Ucapan Selamat Natal Bentuk Toleransi?

Ucapan Selamat Natal Bentuk Toleransi?

Oleh: KH. Anang Rikza Masyhadi, MA

Tiap memasuki bulan Desember, selalu saja ramai perdebatan tentang boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat natal. Ada yang membolehkan, ada yang melarang; masing-masing dengan dalilnya sendiri-sendiri. Puluhan kitab telah terbit khusus membahas bab ini dari sisi hukum.

Saya tidak ingin terlibat dalam perdebatan itu. Saya justru ingin mengajukan pertanyaan: haruskah seorang muslim mengucapkannya? Jelas, jawabannya: tidak! Maka, jika tidak harus lalu dimana masalahnya?

Apakah dengan tidak mengucapkan selamat natal berarti kita tidak toleran? Dan apakah toleransi itu harus ditunjukkan dengan mengucapkan selamat natal?

Apakah umat Kristiani akan memaksa atau lebih tepatnya sangat mengharapkan ucapan selamat natal dari kaum Muslimin? Saya kira tidak lah! Sebagaimana juga kaum Muslimim tidak akan memaksa kaum Kristiani untuk memberi ucapan selamat Idul Fitri, misalnya, atau selamat Maulid Nabi.

Apakah dengan tidak memberi ucapan selamat natal lantas hubungan kaum Muslimin dan kaum Kristiani akan terganggu? Sebagaimana juga apakah jika kaum Kristiani tidak memberi ucapan Idul Fitri atau Maulid Nabi lantas kaum Muslimin merasa terusik?

Jangan lebay-lah! Toleransi dan harmoni hubungan antar umat beragama, tidak sesederhana hanya dilihat dan diukur dari sekedar saling mengucapkan selamat. Toleransi itu, menurut saya, ketika masing-masing memberi kebebasan dan kenyamanan pada yang lain untuk beribadah dan melaksanakan keyakinannya.

Ini hari natal, misalnya, silahkan bagi umat Kristiani merayakannya dengan caranya sendiri. Kami hargai dan hormati! Begitupun, saat kaum Muslimin merayakan hari-hari besarnya, maka mereka harus menghargainya dan menghormatinya. Itu sudah sangat cukup! Itulah toleransi yang sesungguhnya; tidak basa-basi!

Hubungan sosial (muamalah) tidak akan terganggu gara-gara tidak saling mengucapkan selamat kan? Kristiani yang punya tetangga Muslim, tidak akan bermusuhan gegara tidak mengucapkan selamat natal kan? Sama saja; insyaAllah tidak ada Muslim yang akan memusuhi gegara tetangga Kristianinya tidak mengucapkan selamat Idul Fitri, Maulid Nabi atau yang lain. Muamalah ya muamalah; bisnis ya bisnis; berteman ya berteman; jalan normal aja! Jangan lebay-lah!

Puluhan tahun bangsa ini hidup dalam harmoni, dan sikap toleransi antar umat beragamanya menjadi rujukan bangsa-bangsa di dunia. Tidak ada masalah! Kecuali ada orang yang selalu menjadikan masalah sesuatu yang tidak ada masalah.

Lho, tapi kan ada orang yang menyamakan ucapan natal dengan selamat Maulid Nabi: kan sama-sama kelahiran junjungan masing-masing? Dengerin baik-baik ya! Bagi yang mau nyama-nyamain ya biar saja, silahkan; tapi menurut saya beda! Saya tidak akan maksa anda; dan anda pun jangan maksa saya dong!

Menurut saya, kelahiran Nabi Muhammad pada 12 Rabiul Awal pada tahun 571 M itu, adakah yang mempersoalkannya? Kayaknya hampir gak ada deh! Sementara 25 Desember sebagai kelahiran Yesus itu masih debatabel hingga kini. Dan, bagi saya itu tidak jadi soal, tidak ada urusannya denganku; apakah Yesus itu lahir 25, 26, 27 dan apakah di bulan Desember, Januari, atau bulan apa saja. “Lakum diinukum wa liya-d diin.”

Ada lagi yang bilang: jika anda tidak percaya dengan kelahiran Yesus, berarti tidak percaya pada kelahiran Nabi Isa? Hehehe… Beda dong! Ini lagi bahas Nabi Isa atau Yesus?

