Wakaf dan Peradaban Islam (2); KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A.

Wakaf dan Peradaban Islam (2); KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A.

Zakat adalah kewajiban dan menjadi salah satu rukun Islam, sementara wakaf bukan kewajiban. Wakaf adalah pilihan (tathowwu'). Artinya, jika orang tidak mau menunaikan zakat, padahal dia mampu, maka baginya dosa karena telah meninggalkan kewajiban. Sedangkan orang yang tidak mau berwakaf tidak berdosa, hanya saja ia tidak mendapatkan keutamaan dan kemuliaan.

Hukum wakaf semuanya bersifat ijtihadiyah dan kias. Tidak ada nash khusus yang spesifik, baik dalam Al-Quran maupun Hadits tentang wakaf. Tidak seperti zakat yang ayat dan haditsnya eksplisit. Maka, hukum-hukum wakaf mengambil kias dari hukum-hukum lain yang serupa.

Karena hukum wakaf adalah ijtihadiyah maka ada dua pendapat tentang masa berlakunya wakaf. Yaitu wakaf harus abadi, dan pendapat lain wakaf boleh bersifat sementara (temporer).

Tapi, untuk obyek wakaf yang sifat kegunaan dan kedudukannya telah diketahui bersama baik dalam agama maupun adat masyarakat, seperti masjid, kuburan dan jalan, misalnya, maka wakaf-wakaf tersebut mutlak harus bersifat abadi.

Dengan kata lain, tidak boleh orang mewakafkan masjid, kuburan, atau jalan hanya untuk sementara waktu. Pasalnya, hal ini akan menimbulkan gejolak di masyarakat, sesuatu yang justru bertentangan dengan maksud dan tujuan wakaf itu sendiri.

Sedangkan wakaf temporer, misalnya seperti orang yang memiliki lebih dari satu rumah, lalu ia mewakafkan salah satu rumahnya untuk digunakan tempat tinggal mahasiswa, namun sifatnya sementara waktu. Atau orang yang mewakafkan salah satu mobilnya untuk digunakan mobilitas dakwah selama kurun waktu tertentu.

Lantas apa tujuan wakaf? Salah satunya adalah supaya harta tidak berputar di lingkungan orang-orang kaya saja. Supaya potensi ekonomi terdistribusi kepada umat.

Demikian pula dengan zakat. Orang kaya memberikan sebagian hartanya kepada orang miskin. Kemudian dengan harta itu orang miskin membelanjakannya untuk kebutuhan hidupnya.

Maka, semestinya, para mustahik itu membelanjakannya kepada barang-barang atau jasa yang diproduksi atau dimiliki oleh para muzakki. Jadi, uang itu berputar terus di internal umat, dan ini menjadi saling menguatkan.

Tetapi, yang terjadi sekarang, para mustahik membelanjakan uangnya untuk barang-barang yang bukan diproduksi atau dimiliki para muzakki. Di sinilah terjadi missing link mata rantai ekonomi umat. Jadi, zakat dan wakaf akhirnya malah membesarkan umat lain.

Setidaknya ada tiga jenis wakaf, diantaranya Khoiry, Ahly dan Musytarak. Yang dimaksud wakaf khoiry adalah wakaf yang diserahkan kepada lembaga di luar keluarganya untuk digunakan seluas mungkin bagi kepentingan umum. Misalnya, wakaf masjid, wakaf jalan, wakaf sekolah dan lain sebagainya.

Sementara wakaf ahly adalah wakaf yang diserahkan kepada keluarganya atau ahli warisnya untuk dikelola bagi kepentingan umum. Misalnya, seseorang mewakafkan tanah dan bangunan sekolah kepada anak-anaknya atau ahli warisnya. Jadi pengelolaannya (nadzir) diserahkan kepada keluarganya walaupun fungsi dan manfaatnya tetap untuk kepentingan seluas mungkin masyarakat.

Adapun wakaf musytarak adalah wakaf yang awalnya diserahkan kepada keluarga untuk mengelolanya. Kemudian setelah beberapa waktu (tahun), diserahkan kepada lembaga atau pihak lain untuk seterusnya mengelola wakaf tersebut bagi kepentingan umum.

Sepanjang sejarah peradaban Islam, wakaf sangat jelas memiliki peran sentral, berikut beberapa contoh-contohnya. Pada masa peperangan fi sabilillah pada zaman Rasulullah SAW dan juga pada masa sahabat berasal dari harta wakaf. Senjata dan perlengkapan perang adalah wakaf dari para kaum muslimin, karena saat itu belum dibiayai oleh negara seperti pada saat ini. Ada yang wakaf pedang, baju besi, dan lain sebagainya.

Rasulullah SAW betigu tiba di Madinah, pertama kali adalah menggerakkan wakaf masjid, kemudian wakaf untuk pasar di dekat masjid, dan kemudian wakaf untuk pertahanan militer. Contoh kongkritnya adalah Masjid Quba dan Masjid Nabawi yang sangat fenomenal.

Seiring berjalannya waktu, wakaf berkembang kegunaannya ke sekolah-sekolah. Bukti paling nyata dan fenomenal adalah Imam Ghazali yang sarana belajarnya merupakan hasil wakaf kaum muslimin. Ada sebuah ruangan berasal dari wakaf yang digunakan belajar sehari-hari oleh Imam Ghazali.

