Keteladanan adalah sesuatu yang sangat prinsipil dalam pendidikan. Tanpa keteladanan proses pendidikan ibarat jasad tanpa ruh. Menurut ahli-ahli psikologi, naluri mencontoh merupakan satu naluri yang kuat dan berakar dalam diri manusia. Naluri ini akan semakin menguat lewat melihat.
Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli psikologi yang mengatakan bahwa 75 % proses belajar didapatkan melalui penglihatan dan pengamatan,
sedangkan yang melalui pendengaran hanya 13%. Dengan demikian, pendidikan itu by doing, bukan by lips: pendidikan adalah dengan contoh bukan dengan verbal. Pendidikan yang sesungguhnya adalah keteladanan.
Jika pendidikan adalah melalui contoh, maka faktor figur menjadi sangat penting, baik di rumah, sekolah maupun masyarakat. Siapakah figur sentral di rumah? Siapakah figur sentral di sekolah? Dan siapakah figur sentral di masyarakat? Karena dalam tahapan pertumbuhan dan proses belajar, ciri khas seorang yang menjadi teladan bagi anak-anak dan remaja sangatlah penting. Semakin sempurna seorang dewasa yang menjadi teladan bagi anak-anak, maka tingkat penerimaan dan keberlansungannya juga semakin banyak. Lihat saja tingkah polah dan perilaku anak-anak kita, mereka sangat menyukai perilaku orang yang diteladaninya dan dengan senang hati berusaha membentuk dirinya seperti orang yang diteladaninya itu.
Maka dari itu, orang tua, guru dan lingkungan masyarakat harus mampu menjadi teladan bagi anak-anak didik, mulai dari pikiran, ucapan, tingkah laku, bahkan hingga ke pakaiannya: semuanya itu akan menjadi media untuk ditiru oleh anak.
Setiap hari anak-anak yang berangkat dari rumah menuju sekolah, di jalan ia akan melihat dan menemui berbagai macam nilai yang berkembang di masyarakat. Jika nilai yang ditemuinya di jalan tidak sesuai dengan nilai yang diajarkan di rumah maupun sekolah, maka bisa dibayangkan anak akan mengalami kebingunan intelektual yang terus menerus. Celakanya, apabila anak akhirnya lebih tertarik dan memilih nilai jalanan ketimbang nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah maupun di rumah. Di sinilah peran orang tua dan sekolah menjadi sangat penting. Maka dari itu, orang tua dan guru zaman sekarang disamping memiliki karakter yang kuat, harus pula berwawasan luas dan mengikuti perkembangan zaman agar mampu menandingi dan memenangkan pertarungan nilai di hadapan anak-anaknya.
Dengan demikian, pendidikan sesungguhnya adalah membentuk miliu secara menyeluruh; orang tua, sekolah dan masyarakat. Tidak mungkin berjalan sendiri-sendiri, apalagi satu sama lain berlawanan arah. Di pesantren miliu pendidikan dirancang, diawasi dan dipelihara sepanjang hari. Di pesantren, orang tua, sekolah dan masyarakat menjadi miliu yang menyatu. Kiai, pengasuh dan guru-guru berfungsi sebagai orang tua, sedangkan kehidupan berasrama selama 24 sehari di pesantren merupakan miniatur masyarakat. Maka, pesantren adalah tempat pendidikan hidup dan kehidupan bagi santri-santrinya.
Oleh karenanya, di pesantren hubungan santri dan masyarakat harus dibatasi untuk meminimalisir pengaruh-pengaruh buruk dari luar. Santri hidup dalam lingkungan disiplin yang tinggi dan terus menerus dilibatkan dalam proses olah pikir dan zikir untuk membentuk keseimbangan pendidikan sains dan akhlakul karimah yang ditanamkan oleh pesantren.
Sekali lagi, pendidikan adalah keteladanan. Guru yang tidak siap menjadi teladan, lebih baik ‘pensiun dini’. Kiai atau dai yang tidak siap menjadi teladan, lebih baik ‘tinggalkan mimbar’. Guru dan kiai harus siap dilihat dan dicermati segalanya: termasuk rumah tangganya, anak-anaknya, makanannya, pekerjaannya, pola hidupnya, hingga cara pandangnya. Sebab, guru, kiai atau dai yang perilakunya tidak sesuai tuntunan nilai akhlakul karimah justru akan merusak dari dalam proses pendidikan itu sendiri. Karena itu ada istilah dalam idiom Jawa, “Guru iku digugu lan ditiru”: guru itu ditaati dan ditiru.
Sebab itu, Allah SWT menset-up kepribadian Rasulullah untuk dijadikan panutan dan ukuran akhlak bagi semesta alam. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (Qs. Al-Ahzab [33]: 21). Mestinya, guru, orang tua, kiai, dai dan pekerjaan sejenisnya, dalam skala yang lebih kecil harus mampu menjadi teladan yang sempurna untuk anak-anaknya, sebagaimana Rasul untuk seluruh manusia, sebagaimana Rasul bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”
Guru yang tidak siap menjadi teladan, lebih baik ‘pensiun dini’. Kiai atau dai yang tidak siap menjadi teladan, lebih baik ‘tinggalkan mimbar’.
Sebelumnya:
KETERPANGGILAN; KH. Hasan Abdullah SahalBerikutnya:
Koran Mini Tazakka Edisi 37