf tetapi tidak memiliki tanah dan bangunan? Sementara ada pihak-pihak yang sangat membutuhkan biaya tinggi untuk pembangunan masjid, pesantren, sekolah, rumah sakit, misalnya? Hal inilah yang kemudian mendorong para fuqaha (ahli fiqh) merumuskan sistem perwakafan modern yang tetap berpijak pada landasan syariat guna mengantisipasi perkembangan zaman yang terus melaju pesat.
Sejak 2002 para ulama di Indonesia mulai mengenalkan istilah wakaf uang. Wakaf uang ini dimaksud sebagai jalan keluar bagi kaum muslim yang ingin berwakaf namun tidak memiliki tanah dan bangunan, sehingga dengan uangnya ia tetap bisa berwakaf dan disalurkan kepada nadhir wakaf untuk kepentingan umum.
Meskipun sangat terlambat, perdebatan tentang wakaf uang tunai agak mereda setelah MUI mengeluarkan fatwanya pada Mei 2002 yang membolehkan wakaf uang tunai. Ditambah lagi penegasan oleh salah seorang Ketuanya, Dr. KH. Ma’ruf Amin, “Dulu, wakaf uang diperdebatkan tapi kini tidak lagi.” Disusul kemudian dengan terbitnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dimana di dalamnya membolehkan wakaf uang tunai.
Memang, pada zaman Rasulullah SAW istilah wakaf uang tunai belum dikenal, inilah pangkal perdebatan itu. Makanya, dalam Mazhab Syafii tidak ditemukan qaul (pendapat) yang memberikan pembenaran terhadap wakaf uang. Pendapat yang membenarkan adanya wakaf uang justru ditemui dalam konsep Mazhab Abu Hanifah. Meskipun demikian, Imam Al-Mawardi dalam kitabnya, Al-Hawi Al-Kabir menyebutkan bahwa ada pendapat dari sebagian ulama pengikut Mazhab Syafi’i, yaitu Imam Abu Tsaur yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang).
Abu Su’ud Muhammad menulis buku Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, (Penjelasan tentang Dibolehkannya Wakaf Uang Tunai), dan menyebutkan bahwa Imam Az-Zuhri (salah seorang ulama salaf dan salah satu peletak dasar ilmu hadis, w. 124 H.) menyatakan bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih (orang yang menerima manfaat wakaf).
Prof. Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya yang sangat terkenal dan monumental, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, menyebutkan bahwa para ulama pendahulu dari Mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang dinar dan dirham, atas dasar atsar Abdullah bin Mas’ud RA: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk.”
Saat kepemimpinan Sholahuddin Al-Ayyubi, di Mesir, sudah berkembang wakaf uang, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan negara serta pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit dan tempat-tempat penginapan untuk musafir. Bahkan, sebelum itu, Nurudin Az-Zangki yang berkuasa penuh di Suriah juga menggunakan wakaf uang untuk memberdayakan umat. Berdasarkan bacaan dari Prof. Dr. Pemerintahan Turki Usmani mendirikan rumah sakit, sekolah dan lain sebagainya yang kebanyakan bersumber dari dana wakaf uang.
Di dasawarsa 70an, Sheikh Zayed bin Sultan dari Uni Emirates Arab mewakafkan US$ 1 Miliar yang oleh nadzirnya diinvestasikan dalam bentuk deposito dan properti. Di tahun-tahun pertama, dari wakaf itu per tahun menghasilkan keuntungan US$ 100 juta; US$ 70 juta digunakan untuk infak di jalan kebaikan seperti membangun sekolah, universitas, tempat ibadah, rumah sakit, jalan raya, dan lain sebagainya; US$ 15 juta diputar lagi untuk modal usaha baru; dan US$ 15 juta sisa keuntungannya dicadangkan buat tanggap darurat jika terjadi bencana alam atau krisis.