Lalu, jika kita menengok Al-Azhar University, Kairo Mesir adalah contoh wakaf paling masyhur dalam sejarah Islam pasca tabi’uttabi’in hingga sekarang. Sebab, sepanjang sejarahnya yang telah memasuki 1.000 tahun lebih tetap konsisten dalam pengembangan pendidikan. Semua sarana prasarananya berasal dari wakaf.

Di perguruan tinggi itu, saat ini ada sekitar 450 ribu mahasiswa dari 115 negara di dunia. Semua mahasiswa tidak dipungut biaya alias gratis karena semuanya mendapat beasiswa. Sementara sekitar 30 persennya mendapatkan tambahan beasiswa berupa fasilitas tempat tinggal, makan sehari-hari, dan uang saku sekitar $ 80 per bulan.

Bagi mahasiswa asing (bukan orang Mesir), selain mendapat beasiswa tersebut, masih ada tambahan uang tiket pesawat (pergi pulang/PP) dari negeri asalnya. Bayangkan, berapa miliar rupiah dana beasiswa dalam satu bulan yang dikeluarkan Al-Azhar. Konon, untuk mahasiswa Indonesia saja, Al-Azhar tiap tahun merogoh kocek sekitar Rp. 10an miliar.

Dari gerakan wakaf itu, tak terhitung lagi ulama dan bahkan pemimpin dunia yang lahir dari rahim Al-Azhar. Ulama sekaliber Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Dr. Yusuf Qardhawi, Prof. Dr. Ahmad Thoyyib dan bahkan di Indonesia ada nama Prof. Dr. Quraish Shihab; mereka semua santri Al-Azhar yang sarana prasarana belajarnya dari wakaf. Belum lagi ratusan atau bahkan ribuan kiai alumni Al-Azhar Kairo yang sekembalinya ke tanah air mendirikan pesantren, termasuk Pengasuh Gontor dan Tazakka yang dididik dari hasil wakaf umat Islam. 

Perlu diketahui, dana-dana tersebut diambilkan dari sumber-sumber wakaf yang dimiliki Al-Azhar. Diantaranya yang terbesar adalah lahan pertanian jutaan hektar, pertokoan, pasar dan property wakaf yang disewakan (wakaf produktif) dan juga wakaf tunai.

Demikianlah dengan Pondok Modern Tazakka, pesantren yang sarana dan prasarananya seluruhnya berasal dari wakaf umat. Ada wakaf tanah, wakaf tunai, wakaf manfaat, wakaf profesi, wakaf pengalihan hak dan jenis-jenis wakaf lainnya yanf terus dikembangkan oleh Yayasan Tazakka.

Menginjak tahun kelima ini, santri Pondok Modern Tazakka telah mencapai 480 anak; sebagian besar berasal dari wilayah Kab. Batang, Pekalongan dan Kendal. Selebihnya berasal dari lebih 15 provinsi di Indonesia: Sulsel, Kalsel, Kalteng, Kaltim, NTB, Jatim, Jabar, Banten, Aceh, Lampung, dan lain sebagainya. Bahkan ada pula santri dari Malaysia.

Tahun Ajaran 2017 ini insyaAllah akan menerima sekitar 120 santri baru, sehingga pada Juli 2017 nanti jumlah santri keseluruhan sekitar 600an anak.

Selain pendidikan jenjang pesantren, Yayasan Tazakka mengembangkan pula TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran) sejak dua tahun ini, bernama TPQ Al-Asyraf (Al-Asyraf adalah salah satu nama / gelar yang disematkan untuk Rasulullah SAW yang berarti: Yang Mulia). Saat ini, 120 santrinya berasal dari masyarakat sekitar pondok usia Sekolah Dasar.

TPQ Al-Asyraf membuka kelas sore hari, yaitu dari jam 15.0p-17.00. Selain materi tahfidzul Quran, diajarkan pula materi Hadis, Bahasa Arab & Akhlak. Tidak dipungut biaya, alias gratis. Sarana dan prasarananya seluruhnya berasal dari dana wakaf. Sedangkan biaya operasional TPQ diambilkan dari sebagian dana infak dan zakat. Kelak, Al-Asyraf akan dikembangkan menjadi SD Tahfidz yang memiliki keunggulan agama dan sains.

Tahun 2025, Visi Yayasan Tazakka mencita-citakan berdirinya perguruan tinggi Islam yang bermutu dan berarti. Mendidik anak-anak bangsa agar memiliki kecapakan sains dan teknologi namun tetap berwawasan agama dan berakhlakul karimah. Saat ini masih terus menyiapkan SDM dan kaderisasi untuk mewujudkan visi tersebut.

Semoga, kelak Tazakka dapat melahirkan ulama dan pemimpin-pemimpin umat, bukan saja pada level Indonesia, namun juga dunia, sebagaimana Al-Azhar di Kairo. Begitulah dahsyatnya gerakan wakaf jika dikelola dengan sungguh-sungguh dan ikhlas.

(bersambung ke… 3)