IKHLAS DALAM MENUNTUT ILMU PENGETAHUAN

IKHLAS DALAM MENUNTUT ILMU PENGETAHUAN

 

Sesungguhnya menuntut ilmu agama termasuk ibadah, karena hal ini merupakan sesuatu yang dipe­rintahkan oleh Allah Swt dan Nabi Muhammad SAW. Sesuatu yang terdapat perintah di dalam al-Qur‘an dan Sunnah untuk melakukannya merupakan ibadah.

Adapun ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas. Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang bagaimanakah niat yang benar dalam menuntut ilmu. Beliau menjawab, “Ia berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya.” Ikhlas dalam menuntut ilmu adalah menjadikan tujuan dari menuntut ilmu tersebut untuk mencari wajah Allah SWT, bukan untuk mencari berbagai macam tujuan dunia. Di samping itu, dia niatkan dalam menuntut ilmu untuk menghilangkan kebodohan pada dirinya. Dengan jiwa keikhlasan ini maka akan terjadi interaksi langsung antara murid dan guru dalam men-transformasi-kan ilmu-ilmu pengetahuan.

Jika pendidikan hanya diniatkan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji yang besar, maka pendidikan hanya akan melahirkan orang yang gila kerja tanpa ada hati. Pola pikir seharusnya adalah, bahwa dengan pendidikan yang baik yang berdasarkan keikhlasan dalam menuntut ilmu, pekerjaan itu akan hadir sendiri karena ketrampilan didapat juga dengan dorongan untuk memberikan yang terbaik.

Orang-orang yang menuntut ilmu dengan dasar ikhlas ini akan menjadi tidak hanya pekerja yang baik.Mereka akan menjadi pekerja dengan hati. Pekerja se­perti inilah yang akan memberikan kontribusi yang maksimal. Ia akan selalu melakukan yang terbaik karena ia tahu bahwa apapun yang dilakukannya adalah bentuk ibadah kepada Khalik-nya. Tidak mudah mendapatkan orang seperti ini. Pendidikan yang diberikan kepadanya adalah pendidikan yang mengasah dan menumbuhkan hati, jiwa, dan raganya. Kurikulum yang dijalankan tidak hanya kurikulum yang me­nyangkut bagaimana otaknya berkembang. Pendidikan itu bagaimana membuat hati menjadi pilot bagi otak dan raganya. Hati yang memimpin ini akan menjadi hati yang selalu dekat kepada Sang Pencipta. Ketika ia merasa dekat dengan Sang Maha Segalanya itu, maka ia akan selalu berpikir bagaimana memberikan yang terbaik kepada diri dan orang-orang yang ada di sekitarnya serta lingkungannya yang lebih luas.

 Ia tidak akan menjadi benalu apalagi menjadi peng­rusak. Baginya, jangankan menjadi pengganggu, bila ia tidak bermanfaat saja, maka ia akan hilang dari peredaran orang-orang yang diharapkan hadir di dunia ini. Perasaan dan pendapat seperti ini akan mengarahkan orang menjadi orang yang baik dunia akhirat. Inilah tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Jadi, kalau pendidikan hanya mengutamakan angka dan tidak melihat jiwa serta hati, maka hasilnya adalah orang-orang yang akan memakan orang lain. Dunia akan dianggap sebagai hutan rimba. Orang akan saling terkam dan tidak akan ada lagi kedamaian di dunia ini. Semuanya ingin merasa dirinyalah yang menjadi pemenang dan yang lain harus menjadi pecundang.

Dalam kontek pondok pesantren kata ‘keikhlasan’ memiliki makna yang sangat luas, namun bila diartikan secara verbal keikhlasan berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan atas dasar dorongan nafsu untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu, karena segala perbuatan yang dilakukan semata-mata bernilai ibadah lillahi ta'ala. Bila dianalogikan secara luas, maka ada kiai yang ikhlas mendidik, para pembantu kiai yang ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan, dan para santri yang ikhlas dididik. Jiwa keikhlasan ini akan melahirkan sebuah iklim yang sangat kondusif dan harmonis di semua level. Dari level atas sampai level yang paling bawah sekalipun. Suasana yang harmonis antara sosok kiai yang penuh kharismatik dan disegani, para asatidz yang tak pernah bosan untuk membimbing santri, dan santri yang penuh cinta, taat dan hormat. Jiwa ini akan melahirkan santri yang militan dan siap terjun berjuang di jalan Allah­ kapan dan di manapun.

Jiwa keikhlasan di pondok pesantren harus dipertahankan dan dikembangkan untuk dapat mewarnai kehidupan seluruh santri dan pengasuhnya. Guru-guru yang membantu kiai dalam mengajar dan membim­bing santri bukanlah orang suruhan, mereka adalah orang-orang yang tulus ikhlas mengamalkan ilmunya. Untuk itu jadikanlah keikhlasan ini sebagai jiwa pekerjaan “Al-Ikhlasu Rukhul ‘Amal.” Dengan demikian para santri secara ikhlas menerima ilmu, perintah-perintah dari kiai dan para guru.

“Siapa yang menuntut ilmu dengan niat yang ikhlas, dia mendapat kehormatan sebagai mujahid, pejuang Allah. Bahkan kalau mati dalam proses mencari ilmu, dia akan diganjar dengan gelar syahid, dan berhak mendapat derajat yang tinggi di akhirat nanti. Tidak main-main, Rasulullah Saw sendiri yang mengatakan agar kita menuntut ilmu dari kecil sampai menjelang jatah umur kita habis. Seperti pepatah Arab: “Uthlub-ilma mina-l-mahdi ila-l-lahdi” (Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat).