Dalam konteks pendidikan nasional, di negeri ini terdapat dua istilah penting yaitu ‘pendidikan’ dan ‘pengajaran’. Pendidikan dan pengajaran sekilas nampak sama, tetapi sesungguhnya keduanya memiliki konsep yang berbeda. Pendidikan adalah upaya transformasi nilai (value), sedangkan pengajaran lebih kepada upaya transformasi materi ilmu pengetahuan (knowledge).
Jika seorang guru berdiri di depan kelas lalu ia mengajarkan matematika, fisika, bahasa Inggris bahkan bahasa Arab atau materi Al-Quran sekalipun, yang demikian itu disebut mengajar dan itulah proses pengajaran (learning).
Namun, tidaklah demikian dengan pendidikan. Mendidik adalah menanamkan nilai-nilai berupa sekumpulan budi pekerti yang tinggi dan akhlak yang luhur. Kaidahnya adalah: “Apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami siswa sehari-hari harus mengandung unsur pendidikan”.
Dengan demikian, guru tidak sekedar mengajarkan materi ilmu pengetahuan saja, namun guru harus bisa menjadi teladan dalam keseluruhan hidupnya; cara jalan, cara berpakaian, tutur kata, sikap mental, sampai kepada cara makan dan cara beribadah, bahkan termasuk cara pandang guru. Itulah pendidikan (education).
Guru yang mengajar sambil merokok di depan kelas, atau guru yang tutur katanya kasar, atau guru yang cara berpakaiannya tidak rapi, atau guru yang memiliki cara pandang jumud, kaku dan intoleran, yang demikian ini adalah contoh guru yang tidak bisa mendidik. Ia bukanlah seorang pendidik, meskipun ia adalah orang yang sangat hebat dalam menyampaikan pelajaran.
Saat ini banyak kita jumpai guru yang tidak mendidik, yaitu guru yang hanya bisa mengajar. Padahal pendidikan itu jauh lebih penting daripada sekedar pengajaran. Di negara-negara maju sekalipun, di Eropa dan Amerika, pendidikan lebih dipentingkan daripada pengajaran. Ringkasnya, membentuk kepribadian siswa jauh lebih penting daripada sekedar menyampaikan pelajaran. Masa depan bangsa ini membutuhkan calon-calon pemimpin yang tidak saja jenius dan cerdas, namun lebih penting lagi calon-calon pemimpin yang berkarakter dan berkepribadian kuat, berakhlakul karimah dan menetapi nilai-nilai agama dan sosial secara konsisten.
Sebagaimana halnya dalam tradisi pondok pesantren modern, demikian halnya yang akan diterapkan di Pondok Modern Tazakka, antara pendidikan dan pengajaran harus berjalan berirama, karena ada kaidah yang telah disepakati, yaitu: ”seluruh mata pelajaran harus mengandung pendidikan akhlak.” Di pesantren konsep pendidikan adalah by doing, bukan by lips. Kiai sebagai figur sentral dan para pengasuh serta guru-guru semuanya menampilkan diri sebagai teladan di hadapan santri-santrinya. Anak-anak akan lebih mudah berubah dengan meniru daripada mendengarkan.
Nilai-nilai tentang budi pekerti yang luhur harus lebih banyak dicontohkan, bukan dihabiskan di mimbar kelas atau diceramahkan saja. Maka, jika ada kiai atau pengasuh yang melanggar etika dan norma agama maupun sosial, sebaiknya secepatnya keluar dari pondok karena akan menjadi racun bagi perkembangan mental santri.
Dalam konteks pengajaran di pesantren menganut kaidah: Al-thariqah ahamm min al-maddah, wa al-mudarris ahamm min al-thariqah, war uh al-mudarris ahamm min al-mudarris; metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri.
Sehebat apapun materinya jika metode yang digunakannya tidak tepat, maka akan sulit dicerna oleh siswa. Dan secanggih apapun metodenya jika gurunya tidak cukup kapasitas untuk mengajarkannya maka hasilnya akan tidak maksimal. Namun demikian, sehebat apapun metode, materi dan gurunya, jika gurunya tidak memiliki jiwa mendidik, jiwa mengayomi, maka tidak akan pernah bisa melahirkan siswa yang cakap dan berprestasi.
Maka dari itu, ada tiga unsur penting dalam suksesnya sebuah proses pengajaran dan pendidikan, yaitu materi yang berbobot, metode yang tepat dan guru yang memiliki ruh, yaitu jiwa mendidik, membentuk dan membimbing siswa ke arah kebaikan dan kemajuan. Ketiga unsur inilah yang akan dicoba diterapkan secara maksimal di Pondok Modern Tazakka.
Saat ini banyak guru tetapi tidak memiliki jiwa keguruan, sebagaimana halnya banyak pemimpin tetapi sedikit sekali yang memiliki jiwa kepemimpinan. Maka, jadilah guru yang bisa mengajar dan mendidik sekaligus. KH. Hasan Abdullah Sahal, Pimpinan Pondok Modern Gontor pernah berpesan: “Kita adalah guru bagi semesta ini, maka jadilah guru yang baik.”
Sebelumnya:
Masalah Khilafiyah (2)