Meluruskan dan merapatkan shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam Hadisnya:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ
Dari Anas bin Malik RA dari Nabi SAW bersabda: Luruskan shaf kalian, karena meluruskan shaf adalah bagian dari ditegakkannya shalat (HR. Muttafaq Alaih)
Dalam Fiqh Syafii, dalam Kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzzab (4/266), Imam Nawawi menyebutkan bahwa yang dimaksud dalam hadis “meluruskan shaf” adalah memenuhi shaf pertama sehingga tidak membuat shaf baru sebelum shaf sebelumnya terpenuhi dan mengisi shaf yang kosong.
Meskipun disebutkan bahwa meluruskan shaf adalah bagian dari ditegakkannya shalat, akan tetapi memelihara jiwa adalah tujuan utama dari syariat Islam. Dengan demikian, merenggangkan shaf untuk maksud dan tujuan memelihara jiwa adalah dibolehkan, bahkan diharuskan, misalnya dikaitkan dalam rangka mencegah penyebaran covid-19. Sehingga merenggangkan shaf dalam konteks ini, bukanlah perbuatan yang keliru dan tercela.
Bahkan, merenggangkan shaf sama sekali tidak membatalkan shalat, meskipun jika dilakukan tanpa alasan sama sekali. Apalagi jika terdapat alasan yang dibenarkan secara syar’i, seperti mencegah penyebaran sebuah wabah.
Imam Al-Kasani dalam kitabnya: “Bada’iu As-Shana’i” (1/145) mengatakan bahwa jika ada makmum shalat di paling belakang bagian masjid, sedangkan imam shalat di mihrab masjid, maka dibolehkan, karena semua sisi dan bagian masjid masih dikategorikan sebagai satu kesatuan tempat.
Ada pula kaidah Ushul Fiqh yang menyatakan bahwa: keadaan darurat dapat membolehkan sesuatu yang sebelumnya terlarang: “ad-dhoruraat tubiihu al-mahdzuraat”. Dan kaidah: menghindari bahaya lebih diutamakan daripada mengambil suatu manfaat: “dar’u al-mafaasid muqaddam ala jalbi al-mashaalih”. Dari kedua kaidah Ushul Fiqh ini, maka merenggangkan shaf shalat dibolehkan dan bukanlah suatu cela, dalam pengertian menghindari penyebaran wabah yang berbahaya didahulukan daripada mengambil kesempurnaan shalat. Apalagi meluruskan shaf hanyalah bersifat anjuran, tidak sampai pada derajat rukun atau syarat sahnya shalat.
Akan tetapi, jika keadaan telah kembali normal sehingga tidak ada lagi alasan yang diperlukan untuk merenggangkan shaf shalat, maka hukum kembali semula, yaitu anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf. Sesuai dengan kaidah Ushul Fiqh: “Sesuatu apabila menyempit, maka harus diperluas; dan jika luas, maka akan menyempit” (“al-amru idza dhoqo ittasa’a, wa idza ittasa’a dhoqo”). Artinya, karena ada wabah (menyempit), maka hukumnya diperluas (dipermudah); dan jika wabahnya telah hilang (meluas), maka hukumnya kembali ke asal (menyempit).
@anangrikza
disarikan dari putusan Lembaga Fatwa Al-Azhar, Mesir