TAZAKKA – Saya senang bisa berada di tengah-tengah Majelis yang mulia ini. Ketika saya mendengar sambutan Ketua Umum MUI tadi, saya menjadi mengerti bahwa Indonesia adalah negara terdepan dalam mewujudkan kesantunan. Selama kita santun, maka akan semakin mudah bagi kita mewujudkan persatuan ulama dalam keberagaman dan perbedaan madzhab dalam sebuah wadah yang satu, didiskusikan di dalamnya berbagai permasalahan.
Saya tahu bahwa Majelis ini tergabung di dalamnya berbagai ulama dengan madzhab fikih yang berbeda-beda. Seperti halnya di Al-Azhar, semuanya tidak dalam satu madzhab, tapi empat madzhab dalam fikih. Perbedaan pendapat dan pandangan adalah sesuatu yang dharury (sebuah keniscayaan). Alhamdulillah, meskipun berbeda-beda pada akhirnya kalian bersatu dan sepakat —mungkin pada satu kesimpulan atau dua kesimpulan dengan tetap saling menghormati satu sama lain.
Sebagaimana yang saya katakan, inilah yang sedang kita usahakan di negara-negara lain. Seperti ini sangatlah sulit, tetapi alhamdulillah Indonesia bisa. Bahwa Majelis ini tergabung di dalamnya ulama yang berbeda pendapat tapi tidak membawa perbedaan pendapat mereka kepada masyarakat, dan tidak mengatakan ini adalah madzhab yang benar dan yang lain salah. Maka, saya ucapkan selamat kepada kalian atas persatuan ini dalam perbedaan-perbedaan yang dibolehkan. Dan inilah Islam yang sebenarnya, karena para Sahabat berbeda pendapat sejak zaman Rasulullah SAW masih hidup, akan tetapi tidak saling menyalahkan satu sama lain, dan tidak mengatakan bahwa madzhabku adalah yang paling benar dan madzhab yang lain salah. Demikian pula para tabi’in berbeda pendapat, yang pada akhirnya lahirlah madzhab yang berbeda-beda seperti yang kita saksikan saat ini.
Saya banyak melihat contoh-contoh praktis seperti halnya dalam shalat. Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW dahulu shalat di depan para Sahabat dan para Sahabat pun menirukannya. Setelah itu mari kita lihat madzhab-madzhab fikih, apakah sepakat pada satu bentuk shalat? Kita sepakat bahwa shalat adalah wajib dan ia diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Ini adalah hal-hal mendasar yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya. Akan tetapi, mari kita lihat bersama pada masalah mengangkat tangan ketika takbiratul ihram. Ini adalah perbedaan pendapat yang terdapat pada bagian paling awal dalam shalat, dan seperti ini dibolehkan (masyru’).
Ketika takbir, di saat madzhab yang lain berpendapat bahwa harus mengangkat tangan sampai telinga, sebagian madzhab berpendapat bahwa mengangkat tangan dalam takbir cukup sampai pundak saja. Setelah takbir, pertanyaan lain, apakah saya meletakkan tangan saya di atas dada atau saya lepaskan begitu saja? Itu semua perbedaan yang dibolehkan. Saya katakan ini boleh dan itu juga boleh.
Apabila saya membaca Al-Fatihah, apakah saya memulai dengan “bismillahirahmanirrahim”? Bagi yang bermadzhab Syafi’i itu wajib, tetapi bagi yang bermadzhab Imam Malik itu makruh, dan kedua-duanya boleh. Keduanya sah! Saya, misalnya, ketika shalat dengan memakai Madzhab Maliki lalu diimami oleh orang yang bermadzhab Syafi’i, sehingga ketika imam yang bermadzhab Syafi’i itu membaca “Bismillahirrahmanirahim” shalat saya tetap sah. Begitu juga sebaliknya.
Bahkan sampai dengan Al-Fatihah sendiri: ada yang mengatakan itu wajib, ada juga yang mengatakan bahwa yang wajib itu adalah surat apapun dari Al-Quran. Setelah itu adalah pembacaan surat. Ada yang mengatakan tiga ayat cukup, ada pula yang mengatakan paling sedikit satu surat.
