Taqwa Itu Totalitas; KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A.

Taqwa Itu Totalitas; KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A.

Target dari puasa adalah membentuk orang bertakwa: لعلكم تتقون. Jadi, kita diperintah berpuasa supaya kita menjadi hamba yang bertakwa. Pertanyaannya: apakah selama ini kita dianggap belum bertakwa?

Takwa itu apa? Ada dua unsur takwa: Pertama, menjalankan seluruh perintah Allah dan Rasul-Nya. Kedua, menjauhi seluruh larangan Allah dan Rasul-Nya. Kedua unsur ini harus ada dalam diri seseorang jika ingin disebut bertakwa.

Sekarang ini, kita saksikan banyak orang muslim yang hanya bisa menjalani salah satunya. Ada yang bisanya menjalani perintah, tetapi tidak bisa menjauhi larangan. Ada pula yang hanya bisa menjauhi larangan tetapi tidak mau menjalankan perintah.

Misalnya: ada orang yang rajin shalat 5 waktu, ikut berpuasa pula, dan bahkan sudah pergi haji, itu baru menjalankan perintah. Akan tetapi, pada saat yang sama dia masih mendzalimi orang lain, ucapannya tak senonoh, masih mau menipu, masih bisa berkhianat, masih menyakiti tetangga, dan sejenisnya. Padahal semua itu adalah larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya. Maka, orang semacam ini tidak masuk kategori bertakwa: karena hanya bisa menjalankan perintah tapi tidak bisa menjauhi larangan.

Misalnya lagi: ada orang baik sekali, dia bilang "yang penting kan baik sama tetangga, tidak menipu, tidak berkata jorok dan tak senonoh, tidak dzalim, dan lain sebagainya", namun dia tidak mau shalat, tidak juga berpuasa. Yang seperti ini tidak betul juga, karena hanya bisa menjauhi larangan tetapi tidak mau melaksanakan perintah.

Jadi, takwa itu totalitas penghambaan pada Allah: kerjakan semua perintah-Nya dan tinggalkan semua larangan-Nya.

Maka, target puasa sebagaimana dalam Al-Quran "SUPAYA KAMU: BERTAKWA"; mungkin diasumsikan kita ini belum sungguh-sungguh bertakwa, belum totalitas.

Takwa itu totalitas. Maka, dalam beribadah kepada Allah juga harus totalitas, sebagaimana totalitasnya kita saat bekerja mencari nafkah, mengejar karier, dan menggapai puncak.

Jangan sampai saat kerja bisa sungguh-sungguh, giliran tiba waktu shalat, Allah dikasih waktu sisa, tenaga sisa, pikiran sisa bahkan hati sisa. Shalat itu bagian dari agenda terpenting dalam keseharian kita, jangan nanti-nanti kalau sempat. Itu namanya memberi Allah dengan waktu sisa. Apalagi ternyata saat shalat kita sudah sangat letih, pikiran sudah tidak jernih maka sering lupa rakaat dan bacaan shalat. Itu namanya Allah diberi tenaga dan pikiran sisa. Jika saat kerja kita bisa khusyu mengapa saat shalat tidak bisa khusyu? lagi-lagi Allah diberi hati sisa.

 

Itu baru bab shalat. Bab sedekah, zakat dan wakaf juga begitu. Janganlah Allah diberi harta sisa. Banyak muslim yang punya agenda beli ini itu, bahkan banyak yang punya kredit cicilan rumah, mobil, tanah, dan lain sebagainya. Semua itu teragenda dalam sistem keuangannya. Mengapa zakat dan wakaf tidak juga menjadi agenda dan prioritas? Ini namanya Allah diberi harta sisa, padahal yang memberi rezeki adalah Allah.

Rasulullah SAW bersabda:

من بنى لله مسجدا بنى الله له بيتا في الجنة

 "Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, maka baginya akan dibangunkan rumah di surga."

Saya himbau kepada kaum muslimin semuanya, infak, sedekah dan wakaf harus diprogram, direncanakan dengan baik dan penuh prioritas, jika perlu punya cicilan wakaf untuk proyek-proyek keumatan. Menyicil rumah di dunia bisa, saatnya menyicil pula rumah di surga. Ini untuk kepentingan kita sendiri di masa depan.

Sekarang ini banyak orang belajar kebenaran tetapi tidak menjadi benar. Orang belajar hukum tetapi malah melanggar hukum dan merusak tatanan hukum. Orang belajar politik, tetapi malah merusak sistem politik. Seperti halnya orang belajar shalat tetapi tidak mau shalat. Orang belajar membaca Al-Quran tetapi tidak mau membaca Al-Quran.

Belajar kebenaran itu bisa di majelis-majelis taklim atau di sekolah. Tetapi, menjadi benar itu sikap, bahkan menjadi benar itu pilihan hidup. Ada orang mengetahui di hadapannya ada pilihan benar dan salah, baik dan buruk, dia tahu itu, akan tetapi dia memilih yang salah dan buruk. Maka, menjadi benar, sekali lagi, adalah pilihan hidup.

Menjadi benar juga merupakan hidayah Allah. Orang yang belajar Islam dan mengerti betul akan adanya Hari Pembalasan, nyatanya tidak serta-merta menjadi benar dalam sikap dan perilaku. Ini ada faktor hidayah.

Maka, teruslah memohon hidayah pada Allah. Ini penting, bahkan sesuatu yang paling mahal dalam hidup adalah hidayah. Inti Al-Quran ada pada surat Al-Fatihah (Ummul Kitab), sedangkan inti Al-Fatihah adalah: "ihdinas-shiraatal mustaqiim"(tunjukilah kami jalan yang lurus). Tidak ada surat atau ayat yang paling sering dibaca oleh orang-orang beriman kecuali Al-Fatihah, dan itu artinya selalu memohon petunjuk Allah agar kita tidak mengambil jalan yang menyimpang.

Presiden yang tidak mendapat hidayah, maka akan masuk neraka. Menteri, Gubernur, Bupati, demikian pula pengusaha, dosen, bahkan dai ulama sekalipun jika tidak mendapat hidayah, maka akan terjerumus dan akhirnya masuk neraka.

Rasulullah SAW bersabda:

من ازداد علما ولم يزدد هدى لم يزدد من الله إلا بعدا

"Barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka tidak akan bertambah apapun baginya kecuali hanya akan semakin jauh dari Allah."

Jadi, harusnya setiap orang yang ilmunya bertambah, hidayahnya juga ikut bertambah. Kalau tidak maka akan tersesat jauh. Demikian pula, orang yang hartanya semakin bertambah, maka harusnya hidayahnya pun semakin bertambah. Kalau tidak hartanya itu akan mencelakakannya sendiri. Contoh lain: orang yang bertambah karier dan jabatannya, maka hidayahnya pun harus bertambah, supaya tidak menyimpang. Demikian pula orang yang popularitasnya bertambah, sudah semestinya hidayahnya pun bertambah, kalau tidak bisa lupa daratan ia dengqn popularitasnya itu.

Jadi, saya tekankan, sekali lagi, pentingnya hidayah dalam hidup kita, supaya selamat dunia dan akhirat. Dan, untuk itu harus selalu dimohonkan kepada Allah. Semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua.

 

Kutipan Tausiyah Jelang Taraweh di Masjid Istiqlal, Jakarta (8 Ramadhan 1437/13 Juni 2016)

Ditranskrip oleh:

Farid Wajdi, MA

(Anggota Divisi Humas & Kerjasama Pondok Modern Tazakka)