Alkisah, suatu hari sahabat Abu Umamah Al-Bahiliy berkata, bahwa pernah disampaikan kepada Rasulullah SAW tentang dua orang: yang satu ahli ibadah dan yang satu lagi ahli ilmu. Lalu Rasulullah bersabda: ”Keutamaan orang yang berilmu atas orang yang ahli ibadah itu seperti keutamaanku atas orang-orang di bawahku (para sahabat).
’ Kemudian Rasul menimpali lagi: ‘Sesungguhnya Allah, malaikat dan para penghuni langit dan bumi, hingga semut yang di dalam liangnya, bahkan ikan dalam laitan, semuanya bershalawat atas orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan mendapat perhatian serius dari Nabi, sehingga
Beliau mengumpamakan perbandingan dirinya dengan sahabat-sahabatnya untuk ahli ilmu dan ahli ibadah. Menurut ulama salaf, yang dimaksud ahli ibadah di sini adalah ibadah-ibadah sunnah, seperti halnya lebih utama mana shalat sunah dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat.
Namun, ada yang tersirat dari pemaknaan Hadis di atas. Yaitu bahwa menuntut ilmu sesungguhnya
bagian tak terpisahkan dari ibadah itu sendiri. Artinya, jika seseorang memilih menuntut ilmu ia akan mendapatkan dua keutamaan, yaitu keutamaan ilmu dan keutamaan ibadah sekaligus. Apalagi jika kita kaitkan dengan Hadis Rasul yang masyhur tentang kewajiban menuntut ilmu:“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Padahal, menyimak surat Al-Mujadilah [58]: 11, jelas-jelas Allah mensyaratkan iman dan ilmu
sebagai modal menggapai keunggulan: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat.” Maknanya, keunggulan tidak bisa dicapai hanya dengan iman saja, atau ilmu pe-
ngetahuan saja, tetapi melalui kedua-duanya. Dunia Barat dan Eropa bisa saja dianggap maju secara ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi merosot dari segi moralitas dan nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Kaum muslimin sebetulnya lebih beruntung, karena mereka telah memiliki iman dan dasar-dasar moralitas yang kuat yang bersumber dari wahyu Ilahi dan Sunah Nabi. Ini yang prinsipil. Mestinya, tinggal mengembangkan ilmu pengetahuan saja, dimana itu telah dicontohkan dengan sangat mengesankan oleh para pendahulu pada abad pertengahan. Maka kita kenal nama-nama ilmuwan muslim seperti: Ibnu Sina yang dikenal dunai sebagai Bapak Ilmu Kedokteran, Ibnu Khaldun sebagai Bapak Ilmu Sosiologi dan Politik, Ibnu Rusyd sebagai Failasuf yang pikiran-pikirannya menginspirasi dunia Barat dan Eropa untuk bangkit, Al-Khawarizmi yang menemukan matematika, dan lain-lain.
Kaum muslim saat ini mulai menyadari kekurangan dirinya dan mencoba untuk bangkit kembali. Etos ilmu pengetahuan dan teknologi perlu digalakkan agar keunggulan peradaban dunia kembali ke pangkuan Islam. Generasi-generasi muda muslim disamping dididik dan diajarkan tentang dasar-dasar keimanan dan pengetahuan agama serta teknologi.
Dalam konsep pendidikan di pesantren-pesantren modern, dasar-dasar ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan teknologi menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan yang ditanamkan kepada santri-santrinya. Maka ada istilah di kalangan pesantren modern bahwa di sana diajarkan ilmu pengetahuan agama 100% dan ilmu pengetahuan umum 100%. Maksudnya, pesantren modern menerapkan kesungguhan dan totalitasnya dalam mengajarkan baik ilmu pengetahuan agama maupun umum. Jadi, komposisi materi pengajaran agama dan umum bukanlah 30% : 70%, atau 70% : 30%, bukan pula 50% : 50%. Sebab itulah, di pesantren modern terdapat slogan yang sangat populer di kalangan santrinya yaitu: Jadilah ulama yang intelek, bukan intelek yang tahu agama.
Melalui penerapan konsep pendidikan yang demikian itu, ke depan pesantren modern diyakini banyak pihak terutaman oleh para ahli pendidikan akan menjadi pusat keunggulan: center for excellence. Pesantren bukan lagi sebagai lembaga pendidikan alternatif, namun telah menjadi lembaga pendidikan favorit.
Oleh kiai dan guru-guru yang mengasuhnya, para santri dipahamkan dengan dengan baik bahwa masa depan dunia menanti kiprahnya. Ditambah lagi, mereka termotivasi dengan ungkapan Imam Ghazali dalam kitabnya yang sangat populer, Ihya Ulumuddin: “Derajat orang yang berilmu lebih tinggi 700 tingkat dibandingkan orang mukmin biasa: diantara tingkatnya berjarak 500 tahun perjalanan.”
Katakanlah: “Apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. Az-Zumar [39]: 9)
Sebelumnya:
Koran Mini Tazakka Edisi 23Berikutnya:
MASA DEPAN DALAM GENGGAMAN ISLAM