Menjadi maju dan modern bukan berarti meninggalkan tradisi. Sebuah bangsa bisa mengembangkan diri hingga mencapai kemajuannya tanpa meninggalkan tradisi. Bangsa Jepang, misalnya, menjadi bangsa yang maju dan modern namun mereka tidak melupakan tradisinya.
Bandingkan dengan Kemal Ataturk. Pemimpin Turki yang takjub dengan kemajuan Barat ini mencoba membuang tradisi bangsanya yang berakar pada kebudayaan Islam. Hasilnya, bukan sekedar gagal menyamai kemajuan Barat, bahkan tokoh ini juga menuai kecaman seluruh anak bangsanya.
Bagaimana dengan Pondok Modern Darussalam Gontor? Meskipun disebut modern namun Gontor tidak pernah meninggalkan tradisi pesantren.
Tradisi adalah aspek kebudayaan yang diterapkan dalam kehidupan dan diwariskan terus menerus dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Tradisi sebuah masyarakat berisi pola pikir dan pola tindakan yang bersumber dari nilai dan norma yang dianut masyarakat tersebut.
Namun, tradisi tidak sama dengan sikap mental tradisional yang kolot, fanatik, bersikukuh pada pandangan atau kebiasaan lama meskipun terbukti keliru. Sikap mental demikian lebih tepat disebut taqlidul a’ma (taklid buta). Atau, dalam istilah Al-Quran “hanya mengikuti ma qala abaana (tradisi nenek moyang kami).”
Tradisi pesantren tidak seperti itu. Cukup luwes dan inklusif, yakni: “al-muhafadzatu ‘alal qadimish sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah; memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil pandangan baru yang lebih baik.” Dalam hal ini istilah “mengambil pandangan baru” bukan berarti mengadopsi elemen budaya lain tapi adaptasi. Dengan demikian, keaslian akar tradisi tidak pernah tercerabut atau ternodai.
Dalam konteks Gontor, istilah tradisi disebut sunnah dan disiplin. Isinya tidak lain adalah nilai-nilai, jiwa dan filsafat hidup sebagaimana yang diformulasikan dalam Panca Jiwa, Motto, Orientasi, dan Sintesa berbagai institusi sebagai profil ideal Gontor. Hal inilah yang diwasiatkan oleh K.H. Ahmad Sahal, KH. Zaenuddin Fannanie, dan KH. Imam Zarkasyi, Trimurti pendiri Gontor kepada Abdullah Syukri Zarkasyi dan Hasan Abdullah Sahal saat masih mudanya.
Pada suatu saat, kedua orang itu, yang kini memimpin Gontor dipanggil oleh Pak Zar di bawah pohon nangka depan rumah kediaman Pak Zar. Kemudian, Pak Zar dengan penuh kharisma mengatakan: “Syukri, kamu anak saya. Hasan, kamu anak Pak Sahal. Pegang teguh jiwa dan filsafat hidup pondok ini. Jika tidak, kamu akan terpental dari pondok. Wis, ngalio!”
Cerita di atas kini sering diulang-ulang. Maksudnya agar menjadi pelajaran bagi para santri, guru dan warga Gontor tentang perlunya sunnah dan disiplin Gontor sebagai identitas tradisi pesantren di tengah-tengah keharusan kita melakukan pengembangan diri di era globalisasi.
Salah satu tradisi yang dimiliki pesantren ini adalah pandangan visionernya. Bahwa mendidik bukanlah sekedar untuk masa sekarang, apalagi masa lalu. Mendidik adalah untuk masa yang akan datang. Tentu lebih kompleks tantangan dan peluang umat pada masa depan. Salah satunya adalah kemunduran yang disebabkan oleh perpecahan internal, lemahnya organisasi umat, dan kemiskinan ilmu dan iman.
Pandangan progresif pendidikan di atas membawa konsekuensi pola pikir bahwa santri diproyeksikan bukan sekedar untuk menjadi manusia “baik-baik saja” tapi menjadi insan pemimpin nilai kebaikan (waj’alna lil muttaqina imama). Santri dilatih berpikir bukan “for or about me” tetapi bagi kemaslahatan umat. Santri adalah duta umat dan harus kembali kepada umat sebagai perekat umat, sebagai ulama yang intelek, bukan intelek yang sekedar mengetahui agama.
Konsekuensi lain, bahwa santri harus belajar berorganisasi. Seluruh kehidupan santri diatur dalam sistem organisasi santri secara mandiri. Di dalam organisasi itulah santri secara riil belajar amanah, tanggung-jawab, merencanakan program, berdisiplin, bekerja sama, adil, peduli sesama, dan nilai-nilai khuluqiyah lainnya. Dalam suasana seperti inilah tercipta learning society (masyarakat pembelajar).
Gontor menerapkan peer-teaching (pengajaran sesama kawan). Siswa senior menjadi instruktur bagi siswa yunior pada program kursus sore, program muhadharah (latihan pidato tiga bahasa), atau program-program latihan dalam bidang olah raga, kesenian, ketrampilan, dan lain sebagainya.
Dalam mewarisi tradisi keilmuan para ulama terdahulu, santri juga mengapresiasi kitab kuning dan menjadikannya sebagai salah satu sumber belajar yang penting. Program fathul kutub atau dirasah kutubut turats al-islamiyah merupakan program kajian kitab kuning dan sebagai salah satu kurikulum untuk santri kelas 5 dan 6. Mereka secara berkelompok sekitar 10 orang membaca, meringkas, memecahkan berbagai masalah dalam subjek tafsir, hadits, tauhid, fiqh dan bahasa. Kemudian, hasilnya mereka diskusikan bersama dalam sistem halaqah. Di akhir program mereka adakan diskusi umum mengenai masalah kontemporer. Itulah tradisi keilmuan, kemasyarakatan, dan keagamaan di pesantren sebagai jembatan menuju kejayaan masa depan umat. Wallahu a’alam bish shawab.
Salah satu tradisi yang dimiliki pesantren ini adalah pandangan visionernya. Bahwa mendidik bukanlah sekedar untuk masa sekarang, apalagi masa lalu, tetapi untuk masa yang akan datang.
Berikutnya:
Tazakka Terima Hibah Barongsai