Bersyukur! Hakekat makna bersyukur hanya dapat dimengerti dan dapat dipahami oleh seseorang dengan 5 W + 1 H. Kepada siapakan kita bersyukur (Who), hal apa yang patut kita syukuri (What), kapan kita harus bersyukur (When), untuk apa kita bersyukur (Why), dari manakah datangnya nikmat yang harus kita syukuri (Where), dan bagaimanakah cara kita untuk bersyukur (How)?
Selanjutnya, baru bisa dimengerti, dipahami, dan dirasakan hakekat makna bersyukur oleh yang terlibat dalam proses tersebut.
Manusaia adalah makhluk yang memiliki potensi lebih dari pada binatang. Manusia itu berakal, namun ada tuntunan untuk bertanggungjawab. Bertanggungjawab atas umurnya, jasadnya, ilmunya, hartanya, dan lain-lain.
Untuk itu, manusia diberi tuntunan yang mutlak wajib ditaati demi tercapainya kesempurnaan kehidupan manusia dan abadinya kemanusiaan. Mengingat bahwa semua ilmu penemuan manusia sejagat, kalau belum/tidak dibenarkan oleh wahyu Allah, itu masih bersifat relative.
Masing-masing manusia dikarunia jatah potensi yang berbeda-beda, bertingkat-tingkat: ati, uteg, otot (hati: perasaan, otak: akal fikiran, otot: fisik dan tenaga kasar). Dengan taufiq dan hidayah Allah, keilmuan dianugrahkan kepada insan-insan akademis dan akademisi yang aktif. Hikmahnya, agar potensi-potensi mereka tidak hilang, punah, atau salah arah.
Dari hidayah muncul keterpanggilan untuk mengabdikan diri di masyarakat sesuai medanya masing-masing. Ada jalan ada petunjuk; petunjuk untuk orang pintar, petunjuk untuk orang bodoh, petunjuk untuk orang kaya, petunjuk untuk orang miskin, pejabat, masyarakat, dan seterusnya.
Kerja keras membuahkan kualitas dan kuantitas, tapi tidak akan dilakukan kecuali dengan kemauan yang keras. Marilah kita menginstropeksi diri, berapa persenkah karunia Allah yang telah kita fungsikan dan kita aktifkan?
Satu hal yang sangat berpengaruh dalam visi dan misi kehidupan adalah prinsip. Bagi orang yang berbangsa, tegaknya hukum kebangsaan adalah prinsip. Bagi orang yang beragama (Syariah), tegaknya hokum syariah adalah prinsip. Bagi atheis, tegaknya hukum anti-Tuhan adalah prinsip. Bagi orang munafik (berpura-pura dan setia) plin-plan dan kebohongan adalah prinsip. Bagaimanakah dengan para akademisi?
Tegaknya nilai-nilai akademis adalah prinsip. Tetapi apa yang terjadi? Banyak yang hanya setingkat “membenarkan kemnyataan dan tidak sanggup menyatakan kebenaran.” Banyak yang kalah oleh hegemoni tahta, guyuran harta, gertakan senjata, dan yang lainnya.
Setiap orang; besar, kecil, kaya, miskin, semuanya punya sejarah. (MP) mencari perhatian dengan peran kepahlawanannya, meski hanya mencarikan dan mendapatkan rezeki untuk keluarganya dan bertahun-tahun selalu makan gaplek setengah hari.
Penjajahan 350 tahun mengakibatkan ketidaksamaan bagsa ini dalam memahami dan mendefinisikan apa itu kemerdekaan dan apa itu penjajahan. Tanyakan kepada 7 Presiden RI, pasti jawabanya akan berbeda-beda. Mangapa? Apakah karena keenakan dijajah kemudian kangen? Atau takut tidak dapat porsi kemerdekaan? atau karena sebab-sebab yang lain?
Waspadai Orde Lama! Bahaya laten Orde Lama. Waspadai Orde Baru! Bahaya laten Orde Baru. Waspadai Orde-orde tanpa identitas, tanpa jati diri. Waspada terhadap orde yang hanya menjadi tukang Catut Rakyat!
Kekayaan alam bumi RI darat dan laut, mencengangkan para wisatawan. Tapi, Bangsa Indonesia malah berwisata ke luar negri yang tidak semuanya layak dikunjungi. Kasihan, pembohongan dan pembodohan membuahkan pemborosan dan pembocoran harat bangsa ini.
SDM (Sumber Daya Maling) yang ada di dalam negri merusak ekonomi dengan halus dan kasar, terselubung dan nyata. Apalagi SDM (Sumber Daya Menipu) para penjajah, dan neo penjajah yang menguras SDA (Sumber Daya Alam) Indonesia dengan lambat dan cepat. Bahkan dengan jual-beli peraturan dan perundang-undangan.
Ibarat pemain bola yang tidak bisa memasukan bola ke gawang. Bukan tendangannya yang diperbaikai, tetapi justru gawanganya yang digeser. Orang lain harus disalahkan dan dikalahkan, rugi dan dirugikan, namun dirinya harus selalu dimenangkan dan dibenarkan, untung dan diuntungkan.
Sejatinya, mereka itu adalah penjajah manusia yang tidak sadar kalau sudah dijajah oleh syetan dunia dan keduniaan. Ingat, bangsa-bangsa penjajah itu menggunakan jurus “Serba K”: Kacaukan, Kendalikan, Kuasai, dan Kuras. Hingga akhirnya rakyat klenger, kurus, kere, dan kenyaglah mereka. (Bersambung…)
“Kerja keras membuahkan kualitas dan kuantitas, tapi tidak akan dilakukan kecuali dengan kemauan yang keras. Marilah kita menginstropeksi diri, berapa persenkah karunia Allah yang telah kita fungsikan dan kita aktifkan?”.
Sebelumnya:
Cross Campus Bina Kreatifitas SantriBerikutnya:
Muhammadiyah-NU; KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.