Lalu, dengan rukuk; permasalahan adalah di mana meletakkan tangan ketika rukuk? Apakah meletakkannya di lutut, di depannya atau di sampingnya? Semuanya ada madzhabnya dan semuanya boleh. Ketika bangkit dari rukuk, apakah kita mengangkat tangan atau tanpa mengangkat tangan? Semuanya boleh.
Ketika turun sujud, apakah mengakat tangan atau tidak? Semuanya boleh. Sampai pada salam, apakah salam dengan ucapan “Assalamu’alaikum warahmatullah” atau “assalamu’alaikum” saja, sebagaimana Imam Malik. Lalu, apakah salam ke kanan lalu salam ke kiri, ataukah cukup dengan salam ke kanan saja dan itu sudah membatalkan shalat? Ini semuanya terjadi pada umat muslim dan terjadi pada zaman Sahabat. Maka dari itu, bermula dari sinilah perbedaan-perbedaah tadi seharusnya justru menjadi rahmat bagi kaum muslimin.
Masalahnya adalah manakala perbedaan-perbedaan tadi menjadi perbedaan yang tajam yang disebabkan oleh fanatisme terhadap madzhab tertentu; meyakini bahwa madzhabnya yang paling benar dan yang lain salah. Yang disayangkan lagi, gerakan ekstrim ini di belakangnya didukung oleh kekuatan materi dan maknawi sehingga menyebabkan terpecahnya umat. Perpecahan yang terjadi sekarang sebenarnya adalah buah dari apa yang ditanam terdahulu. Fanatisme sudah menyerang muslim sejak ia masih di bangku pendidikan. Di mana mereka dipahamkan bahwa ini adalah madzhab yang paling benar dan yang lain salah.
Saya kira permasalahan seperti ini, di sini bisa terselesaikan. Karena kalian bisa berkumpul sebagaimana berkumpulnya Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali, dan setiap dari madzhab menghormati yang lain. Saya berharap MUI bisa membawa ruh toleransi terhadap perbedaan ini ke masyarakat yang lebih luas. Karena ekstrimisme akan melahirkan sikap yang mudah mengkafirkan orang lain tatkala berbeda pendapat, dan semua-nya itu akan memicu pertumpahan darah.
Fenomena ini telah sangat mengganggu Islam dan kaum muslimin melebihi bagaimana musuh-musuh Islam mengganggu. Maka, tidak ada jalan keluar kecuali mencontoh kembali khazanah kita terdahulu. Khazanah kita yang terdahulu adalah khazanah yang berbeda-beda dan beragam, tetapi menjadi rahmat. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Tidak membuatku senang, ketidakberagaman Sahabat Rasul”. Dengan ibarat lain “Alhamdulillah bahwa Sahabat Rasulullah SAW berbeda dan beragam”. Kalau saja para sahabat tidak berbeda, maka akan menjadi sulit bagi umat saat ini. Hal itu dikarenakan masalah yang memiliki lebih dari satu penyelesaian akan terasa lebih ringan.
Kita tidak melarang orang untuk mengikuti dan menganggap salah satu dari madzhab adalah benar dan mengatakan ini adalah madzhab yang saya ikuti, akan tetapi dengan syarat tidak menganggap hanya dia yang paling benar dan yang lain salah. Karena itu akan menimbulkan pertikaian, dan pertikaian tidak berdimensi ekonomi atau apapun, melainkan pertikaian yang berdimensi agama. Sebagaimana kita tahu bahwa pertikaian yang berdimensi agama akan cepat sekali menjadi pertumpahan darah.
Saya yakin selama ulama belum berdamai terlebih dahulu, maka umat juga tidak akan berdamai. Kalau kita yang di sini saja, para ulama ini tidak bisa berdamai, bagaimana kita bisa mengajak masyarakat untuk damai dan bersatu. Orang yang tidak memiliki sesuatu tidak bisa memberi (faaqidus-syai’i laa yu’thi).
Maka dari itu, saya bersyukur dan saya minta untuk mengajarkan ini kepada generasi berikutnya. Ajarkanlah kepada mereka bahwa yang berbeda pendapat dengan kita, kedua-duanya berada dalam naungan Islam. Agama Islam merangkul semua.
