Akhir-akhir ini mulai hangat diperbincangkan mengenai pentingnya pendidikan karakter bagi peserta didik di semua tingkatan, mulai pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Hemat saya yang demikian itu sangat baik, meskipun pengertian pendidikan karakter itu sendiri masih harus didiskusikan secara mendalam dan berkelanjutan.
Saya ingin memulai dari kata pendidikan dan pengajaran. Sesungguhnya keduanya memiliki makna yang berbeda. Menurut Prof. Dr. Mahmud Yunus, pendidikan atau mendidik adalah usaha menyiapkan anak agar dapat mempergunakan tenaga, pikiran dan bakatnya dengan sebaik-baiknya sehingga mencapai kehidupan yang sempurna di masyarakatnya.
Pengajaran atau mengajar ialah proses menyampaikan ilmu pengetahuan kepada anak supaya menjadi pandai. Dengan kata lain, pendidikan adalah proses transformasi nilai (value), sedangkan pengajaran ialah proses transformasi ilmu pengetahuan (knowledge). Pendidikan itu membentuk kepribadian, sedangkan pengajaran berorientasi menciptakan ahli dalam bidang ilmu pengetahuan.
Sekolah, pesantren, perguruan tinggi, dan apapun namanya, sejatinya harus dapat berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi anak, bukan sekedar tempat pengajaran saja. Demikian halnya guru, dosen, ustadz, kiai, semuanya harus mampu menjalankan peran dan tugas mendidik, tidak sekedar mengajar. Sebab, saya mengamati sekarang ini banyak guru, dosen, ustadz, kiai yang hanya bisa mengajar, tetapi tidak bisa mendidik.
Mendidik itu medianya adalah keteladanan; uswatun hasanah. Karena setiap anak akan lebih mudah meniru apa yang dilihatnya di hadapannya. Maka, apa yang didengar, dilihat, dan dirasakan oleh anak, semuanya harus mengandung unsur pendidikan. Kalau yang didengar, dilihat dan dirasakan oleh anak adalah hal-hal yang negatif, maka akan menjadi negatif pula outputnya. Dalam hal ini, seorang guru, dosen, ustadz, dan kiai harus siap dan menyiapkan diri untuk ditiru dan diteladani ucapannya, gerak-geriknya, sikap dan perilakunya. Lingkungan juga harus mendukung dalam menciptakan miliu keteladanan yang baik, yaitu yang bermuara pada nilai-nilai akhlakul karimah.
Barangkali itu yang dimaksud dalam sabda Nabi SAW: “Tidaklah setiap anak dilahirkan kecuali dalam keadaan suci. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, dan musyrik.” (HR. Muslim) Artinya, anak akan menjadi seperti apa itu tanggungjawab orang tua, guru, termasuk lingkungan.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q, s. An-Nahl [16]:78) Ini ayat tentang pendidikan. Proses dari tidak mengetahui apa-apa hingga menjadi mengetahui banyak hal adalah lewat media pendengaran, penglihatan, danhati nurani.
Namun, kalimat “agar kamu bersyukur” adalah capaian yang harus dipenuhi, yaitu kematangan spiritual, akhlakul karimah. Sederhananya, pendidikan harus dapat melahirkan anak didik yang ber-akhlakul karimah. Rasulullah SAW bersabda bahwa, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad)
Secara umum pendidikan yang ada sekarang lebih meneka-kan pada aspek pengajaran daripada pendidikan. Ukuran sukses dan tidaknya peserta didik adalah mata pelajaran, bukan akhlak dan perilaku sehari-hari. Kenaikan kelas dan kelulusan diukur dari sejauhmana anak mampu mengerjakan soal-soal ujian, bukan pada seberapa besar kualitas kepribadian dan akhlakul karimah yang dimilikinya, baik akhlak kepada dirinya sendiri, guru-guru, teman-teman, maupun lingkungannya. Menurut saya ini kurang tepat. Harusnya diukur dari keduanya: akademi dan mental.
Maka, tidak heran jika ada anak pandai tapi tidak berkarakter; pandai namun tidak menghormati orang tua dan gurunya; pandai tetapi prilakunya tidak bersahabat dengan teman-temannya; pandai tetapi merusak lingkungan.
Fenomena tawuran antar pelajar, penggunaan narkoba pada peserta didik, pergaulan bebas, konvoi motor dengan baju di-corat-coret saat merayakan kelulusan, bahkan terjadi kasus menyontek masal pada saat ujian akhir, menurut saya adalah akibat selama ini kita mengabaikan pendidikan akhlak kepada mereka. Sekolah dan guru hanya sebagai alat menyampaikan pelajaran, bukan alat untuk mendidik, membentuk dan membina kepribadian.
Tentu saja, kita tidak boleh mengabaikan hal ini sampai berlarut-larut. Kita harus mengambil langkah bersama untuk membenahinya sedikit demi sedikit, yaitu kerjasama antara orang tua, sekolah, lingkungan dan negara. Kembalikan fungsi dan peran sekolah, guru, ustadz, kiai bersama orang tua dan lingkungan sebagai pendidik sekaligus pengajar bagi anak-anak bangsa ini. Kerjasama dan sinergi dari semua pihak harus segera dilakukan agar masa depan anak-anak kita terselamatkan.
Penekanan pada pendidikan akhlak dan kepribadian harus lebih menonjol daripada sekedar menyampaikan ilmu pengetahuan. Dan kita tidak perlu jauh-jauh berkiblat ke Barat, Eropa, Amerika dan lain-lain dalam menggali inspirasi nilai-nilai akhlakul karimah ini. Sebab, sosok dan pribadi Rasulullah SAW adalah puncak kemuliaan akhlakul karimah di muka bumi. “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. Al-Ahzab [33]:21) Itu saja digali dan disampaikan dan diteladankan kepada anak-anak, insya Allah tidak ada habisnya.
Sekolah, pesantren, perguruan tinggi, dan apapun namanya, sejatinya harus dapat berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi anak, bukan sekedar tempat pengajaran saja
Sebelumnya:
CV LANTABUR MULAI OPERASI