TAZAKKA – Kita punya masalah dalam hal Ahmadiyah dan Syiah di sini. Apa pendapat Antum tentang masalah kami ini?
Rasulullah SAW telah menentukan siapa itu muslim, yaitu orang yang mengerjakan rukun Islam yang lima (Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji). Barangsiapa sesuai dengan definisi tersebut, maka dia adalah seorang muslim. Tetapi selain definisi muslim, di sana juga ada hal-hal yang diketahui kebenarannya dalam agama secara umum (al-ma’lum min al-din bi ad-darurah) yang harus diyakini. Jadi, orang yang dianggap keluar dari Islam adalah orang yang mendustakan Al-Quran dan Hadits Sahih dan mengingkari al-ma’lum min al-din bi ad-darurah.
Misalnya saja, kenabian Muhammad SAW diketahui dari nash Al-Quran dan termasuk al-ma’lum min al-din bi ad-darurah bahwa Rasulullah SAW adalah Nabi akir zaman. Maka, barangsiapa yang mengakui bahwa Rasulullah SAW bukan Nabi terakhir dan masih terbuka kemungkinan untuk datang nabi-nabi yang lain, maka dia bisa dikatakan mendustakan Al-Quran dan bukanlah masuk definisi Islam.
Mengenai Syiah, mereka masuk kategori sebagai muslim. Kita tidak bisa hanya karena satu hal lalu kita mengeluarkan mereka dari Islam. Ada hal yang salah dari Syiah, tetapi tidak semua Syiah seperti itu, dan jelas bukan dari ulama Syiah. Syiah yang menghina Abu Bakar, Umar dan Aisyah adalah orang bodohnya Syiah. Kalau kita rujuk kembali kitab-kitab klasik Syiah, maka kita akan mengetahui bahwa mayoritas ulama mereka menghormati para Sahabat.
Dalam perkara menghina Sahabat ulama berbeda pendapat. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa menghina Sahabat tidak menjadikan mereka kafir, melainkan hanya sesat saja. Adapun sebagian yang lain berpendapat bahwa menghina Sahabat membuat mereka kafir.
Kita tidak bisa semena-mena mengkafirkan Syiah. Bagaimana bisa kita mengkafirkanya sedangkan Sun ni dan Syiah bagaikan sayap bagi Islam. Tentunya apa yang kita bicarakan tadi dalam konteks Syiah yang moderat(mu’tadil): Imamiyah, Zaidiyah. Mereka adalah yang paling dekat dengan Ahlussunnah. Tetapi di sana memang ada Syiah yang memang mengingkari al-ma’lum min al-din bi ad-darurah, dan itu mengeluarkan mereka dari lingkup Islam.
Adapun perbedaan-perbedaan lain antara kita dan Syiah di luar lingkup imamah bersifat tidak prinsipil (furu’iyyah).Untuk masalah imamah ada seorang ulama yang memiliki kitab yang sangat bagus menerangkan tentang ini. Beliau dalam kitabnya menafsirkan imamah dalam Syiah adalah imamah ruhiyah. Misalkan, Imam Ali sebaga imam dalam bertaqwa. Bukan imam yang memiliki arti sultan ataupun raja. Penafsiran-penafsiran yang semacam ini banyak sekali, yaitu penafsiran yang mencoba mendekatkan antara Syiah dan Sunni.
Saya ingatkan untuk berhati-hati dalam masalah pengkafiran. Jangan mengkafirkan kecuali mereka yang mengingkari Islam dan mendustakan Al-Quran dan Sunnah.
Musuh-musuh Islam memperuncing permasalahan khilafiyah antara Syiah dan Sunni dan didorong oleh kekuatan finansial yang besar, dan itulah yang sekarang menghancurkan Suriah. Adakah sebab yang masuk akal yang bisa digunakan untuk membenarkan perang di Suriah? Coba pergilah ke Irak yang sudah dihancur-leburkan, dengan apa itu terjadi? Dengan isu Syiah dan Sunni! Coba pergi ke Yaman yang mulai bergejolak, sebabnya adalah Syiah dan Sunni.
