Dampak Sosial Haji Mabrur; KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.

Dampak Sosial Haji Mabrur; KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.

Setiap tahun jamaah haji asal Indo­nesia mencapai 210 ribu orang lebih; merupakan kafilah haji terbesar di seluruh dunia. Tentu saja, semuanya mengharapkan agar ibadahnya dite­rima oleh Allah SWT dan pulang ke tanah­ air dengan menyandang predikat haji mabrur yang menjadi dambaan setiap jamaah.

Namun, masih banyak yang belum memahami hakekat sesungguhnya dari

haji mabrur itu. Sebuah Hadis Nabawi berikut ini bisa menjelaskan makna dan hakekat haji mabrur itu. Jabir ra meriwayat­kan bahwa ia berkata: Rasulullah­ SAW bersabda, “haji yang mabrur ba­lasannya tiada lain kecuali surga.” Para sabahat bertanya: Wahai Nabi, apakah yang dimaksud haji mabrur itu? Rasulullah­ SAW menjawab, “memberi makan orang dan menebar salam.” (HR. Ahmad)

Maknanya, haji mabrur bukanlah predikat yang otomatis melekat pada jamaah sepulang dari Tanah Suci, karena haji mabrur memiliki ciri dan karakteristik yang harus dipenuhi, yaitu memberi makan orang dan menebar salam.

“Memberi makan orang” bermakna kepedulian dan kepekaan sosial, juga bermakna menyejahterakan, karena “makan” adalah simbol kesejahtera­an­ seseorang. Seseorang dikatakan sejahtera hidupnya manakala ia bisa memenuhi kebutuhan makannya.

Dengan demikian, seorang haji sepulang dari Tanah Suci ia harus me­­­nunjukkan kepedulian dan ke­pe­­kaannya terhadap kondisi kemasyarakat di sekelilingnya. Kehadir­annya kembali­ di tengah-tengah masyarakat diharap­kan dapat membangkitkan dan menye­mangati terwujudnya ke­se­jahteraan bagi lingkungan sekitar­nya.­

Jadi, jika ada seorang haji sepulang dari ibadah di Tanah Suci tidak menunjukkan sikap peduli, peka sosial dan malah menunjukkan sikap acuh dan bakhil, maka hal itu jelas bertentangan dengan yang diajarkan Rasulullah SAW.

Ciri kedua adalah “menebar salam”. Yang dimaksud dalam hadis di atas bukan sekedar ‘mengucapkan salam’ (dalam Bahasa Arab dise­but ‘ilqo’us salam’) yaitu tindakan menyapa orang lain dengan sapaan salam, melainkan ‘menebar salam’ (ifsya’us salam) sebagaimana termaktub dalam Hadis Nabi di atas.

Dalam bahasa Arab ‘salam’ artinya­ ‘damai’ atau ‘selamat’. Maka surga dise­but “Darussalam”. “Allah menyeru­ manusia ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)” (Qs. Yunus [10]:25)

Maka, ‘menebar salam’ bermakna menebar keda­maian dan keselamatan. Artinya, kehadiran seorang haji dari ibadah di Tanah Suci diharap­kan mampu mem­bawa suasana kedamai­an dan keselamatan.­ Dengan demikian, jika ada seorang haji yang kepu­lang­annya kembali ke tanah air malah membuat ga­duh di masyarakat, atau bahkan membuat suasana ling­kungan­ menjadi tidak nyaman akibat tingkah polah buruk dan kesombongannya, maka jelas sekali hal demikian itu bertentangan dengan ajaran Rasulullah SAW.

Itulah dua ciri dan karakteristik haji mabrur yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW yang harus dipenuhi oleh seorang haji. Maka, jika diasumsikan tiap tahun ada 210 ribu jamaah haji asal Indonesia, sesungguh­nya hal itu merupakan potensi luar biasa untuk bangsa ini. Arti­nya, setidaknya akan lahir setiap tahunnya orang-orang baru di negeri ini yang siap untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat menyejahtera­kan dan mendamaikan,­ yaitu orang-orang yang punya kepedulian dan kepekaan sosial yang tinggi serta orang-orang yang berpikir dan bertindak arif, santun dan menyejukkan suasana.

Itulah dampak sosial haji mabrur yang sejatinya sangat dinanti-nanti oleh bangsa ini. Semakin banyak yang berangkat haji, maka semakin besar bangsa ini memiliki pribadi-pribadi berpredikat haji mabrur, dan selanjutnya semakin mudah bagi negeri ini untuk keluar dari jeratan krisis multi-dimensi, baik krisis akhlak, krisis ekonomi, politik dan budaya. Mari kita tunggu kehadiran dan kiprah haji mabrur di Indonesia untuk menyejahterakan dan mendamaikan kehidupan kebangsaan di Republik tercinta ini. Semoga!

“Jika ada seorang haji yang kepulangannya kembali ke tanah air malah membuat gaduh di masyarakat, atau bahkan membuat suasana lingkungan menjadi tidak nyaman akibat tingkah polah buruk dan kesombongannya, maka jelas sekali hal demikian itu bertentangan dengan ajaran Rasulullah SAW."