(بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ * أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ * فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ * وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ * فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ * وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ)
[سورة الماعون ١-٧]
"Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Yaitu orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka, celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan memberikan bantuan" (Qs. Al-Ma’un [107]: 1-7)
Di dalam surat Al-Ma’un tersebut, Allah SWT demikian lugas mengaitkan agama dengan keberpihakan kepada dhuafa. Seseorang dikategorikan telah berdusta atau berkhianat kepada agamanya manakala ia berbuat mengabaikan anak yatim dan orang miskin.
Meskipun diawali dengan nada bertanya, namun bukan berarti Allah SWT tidak mengetahui maksudnya, karena Allah Maha Mengetahui. Pertanyaan itu –“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?”—menurut banyak ahli tafsir dikandung maksud untuk menggugah hati pendengarnya agar memberikan perhatian lebih kepada apa yang selanjutnya akan ditunjukkan pada ayat-ayat berikutnya.
Anak yatim dan orang miskin adalah dua kelompok yang paling rentan di masyarakat. Mereka digolongkan pada kelompok dhuafa: orang-orang yang lemah. Problem-problem sosial yang lahir dari kedua kelompok rentan ini terlalu banyak untuk dituliskan di sini. Itulah mengapa Islam mewajibkan kita menolong mereka.
Islam mendorong umatnya agar dalam beragama tidak selalu mementingkan aspek ibadah mahdoh yang bersifat vertikal hablum minalLah saja, tetapi juga menganjurkan untuk memperhatikan nasib orang lain, yang bersifat muamalah dan horizontal hablum minannas. Jadi, seolah surat Al-Ma’un ingin menegaskan kepada kita bahwa mendustakan agama bukan sekedar mengaku muslim tetapi tidak mau shalat, lebih dari itu mengaku muslim tetapi tidak punya kepekaan sosial dan tidak peduli pada lingkungan.
Ayat selanjutnya tentang orang-orang yang lalai dalam shalatnya dan riya. Lalai dalam shalat dikandung maksud bahwa orang itu fisiknya shalat, karena melalukan gerakan-gerakan shalat, tetapi hati, jiwa dan perilakunya tidak ikut shalat. Yaitu yang shalatnya tidak berdampak pada perilaku sosialnya sehari-hari. Padahal seharusnya shalat itu dapat mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. (Baca: Qs. Al-Ankabut [29]: 45 & An-Nisa’ [4]: 142)
Dalam shalat banyak hikmah yang terkandung. Ada yang berpendapat bahwa ketika shalat dibuka dengan takbiratul ihram: Allahu Akbar, itu berarti kita menyapa Allah. Kemudian diakhiri dengan salam: assalamu’alaikum warahmatullahi, itu artinya menyapa manusia.
Menengok ke kanan dan kiri sebagai tanda akhir shalat, itu juga menunjukkan bahwa shalat mendidik kita untuk peduli pada kondisi lingkungan sekitar, tetangga kanan kiri. Jadi, pesan fundamental shalat pada akhirnya adalah kepedulian dan keberpihakan pada orang lain.
Di negeri ini ada kisah heroik berkenaan dengan Al-Ma’un. KH. Ahmad Dahlan, seorang tokoh ulama nasional pada masa penjajahan, konon pada tahun 1912an mengajarkan santri-santrinya surat Al-Ma’un selama beberapa bulan. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab bahwa selama mereka belum ada yang melaksanakannya, maka tetap akan mengajari Al-Ma’un itu. Baru setelah diketahui ada salah seorang santrinya yang memelihara anak yatim di rumahnya, beliau melanjutkan pelajaran ke surat-surat lain.
Oleh karenanya, mari tunjukkan keberagamaan kita yang sejati, yaitu dengan rajin ibadah dan membantu kaum dhuafa, agar kita tidak dicap sebagai para pendusta agama.
Bahkan, dalam ayat lain lebih tegas lagi disebutkan: "Apakah yang membawamu ke neraka? Mereka berkata, “Kami dahulu tidak termasuk orang yang shalat, dan juga tidak memberi makan orang miskin.” (Qs. Al-Muddatsir [74]: 42-44) Artinya, penyebab masuk neraka bukan saja karena tidak melaksanakan shalat, tetapi juga karena tidak mau peduli pada orang-orang miskin.
Khalifah pengganti Rasul, Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq RA pernah dikritik pedas oleh para sahabat senior karena kebijakannya memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Menurut mereka itu sepele, hanya tidak mau zakat saja. Akan tetapi, dalam sidang kabinet Sayyidina Abu Bakar RA berhasil mematahkan argumen para sahabat lain dengan mengatakan kurang lebih begini: "Saya tidak sedang memerani orang yang hanya tidak mau membayar zakat, tetapi saya memerangi orang yang mencoba memisahkan apa yang oleh Allah dan Rasul-Nya telah disatukan, yaitu shalat dan zakat, iman dan amal shaleh."
Saatnya kaum muslimin baik secara individu maupun kelembagaan untuk peduli kepada kaum dhuafa. Namun perlu diingat, jangan sampai kepedulian itu hanya lipstik saja, hanya di permukaan. Harus ada pola kepedulian yang substansial dan produktif, misalnya melalui pendidikan, ekonomi produktif dan kesehatan. Targetnya agar kaum dhuafa jangan selamanya menjadi dhuafa. Dan itulah diantara jihad kita dalam beragama, supaya tidak dicap sebagai pendusya agama!
Semarang, 19 Dzulqodah 1439 H
1 Agustus 2018