TAZAKKA – Pondok Modern Tazakka kembali menyelenggarakan seminar internasional bertajuk “Indonesia’s Contribution to World Peace: Roles, Opportunities, and Challenges” menghadirkan Mantan Menlu dan Mantan Wamenlu, DR. H. Nur Hassan Wirajuda, S.H., MALD, LLM. dan DR. Triyono Wibowo, S.H., Senin pagi (15/10).
Seminar menggunakan bahasa Inggris yang diikuti oleh segenap pengurus Yayasan Tazakka, para guru, para santri Tazakka mewakili 24 provinsi di tanah air, dan 41 santri dan santriwati asal Afghanistan menggaungkan kembali pesan-pesan perdamaian atau Peace Messages kepada dunia.
Seminar dibuka dengan Welcoming Speech oleh Pimpinan Tazakka, KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A. Dalam sambutannya yang disampaikan dalam bahasa Inggris, Kiai Anang menyatakan bahwa seminar ini merupakan momentum sangat mahal dan bersejarah.
Sebab, kata Kiai Anang, Mantan Menlu dan Mantan Wamenlu bisa hadir secara bersamaan adalah sejarah, dan kiprah keduanya tidak usah diragukan lagi baik dalam konteks membawa Indonesia secara aktif melalui peran-peran dan kontribusi bagi perdamaian dunia maupun dalam konteks menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa besar di dunia. "Ini berkah buat Tazakka, buat para santri semuanya" ungkapnya.
"Allah mempertemukan kembali saya dan Pak Hasan setelah kurang lebih dua puluh tahun berpisah, yaitu 1998 saat jadi dubes di Kairo dan saya oleh Pak Hasan diamanahi memimpin Forum Studi Hak Asasi Manusia yang didirikan Pak Hasan" kenangnya.
"Jasa besar Bapak Hassan Wirajuda selalu kami kenang saat kami kuliah di Mesir sekitar tahun 1998-an. Beliaulah yang banyak membantu menyelamatkan sekitar 2500-an mahasiswa Indonesia yang studi di Mesir yang hampir pulang karena kena dampak langsung krisis ekonomi, tapi melalui kepiawaian dan terobosan Beliau, bantuan datang dari mana-mana dan mahasiswa pun selamat tidak jadi pulang" kenang Kiai disambut tepuk tangan hadirin.
Setelah sambutan, acara diteruskan dengan seminar sesi pertama oleh DR. H. Nur Hassan Wirajuda. Dalam paparannya, ia menjelaskan lima hal yang membuat Indonesia mampu berperan aktif dalam memajukan perdamaian dunia.
Pertama, Indonesia memiliki pondasi kehidupan nation-state yang damai. Para pendiri bangsa memakai pendekatan "Jalan Tengah" atau konsensus "Jalan Tengah" (Wasathiyah) dalam pendirian bangsa, yang berwujud Pancasila.
"Kalau kita mau baca naskah diskusi dan perdebatan di sidang-sidang BPUPKI, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, bahwa Pancasila adalah konsensus antara kelompok nasionalis dan kelompok religius" terangnya.
Kedua, Indonesia memiliki konstitusi yang berisi amanat untuk memajukan perdamaian dunia. UUD mengamanatkan bangsa Indonesia untuk ikut serta memelihara ketertiban dunia.
"Kita bukan bangsa egois, ketika kita berhasil merdeka, kita membantu bangsa-bangsa terjajah untuk merdeka, maka kita menginisiasi Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 dan seterusnya" imbuhnya.
Ketiga, Indonesia cukup kredibel dalam memajukan perdamaian dalam negerinya sendiri. Antara 1999-2005, konflik Aceh diakhiri dengan damai.
"Dunia melihat kepada kita bagaimana kita sebagai bangsa dapat mengelola keragaman dengan baik; ada lebih dari 300 suku, adat istiadat dan bahasa, disamping lebih dari 17 ribu pulau, karena kita sepakat dengan slogan Bhineka Tunggal Ika, dan ini menjadi modal kita untuk ikut menciptakan perdamaian dunia" lanjutnya.
Keempat, Indonesia aktif dalam proses menciptakan dan memelihara perdamaian dunia (peacemaking and peacekeeping), khususnya di negara negara berkonflik seperti Filipina, Thailand Selatan, Kamboja, Palestina, Kongo, Vietnam, Afghanistan dan lain-lain.
