Setiap orang memiliki pandangan hidup, pegangan hidup, pola dan kepribadian masing-masing. Semua itu merupakan privasi yang tidak ada hak bagi siapa pun untuk mengintervensi atau memaksakan kehendak dirinya kepada orang lain. Bagi kita, sebagai seorang Muslim, filsafat hidup, pegangan hidup, dan pandangan hidup kita adalah syahadatain. Asyhadu an la ilaa illa allahu wa asyhadu anna muhammadan rasulullah (aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah).
Dua kalimat syahadat ini harus kita pegang dengan teguh dan pertahankan dengan baik-baik. Implementasinya harus tampak pada tingkah laku dan kesetiaan atau loyalitas kita semua (kepada Allah), sehingga dalam melakukan segala sesuatu senantiasa berdasarkan dua kalimat syahadat tersebut. Jadi untuk menjalankan fungsi, mendidik anak, mendidik murid, apapun yang kita lakukan, harus selalu didasarkan pada syahadatain, karena hanya dua kalimat inilah yang menjadi pandangan hidup, filsafat hidup dan pegangan hidup kita semua.
Orang terkadang lain yang dia katakan, lain pula yang dia kerjakan. Banyak orang yang mengatakan ‘ini harus lurus’, tetapi dalam perbuatannya tidak lurus. Ini banyak sekali terjadi dalam kehidupan di sekeliling kita. Jika seorang pemimpin memiliki sifat seperti itu, maka orang banyak tidak akan lagi percaya padanya. Mereka tidak mau lagi menerima atau mau melaksanakan tugas darinya. Ucapan pemimpin seperti itu tidak lagi berwibawa dan ditaati bawahannya. Semua itu terjadi karena yang berbicara tidak setia pada apa yang dia bicarakan kepada orang lain. Bahkan, ia tidak setia pada dirinya sendiri.
Dulu, ada suatu kisah tentang seorang yang kaya, dermawan, dan kebetulan mempunyai rujukan seorang ulama, yang ternyata ulama itu tidak seperti yang dia perkirakan. Ulama itu mempunyai penyakit keduniaan, tamak keduniaan, sehingga ia selalu memperhitungkan ilmunya dengan harta. Hingga pada suatu ketika, orang dermawan dan hartawan tadi terpaksa mengatakan kata-kata yang keras dan tidak mengenakkan di hadapan ulama ini, “Aku menyayangimu,
wahai ulama, karena ilmumu. Aku menghormatimu karena ilmumu. Dan aku menghargaimu karena ilmumu. Akan tetapi karena kamu tidak menghargai ilmumu sendiri, maka aku tetap menghargai ilmumu, tetapi sudah tidak menghargai dirimu lagi.”
Inilah kata-kata yang dikeluarkan oleh orang hartawan dan dermawan tadi terhadap ulama yang mempunyai penyakit dunia dan keduniaan. Maka bagaimana mungkin orang mau percaya, taat, dan setia terhadap ulama semacam ini, kalau dia sendiri tidak setia kepada ilmunya sendiri, kepada pribadinya sendiri.
Maka dari itu, kita ingatkan, setiap manusia, dalam menjalankan pandangan dan jalan hidup ini., memang akan selalu menghadapi berbagai macam hal yang membuatnya harus terus mempertahankan pegangan hidup ini. Akan tetapi ingatlah, bahwa sekuat kita mempertahankan jalan hidup kita, sekuat itu pula orang akan taat kepada kita. Ingat, tidak ada kedisiplinan tanpa keteladanan, dan tidak ada kemajuan tanpa kedisiplinan. Maka, untuk maju, untuk menjadi orang yang bisa menjalankan misinya, bisa meluruskan cita-citanya, kita harus berdisiplin. Dan orang akan berdisiplin bila ada keteladanan. Keteladanan adalah awal dari segalanya, yang pada akhir-akhir ini sudah mulai hilang dari
barisan dan kalangan kita sendiri.
Berikutnya:
MODERN ATAU PRIMITIF?