Bagi kami, keduanya beda: kami mengakui Nabi Isa sebagai nabi dan rasul Allah; tapi bukan Isa sebagai Yesus! Nabi Isa tidak akan pernah menjadi tuhan! Itu keyakinan kami, boleh kan? Tetapi, sahabat-sahabat kami mengakuinya sebagai tuhan? Ya tidak apa-apa, itu kan keyakinan mereka. Sekali lagi: “Lakum diinukum wa liya-d diin.”

Kitab suci kami bunyinya begini:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ ۘ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا [سورة النساء 171]

Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan yang diciptakan dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan dengan tiupan roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, “Tuhan itu tiga,” berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Dia dari anggapan mempunyai anak. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung. (Qs. An-Nisa [4]: 171)

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَٰهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ ۚ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ ۚ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ [سورة المائدة 116]

Dan ingatlah ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?” Isa menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.” (Qs. Al-Maidah [5]: 116)

إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ ۖ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ [سورة آل عمران 59]

Sesungguhnya perumpamaan penciptaan Isa bagi Allah, seperti penciptaan Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (Qs. Ali Imran [3]: 59)

Rasulullah SAW sendiri mewanti-wanti umatnya sebagaimana diriwayatkan oleh Umar dan Ibnu Abbas RA: “Janganlah kalian memperlakukan aku seperti kaum Nasrani memperlakukan Isa bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah ‘hamba Allah’ dan ‘Rasulullah’.” (HR. Bukhari)

Setiap Muslim wajib mengimani kenabian dan kerasulan Isa AS. Bahkan, jika ada seorang Muslim yang menolaknya, tidak mengakui kenabian Isa AS, maka keimanannya telah rusak! Karena perintah Al-Quran, kaum Muslimin wajib mengimani Nabi Muhammad SAW juga mengimani semua nabi dan rasul sebelumnya, termasuk Nabi Isa AS. Tetapi, apakah kaum Nasrani mau mengimani Nabi Muhammad SAW? Terserah mereka. Sekali lagi: “lakum diinukum wa liya-d diin.”

Ayat-ayat dan Hadis di atas bukan untuk anda, wahai saudaraku kaum Kristiani, tapi untukku, keluargaku, muridku, dan umatku. Ayat itu kami pahami sebagai tuntunan! Mungkin, ayat-ayat dan Hadis-hadis itulah yang membedakan kami dengan kalian dalam keyakinan; akan tetapi tidak jadi soal kan?

Tidak berarti jika kami mengimani ayat-ayat dan Hadis-hadis tadi lantas kami jadi memusuhi kalian! Sama sekali tidak! Kalian tetaplah saudara, tetaplah sahabat, dan mungkin saja tetaplah menjadi tetangga terbaik kami. Bahkan, ajaran agama kami mewajibkan memberi perlakuan terbaik pada kalian, meskipun berbeda agama dan keyakinan, karena demikianlah yang dituntunkan Rasul kami.

Jadi, jangan memaksa kaum Muslim mengucapkan selamat natal, sebagaimana kami juga tidak akan memaksa kalian mengucapkan Idul Fitri atau Maulid Nabi Muhammad. Inilah toleransi yang sejati!

Jangan paksa juga kami ikut ibadah kalian di gereja; sebagaimana kami juga tidak akan memaksa kalian ikut jumatan, atau ikut ibadah-ibadah kami di masjid. Mari laksanakan ibadah masing-masing di tempat masing-masing dengan penuh kedamaian dan kenyamanan. Beda dengan polisi, mereka konteksnya adalah tugas, maka tidak mengapa jika ada polisi Muslim ada di gereja saat natalan. Mereka sedang bertugas, diperintah oleh negara, memastikan bahwa perayaan natal anda aman dan nyaman: dan itu adalah tugas sangat mulia.

Kita berbeda; tetapi tetap satu kesatuan dalam kebangsaan. Mungkin ada yang mengatakan kalian bukan saudara seagama; tetapi yakinlah bahwa kita adalah saudara sebangsa. Dan itulah komitmen yang dibangun oleh para pendiri Republik ini yang kita jaga hingga hari ini.

“Agamamu ya agamamu; agamaku ya agamaku”: “lakum diinukum wa liya-d diin”. Inilah toleransi yang sesungguhnya! Tidak basa-basi! Tidak mengada-ada. Jangan menjadikan masalah pada sesuatu yang tidak ada masalah! WalLaahu a’lam.