"Sejak 1957 di Sinai, dan 1960 di Kongo, sampai sekarang di berbagai belahan dunia, Indonesia kontributor pasukan perdamaian ke-9" tandas Mantan Kepala Perwakilan Indonesia di Komisi HAM PBB.
Kelima, sejak 1967 hingga saat ini Indonesia terlibat aktif dalam penciptaan tatanan dunia (world order) dan tatanan kawasan (regional order), seperti pada Perang Suriah, Yaman, dan Crimea.
Mantan Wantimpres era Presiden SBY itu lalu menutup paparannya dengan mengatakan bahwa Indonesia akan dapat terus berkiprah memajukan perdamaian dunia jika Indonesia sendiri memiliki sustainability atau keberlangsungan yang tinggi.
"Keberlangsungan NKRI sangat bergantung pada ketahanan nasional baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan militer. Dan waspada terhadap upaya menggeser atau menukar pondasi fundamental konsensus NKRI" pungkasnya.
Saat ditanya oleh salah seorang santri Afganistan tentang bagaimana memajukan perdamaian di Afghanistan, Hassan menjawab bahwa perdamaian membutuhkan kesediaan untuk berdamai antara pihak-pihak yang berkonflik.
“Jika suatu negara sudah capek bertikai, saya yakin perdamaian bisa diwujudkan. Jika orang Afghanistan sudah capek bertikai, saya yakin mereka mampu mewujudkan perdamaian, apalagi setelah menyadari bahwa dampak dari pertikaian itu sangat destruktif dan menciptakan kemunduran dan ketertinggalan.”
Sementara itu, DR. Triyono Wibowo, S.H. yang pada sesi berikutnya membawakan topik tehtang: “Poverty, Human Security, and Non-Traditional Threat to Peace”.
Mantan Wamenlu RI ini menjelaskan bahwa perdamaian dunia bukan saja bisa terancam karena adanya agresi militer dari pihak eksternal, tetapi juga karena adanya masalah kemiskinan (poverty) dan lemahnya tingkat human security di dalam suatu negara.
“Di tahun 2015 lalu, perdamaian dunia di wilayah Uni Eropa terancam rusak lantaran terjadi migrasi besar-besaran orang Afrika, Asia, dan orang Eropa Selatan ke negara-negara Eropa Barat. Migrasi ini berdampak serius pada human security pada situasi politis dan sosial negara Eropa Barat,” jelasnya.
Dalam situasi krisis seperti ini, lanjut Triyono, Indonesia kembali berperan memajukan perdamaian di tingkat global. Bersama Australia, Indonesia menginisiasi kerjasama regional yang diikuti oleh 49 negara untuk menanggulangi ancaman perdamaian di bidang human security ini, yang disebut “Kerjasama Bali Proses”.
Seminar internasional diakhiri dengan Closing Remark dari Kiai Anang Rikza Masyhadi, bahwa Islam adalah agama perdamaian. Dan, menurutnya, Allah langsung mengajarkan perdamaian lewat Diri-Nya sendiri.
“Salah satu Nama Indah atau Asmaul Husna Allah ialah As-Salaam yang berarti “Yang Maha Damai” tegasnya.
Dalam Al-Quran, lanjutnya, Allah menyebut surga dengan sebutan lain, yaitu “Daarussalaam”, yang berarti ‘Negeri Damai”. Penghuni surga pun memiliki ciri khas bahwa mereka saling menyapa satu sama lain dengan perkataan “Salaam! Salaam!”, yang artinya adalah damai, damai.
"Setiap muslim saat shalat, maka shalatnya diakhiri dengan salam. Ini menunjukkan bahwa setelah shalat kita harus bisa menjadi peace-maker dan peace-keeper, jadi setiap muslim otomatis adalah duta perdamaian karena ajaran agamanya, inilah pesan perdamaian Islam yang harus terus kita suarakan dan kita teladankan” pungkasnya.
Seminar ini kian semarak ketika seorang santri Afghanistan bernama Hameed Stanikzai menyampaikan apresiasi pada isi seminar dan harapannya untuk perdamaian di Afganistan dalam bahasa Indonesia yang fasih. @fery
www.tazakka.or.id