Di sebuah majelis pengajian di Makkah, usai menyampaikan ceramah saya ditanya oleh seorang jamaah: "Sebaiknya apa yang perlu dilakukan oleh jamaah haji atau umrah di Makkah ini selain amaliyah haji umrah?"
Saya jawab: "Perbanyak towaf sunah, dzikir, baca Al-Quran dan sebisa mungkin mengaji makna ayat-ayatnya. Syukur-syukur sambil menandai & menghafal beberapa ayat penting yang terkait dengan kehidupannya."
Mumpung sedang di Makkah, begitu saya tegaskan kepada jamaah, fokuslah ibadah dan mengkaji Islam. Jika sudah kembali ke tanah air, nanti alasannya disibukkan banyaknya pekerjaan, urusan rumah tangga, masyarakat, dan segudang dalih lainnya yang mudah dimaklumi. Ujung-ujungnya habis waktu dan kita tidak pernah secara serius mendalami ajaran agamanya sendiri.
Dengan kata lain, kebodohan dan keawaman kita terhadap ajaran agamanya sendiri yang bisa menuntun hidupnya dunia dan akhirat terpaksa harus dimaklumi oleh kesibukan duniawiyah. Padahal dunia ini bukan tujuan akhir, dan hanya bersifat sementara. Oh, karena sibuk dengan urusan dunia, maka dimaklumilah jika ia tidak paham aturan shalat, tidak paham bagaimana dzikir mendekatkan diri pada Allah, bahkan tidak paham apa sesungguhnya orientasi hidup dan kehidupannya di dunia ini.
Saya tandaskan bahwa minimalnya selama musim haji khatamlah sekali, bagus juga kalau bisa lebih dari sekali. Lebih bagus lagi jika khatamkan pula artinya. Jangan ikut-ikutan latah seperti yang kebanyakan dilakukan jamaah haji dan umrah kita, yang menghabiskan waktunya di Makkah Madinah untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Pulang haji atau umrah masih saja tidak bertambah ilmu, wawasan, apalagi bertambah komitmennya dalam menjalankan agama.
Khusus terkait soal mempelajari Al-Quran, saya sampaikan bahwa mengkhatamkan Al-Quran itu hakekatnya seperti sedang memutar ulang rekaman Kenabian Muhammad SAW selama sekitar 23 tahun: baik ketika Nabi SAW berada di Makkah atau Madinah. Karena Al-Quran diturunkan selama masa 23 tahun itu dengan segala hal yang melatarbelakanginya.
Jadi, ketika seseorang membaca surat Al-Alaq ("iqra bismi-Rabbika al-ladzi Kholaq"), itu seperti memutar ulang pengangkatan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul di Gua Hira. Ini tonggak sejarah, momentum perubahan menuju pribadi yg tercerahkan dalam bimbingan cahaya Ilahi (bismi Rabbik).
Bagus lagi jika kita memahami konsel "Bismi Rabbik" (dengan Nama Tuhanmu) itu seperti setiap hari kita baca "ihdina-s shirotol mustaqiim" (tunjukilah kami jalan yang lurus), yaitu jalan Allah. Maka, melakukan segala sesuatu dengan Nama Allah. Itulah ikhlas. Semuanya harus lilLaah!
Atau, misalnya lagi, pas membaca ayat pindah kiblat (Al-Baqarah: 144) itu harus merasa bahagia luar biasa seperti yang dirasakan oleh Rasul SAW karena permohonannya dikabulkan. Sebab sejak hijrah ke Madinah, Rasul menanti perpindahan kiblat itu selama 16 bulan 22 hari. Tiap hari menengadah ke langit karena didesak kaumnya. Artinya, sejak hijrah ke Madinah umat Islam shalat masih menghadap Baitul Maqdis selama itu, lalu turunlah ayat tersebut. Beberapa abad kemudian, di tempat turunnya wahyu perpindahan kiblat itulah kemudian dibangun Masjid Qiblatain (masjid dengan dua kiblat) sebagai monumen. Sejak itu shalat kita menghadap Kabah hingga sekarang dan sampai Hari Kiamat kelak.
Renungkanlah, Rasul SAW saja sedemikian sabarnya menanti permohonannya dikabulkan. Maka, para ulama pun harus mencontoh Rasul dalam hal kesabarannya memanjatkan doa untuk umat. Percayalah, doa ulama untuk umatnya, sebagaimana doa Rasul SAW untuk umatnya dengan meminta perpindahan kiblat ke arah Masjidil Haram, akan dikabulkan oleh Allah SWT.
Atau, ketika membaca ayat:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sehagian harta yang kamu cintai" (Qs. [3]: 92), perasaannya harus seperti yang dirasakan oleh para sahabat ketika baru saja mendengar ayat itu disampaikan oleh Nabi SAW. Mereka berebut angkat tangan untuk menjadi yang pertama mengamalkannya, karena mengetahui maksud dan pahalanya yang luar biasa.
Beberapa detik setelah ayat itu dibacakan Nabi SAW, Abu Thalhah RA langsung angkat tangan dan mewakafkan salah satu kebun terbaiknya. Kebun terbaik itu maknanya pada zaman ini seperti seorang pengusaha kaya raya yang mewakafkan salah satu perusahaannya yang paling produktif; bukan yang mau bangkrut lalu diwakafkan.
Abu Thalhah RA paham betul makna ayat itu:"… Sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai", bukan "yang kamu miliki". Saya ilustrasikan begini: jika di dompet saya ada lembaran uang Rp. 2000, Rp. 5000, Rp. 10000, Rp. 20000, Rp. 50000 & Rp. 100000, mana yang paling kucintai?
Jika Abu Thalhah ada saat ini, maka pas tadarus membaca ayat itu dia akan keluarkan lembaran yang Rp. 100000 untuk diinfakkan. Itulah "yang kamu cintai". Adapun "yang kamu miliki", maka bisa saja yang diinfakkan adalah pecahan yang Rp. 2000, atau Rp. 5000, yang penting yang dimiliki.
Saat ketemu ayat:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَان
"nikmat mana lagi yang kau dustakan" yang terulang-ulang sebanyak 33 kali dalam surat Ar-Rahman, mestinya perasaannya seperti Sayyidina Abu Bakar RA. Yang tidak kuat meneruskan bacaannya karena saking takutnya dengan hentakan kalimat yang terulang-ulang itu.
"Nikmat mana lagi yang kau dustakan" seolah menampar kita berulang-ulang bahwa kita sudah terlalu banyak mengingkari nikmat-nikmat yang telah Allah berikan pada kita. Bergetarkah hati kita membaca dan mendengarnya?
Kebanyakan kita saat membaca Al-Quran hanya sekedar membaca, ruhnya tidak ada, dan tidak menjiwainya. Mungkin malah kalah dengan bacaan komik, atau menonton serial sinetron, bisa benar-benar menjiwai. Lalu, bagaimana dengan orang muslim yang tidak pernah membaca Al-Quran, atau jarang menyentuhnya? Bagaimana hidayah akan masuk kepadanya?
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِر
"Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk menjadi pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (Qs. [54]: 17) Aku tutup majelis tersebut dengan ayat ini yang terulang sampai 4 kali dalam surat Al-Qalam. Kulihat sebagian besar jamaah tertunduk, dan ada yang sejak tadi meneteskan air mata.
Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan hal ini? Semoga bisa menjadi pintu masuknya hidayah-Mu kepada umatku.