Di Kuwait pada masa lalu orang marak berwakaf tanah, tetapi kini tanah tidak mungkin lagi diwakafkan karena dikuasai oleh negara, maka sekarang dibuatlah kotak atau counter wakaf dalam bentuk wakaf saham. Bagi yang tidak memiliki tanah ia dapat membeli saham senilai tanah tersebut. Kemudian, uang dari saham itu digunakan untuk membuat apartemen yang disewakan, properti dan lain sebagainya, yang keuntungannya disalurkan di jalan kebaikan.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa wakaf uang tunai adalah tindakan hukum yang dibolehkan berdasarkan dalil-dalil syar’i dan pengalaman negeri-negeri muslim sebagaimana dikutip di atas. Penegasan ini penting dikemukakan supaya jangan sampai ada lagi sebagian masyarakat muslim yang mempertanyakan dan menolak-nya. Wakaf dengan uang dapat menjadi alternatif percepatan kemajuan kaum muslimin.
Saya berpendapat bahwa wakaf dengan uang sejatinya telah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW meskipun tidak secara eksplisit disebutkan bahwa itu merupakan wakaf dengan uang. Dalam kisah pembebasan tanah untuk pembangunan Masjid Nabawi di Madinah, tanah itu adalah milik dua anak yatim Bani Najjar. Sejatinya, kedua anak yatim itu hendak mewakafkannya kepada Rasulullah SAW dan bahkan beberapa kisah menyebutkan keduanya mendesak Rasul untuk menerima wakaf tanah itu. Tentu saja ini sesuatu yang sangat mulia. Namun, barangkali melihat kondisi dan kebutuhan kedua anak yatim itu, Rasulullah SAW menolaknya, bahkan menawar harga tanah tersebut untuk dibeli. Akhirnya tanah itu pun dibeli oleh Rasulullah dengan harga 10 dinar emas, yang pembayarannya dilakukan oleh Abu Bakar As-Shiddiq RA.
Artinya, yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Shiddiq RA adalah wakaf dengan uang. Meskipun sebagian ulama berpendapat lain, bahwa hal itu bukan wakaf uang tetapi wakaf tanah, karena Abu Bakar membeli tanah lalu diwakafkan. Hemat saya tidak demikian, karena yang membeli tanah adalah Rasulullah SAW tetapi yang membayar adalah Abu Bakar RA. Jadi, Abu Bakar RA telah mewakafkan uangnya kepada Rasulullah SAW, kemudian uang itu dipergunakan oleh Rasulullah SAW untuk membeli tanah. Wallahu a'lam.
Sesungguhnya istilah wakaf itu sendiri bukanlah sesuatu yang baru dalam benak kaum muslim di Indonesia. Dari dahulu orang-orang kaya muslim telah terbiasa mewakafkan tanah dan bangunannya untuk keperluan kegiatan keagamaan dan sosial. Banyak sekali masjid, pesantren, sekolah, panti asuhan, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya yang merupakan hasil wakaf.
Kini, seorang muslim dapat berwakaf dalam jumlah yang kecil hingga besar, misalnya, Rp. 10 ribu, 20 ribu, 50 ribu, 100 ribu, 1 juta, 10 juta, hingga ratusan juta bahkan ada yang berjumlah milyaran rupiah. Wakaf uang itu biasanya diserahkan kepada lembaga atau yayasan untuk pembangunan masjid, pondok pesantren, sekolah, panti asuhan, rumah sakit, jalan umum, dan lain sebagainya. Sementara bagi yayasan penerima wakaf (nadhir) wakaf dengan uang itu dapat dipergunakan untuk membebaskan tanah, membeli material bangunan dan membangun.
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS. Al-Baqarah [2]: 245)
“Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia Kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya, lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 261)
Kamu sekai-kali tidak akan sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Mengetahuinya. (Qs. Ali Imran [3]: 92)
Jika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya (HR. Muslim)
Sedekah jariyah adalah sedekah yang pahalanya terus mengalir (jaari). Menurut jumhur ulama, sedekah jariyah adalah wakaf karena pahalanya terus mengalir. Wallahu a'lam.
(bersambung ke…5)