Puji syukur kepada Allah SWT bahwa Islam digariskan oleh Rasulullah tidak memberi ruang kepada siapapun untuk mengurangi atau menambahi. Barang siapa yang bersyahadat, shalat, menunaikan zakat, berpuasa dan haji, maka dia muslim tanpa memandang madzhabnya apakah dia Syafi’i, Hambali, Maliki ataupun Hanafi. Inilah Madzhab Imam Asy’ari dalam berakidah.
Kita tidak mengkafirkan ahlul kiblah (kaum muslimin yang shalat menghadap kiblat). Jika kita melihat seseorang dia shalat ke masjid, membayar zakat, dia berpuasa dan dia berhaji jika ia mampu, maka poin-poin itu cukup untuk kita gunakan untuk menghukumi bahwa dia adalah seorang muslim. Dan alhamduillah, Rasulullah tidak pernah mengatakan beliau adalah bermadzhab Syafi’i, Salafi atau yang lain. Jikalau iya, niscaya tidak ada dari kita yang akan masuk surga.
Pertikaian yang terjadi ini saya pribadi sagat kaget, bagaimana bisa dalam waktu seratus tahun bisa menjadi lebih parah sampai titik ini, lalu pada akhirnya hasilnya adalah yang kita derita sekarang oleh kaum muslimin. Maka, diperlukan toleransi antar ulama terlebih dahulu, sebagaimana saya katakan bahwa kegelapan yang dilalui umat muslim dimulai dari para ulama yang ekstrim. Maka, persatuan umat adalah satu-satunya solusi untuk perpecahan umat. Dan yang kita maksud dari persatuan bukanlah berkumpulnya manusia dalam satu madzhab, karena itu mustahil, karena perbeda pendapat adalah sesuatu yang wajar dan dibenarkan oleh syariat. Apabila ada manusia tidak sama dengan manusia lain dalam sidik jari, begitu juga dengan pemikiran. Ini adalah dalil bahwa manusia selalu berbeda-beda.
Diperlukan toleransi antar ulama terlebih dahulu, sebagaimana saya katakan bahwa kegelapan yang dilalui umat muslim dimulai dari para ulama yang ekstrim. Maka, persatuan umat adalah satu-satunya solusi
untuk perpecahan umat.
Untuk usaha menjadikan manusia berada di satu madzhab, lalu ditopang dengan biaya yang sangat banyak, lalu turun ke masyarakat dan memanfaatkan keadaan ekonomi mereka yang kurang, memberikan mereka uang, saya tidak membedakan hal ini dengan apa yang dilakukan agama lain dalam menyebarkan agama mereka. Tetapi yang disayangkan, hasilnya selalu tidak baik: hasilnya selalu pertumpahan darah.
Sebagaimana dikatakan kepada saya tadi bahwa waktu kita terbatas dan kita gunakan waktu setelahnya untuk diskusi, maka saya cukupkan sekian saja. Dan saya senang kepada kalian, karena kita dari dulu berusaha mencari sebuah lembaga yang berkumpul di dalamnya Salafi, Sufi, Syafi’i, Hambali, Wahabi dan lain-lainnya. Sampai sekarang kita belum bisa seperti MUI yang di dalamnya didiskusikan segala pemikiran dengan tenang, alhamdulillah.
Tetapi ingat ini masih di pertengahan, setengah yang lain, sebaiknya kalian turun ke masyarakat dengan toleransi yang seperti ini. Dan saya yakin selama ulama belum berdamai terlebih dahulu, maka umat juga tidak akan berdamai. Kalau kita yang di sini saja, para ulama ini tidak bisa berdamai, bagaimana kita bisa mengajak masyarakat untuk damai dan bersatu. Orang yang tidak memiliki sesuatu tidak bisa memberi (faaqidus-syai’i laa yu’thi). Sekali lagi saya ucapkan terimakasih kepada Dr. KH. Ma’ruf Amin dan para ulama semuanya yang hadir di sini.
Yang kita maksud dari persatuan bukanlah berkumpulnya manusia dalam satu madzhab, itu mustahil, karena berbeda pendapat adalah sesuatu yang wajar dan dibenarkan oleh syariat. Apabila ada manusia tidak sama dengan manusia lain dalam sidik jari, begitu juga dengan pemikiran. Ini adalah dalil bahwa manusia selalu berbeda-beda.
Sebelumnya:
Grand Syaikh Al-Azhar Sambangi MUI