Kalau kita memahami permasalahan ini dari awal, lalu kita kampanyekan bahwa Syiah dan Sunni adalah saudara, mereka akan enggan menerima fitnah antar mereka dan juga akan enggan untuk bergabung kepada kelompok yang bertikai. Maka, Syiah adalah saudara kita, khususnya Syiah Imamiyah dan Zaidiyah. Orang Syiah jangan mengkafirkan orang Sunni karena menganggap bahwa imamah bukan termasuk rukun Islam. Begitu pula orang Sunni jangan mengkafirkan Syiah karena mereka menganggap Ali lebih utama menjadi khalifah dari Abu Bakar dan Umar.
Sebagaimana Antum tadi katakan bahwa Syiah bukan termasuk kafir. Meski demikian, banyak sekali perbedaan-perbedaan antara kita dan Syiah. Pertanyaanya adalah apa pendapat Antum tentang usaha yang dilakukan beberapa orang dalam mendekatkan (taqrib) antar madzhab?
Taqrib atau mendekatkan antar madzhab sebenarnya adalah hal yang diciptakan oleh Al-Azhar. Semacam Syaikh Saltut (Grand Syaikh Al-Azhar terdahulu —red.) dan ulama Al-Azhar yang lain semuanya berusaha untuk hal ini. Apabila Anda mempelajari Ilmu Kalam Madzhab Asy’ari —yang dianut oleh Al-Azhar kita tidak mengkafirkan seorang ahlul-kiblah. Barangsiapa melakukan rukun Islam dan tidak mengingkari al-ma’lum min al-din bi ad-darurah, maka dia adalah muslim. Adapun berbuat dosa, maksiat, dan sesat adalah hal yang berbeda.
Mengkfirkan adalah masalah yang sangat besar sekali dan sangat berbahaya. Bahkan, Islam menyerahkan masalah takfir bukan kepada masyarakat muslim tetapi kepada pemimpin (ulil-amri). Jika ada kemungkinan 99% seseorang dihukumi sebagai kafir, namun ada 1% dia hanya berbuat dosa kecil saja tetapi masih dalam lingkup muslim, maka kita tidak boleh menghukuminya kafir.
Saya ingatkan untuk berhati-hati dalam masalah pengkafiran. Jangan mengkafirkan kecuali mereka yang mengingkari Islam dan mendustakan Al-Quran dan Sunnah. Jika ada orang beriman kepada rukun Islam tetapi mengatakan zina adalah halal, maka dia bukan muslim. Sebaliknya, apabila dia mengatakan zina adalah haram tapi dia melakukannya, maka dia adalah muslim tetapi masuk kategori orang yang bermaksiat. Kita harus mengetahui permasalahan seperti ini dengan sangat detail.
Pendapat Antum tentang ekstrimisme dalam politik seperti apa? Dan apabila di sana ada seseorang yang mengingkari Hadits Shahih apakah dia orang yang keluar dari agama?
Saya tidak paham apa yang dimaksud dengan ekstrim dalam berpolitik. Politisasi agama tidak boleh, karena agama selalu ada di tengah-tengah. Agama berinteraksi dengan nilai-nilai. Maka, tidak boleh seandainya saya mengangkat bendera agama agar orang-orang memilih saya dalam pemilihan parlemen. Dalam memilih parlemen, lihatlah pada biografi orang tersebut. Apabila baik maka pilihlah dia, jika tidak maka jangan dipilih. Politisasi agama sama artinya menjual agama di pasar bernama politik.
Kenabian Muhammad SAW diketahui dari nash Al-Quran dan termasuk al-ma’lum min al-din bi ad-darurah bahwa Rasulullah SAW adalah Nabi akhir zaman. Maka, barangsiapa yang mengakui bahwa Rasulullah SAW bukan Nabi terakhir dan masih terbuka kemungkinan untuk datang nabi-nabi yang lain, maka dia bisa dikatakan mendustakan Al-Quran dan bukanlah masuk definisi Islam.
Sebelumnya:
Misi Saya Ke Indonesia Untuk Mempersatukan UmatBerikutnya:
Majelis Hukama Al-Muslimin