WAKAF UANG

WAKAF UANG

Istilah wakaf bukanlah sesuatu yang baru dalam benak kaum muslim Indonesia. Dari dahulu orang-orang kaya muslim telah terbiasa mewakafkan tanah dan bangunannya untuk keperluan kegiatan keagamaan dan sosial. Banyak sekali masjid, sekolah, panti asuhan, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya yang merupakan hasil wakaf.

Dalam perkembangannya inilah yang disebut dengan wakaf aset seperti tanah dan bangunan. Namun, bagaimana halnya jika seorang muslim ingin berwakaf tetapi tidak memiliki tanah dan bangunan? Sementara ada pihak-pihak yang sangat membutuhkan biaya tinggi untuk pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, misalnya? Hal inilah yang kemudian mendorong para fuqaha (ahli fiqh) untuk merumuskan sistem perwakafan modern yang tetap berpijak pada landasan syariat guna mengantisipasi perkembangan zaman yang terus melaju pesat.

Sejak 2002 para ulama muslim Indonesia mulai mengenalkan istilah wakaf uang. Wakaf uang ini dimaksud sebagai jalan keluar bagi kaum muslim yang ingin berwakaf namun tidak memiliki tanah dan bangunan, sehingga dangan uangnya ia tetap bisa berwakaf dan disalurkan kepada nadhir wakaf untuk kepentingan umum.

Sebagian ulama berpendapat bahwa istilah wakaf uang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW, tetapi pada abad kedua hijriah. Menurut saya tidak demikian: wakaf uang telah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW meskipun tidak secara eksplisit disebutkan bahwa itu merupakan wakaf uang. Simaklah kisah pembebasan tanah untuk pembangunan Masjid Nabawi di Madinah.

Tanah yang sekarang berdiri di atasnya bangunan Masjid Nabawi di Madinah adalah milik dua anak yatim Bani Najjar. Sejatinya, kedua anak yatim itu hendak mewakafkannya kepada Rasulullah SAW dan bahkan beberapa kisah menyebutkan keduanya mendesak Rasul untuk menerima wakaf tanah itu. Tentu saja ini sesuatu yang sangat mulia. Namun, barangkali melihat kondisi dan kebutuhan kedua anak yatim itu, Rasulullah SAW menolaknya, bahkan menawar harga tanah tersebut untuk dibeli. Akhirnya tanah itu pun dibeli oleh Rasulullah SAW dengan harga 10 dinar emas, yang pembayarannya dilakukan oleh Abu Bakar As-Shiddiq RA.

Artinya, menurut saya, yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Shiddiq RA itu adalah wakaf uang. Meskipun sebagian ulama berpendapat lain, bahwa hal itu bukan wakaf uang tetapi wakaf tanah, karena Abu Bakar membeli tanah lalu diwakafkan. Menurut saya tidak demikian, karena yang membeli tanah adalah Rasulullah SAW tetapi yang membayar adalah Abu
Bakar RA. Jadi, Abu Bakar RA telah mewakafkan uangnya kepada Rasulullah SAW, kemudian uang itu dipergunakan oleh Rasulullah SAW untuk membeli tanah.

Beberapa ulama salaf telah memfatwakan dan
mempraktikkan wakaf uang. Imam Az-Zuhri, salah seorang
ulama salaf dan salah satu peletak dasar ilmu hadis,
menganjurkan untuk wakaf dinar dan dirham untuk ­kepentingan dakwah dan sosial. Sholahuddin Al-Ayyubi di
Mesir juga mendorong kaum muslim di Negeri Piramida itu untuk wakaf uang guna membangun negara, termasuk
masjid, sekolah dan penginapan-penginapan. Sementara di Suriah ada ulama salaf yang sangat terkenal yaitu Nuruddin Az-Zangki yang berhasil menggerakkan rakyat untuk wakaf uang guna pembangunan negara.

Wakaf uang ini terus berlanjut hingga masa Turki Usmani, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia Islam hingga hari ini. Artinya, seorang muslim kini dapat mewakafkan uangnya untuk kepentingan dakwah dan sosial, meskipun uang yang diwakafkannya itu dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, jauh di bawah harga tanah atau bangunan.

Tentang wakaf uang, sebetulnya telah diatur dalam
Undang-undang No. 41 tahun 2004. Seorang muslim dapat berwakaf dalam jumlah yang kecil hingga besar, misalnya, Rp. 10 ribu, 20 ribu, 50 ribu, 100 ribu, 1 juta, 10 juta, ­hingga ­ratusan juta bahkan ada yang berjumlah milyaran rupiah. Wakaf uang itu biasanya diserahkan kepada lembaga atau yayasan untuk digunakan bagi pembangunan masjid, pondok pesantren, sekolah, panti asuhan, rumah sakit, jalan umum, dan lain sebagainya. Sementara bagi yayasan penerima wakaf (nadhir) wakaf uang itu dapat dipergunakan untuk membebaskan tanah, membeli material bangunan dan membangun.

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (yaitu menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat-gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.
” (Qs. Al-Baqarah [2]: 245)

Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia Kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya, lagi Maha Mengetahui.” (Qs.Al-Baqarah [2]: 261)