Jabatan bukanlah sebuah kekuatan untuk menguasai, tetapi lebih merupakan tanggungjawab dan amanah dalam rangka mengabdi pada masyarakat, apapun kedudukan yang kita pangku, seharusnya dilandasi dengan kesadaran bahwa semua itu adalah untuk pengabdian dan memberikan mafaat kepada orang banyak dan bukan mengejar kekuasaan dan ambisi pribadi, begitulah pedoman dan prinsip hidup bapak Achfa Mahfudz. Berikut petikan wawancara redaktur KMT, Edi Buana dengan beliau di kediamannya:
Bagaimana pendidikan di Batang pada saat bapak masih menjabat?
Awal kami berada di pemerintahan, pendidikan masih belum diperhatikan. Ada kebijakan pemerintah juga yang waktu itu peralihan atau transisi otonom, maka anggaran pendidikan dinaikkan, kemudian dari sektor fisik atau bangunan pra kami menjabat, perhatian terhadap sekolah-sekolah agama minim sekali, dan setelah kami menjabat hampir tidak ada perbedaan antara sekolah-sekolah negeri dan madrasah.
Sebetulnya respon masyarakat batang terhadap pendidikan di Batang sudah sangat baik, hal ini dapat dilihat dari mulai maraknya lembaga pendidikan pra-dasar seperti PAUD, TK, TPQ dan lain sebagainya.
Tantangan dalam paling berat selama menjabat wakil bupati?
Pertama adalah kebodohan, yang kedua adalah pemikiran, cara berpikir dan yang ketiga wawasan, jadi tantangan yang paling berat itu.
Dalam menghadapi tantangan-tangan ini, apa yang bapak lakukan?
Pertama, setelah memetakan permasalahan yang ada, kemudian kami sosialisaikan kepada para pendidik dan jajaran instansi pemerintahan sehingga dapat bersinergi untuk memerangi, berjihad terhadap tiga permasalahan tadi. Kemudian, dari pemerintah juga menyiapkan anggaran, serta memberikan pengakuan terhadap lembaga pendidikan agama, serta memberikan keterampilan supaya lulusan sekolah tidak monoton, tapi dapat berkreativitas dalam bekerja. Selain itu kita menggiatkan jiwa semangat, tidak malas. Kami bekerjasama dengan instasi-instasi terkait, sehingga tantangan ini bukan hanya tantangan pemerintah saja, melainkan tantangan bersama untuk kemajuan batang.
Secara pribadi, apa yang bapak lakukan ketika menghadapi tantangan tersebut?
Terjun langsung ke lapangan, hadir langsung dilapangan, memberikan support dan semangat agar semua pihak bersemangat, tidak malas dan memiliki kreativitas dalam bekerja.
Tantangan yang paling berat dalam menangulangi masalah pendidikan?
Tantangan yang menurut saya paling berat adalah merubah mindset pola pikir masyarakat mendirikan sekolah, orientasinya ke formal atau pekerjaan bukan berpikir atau mempresepsikan ilmu. Orientasi mendirikan sekolah supaya dapat bantuan, menjadi pegawai dan sebagainya. Seharusnya pendidikan adalah untuk pengetahuan atau ilmu. Orientasi masayarakat bersekolah formal adalah pekerjaan, dan kebanyakan murid setelah lulus berpikiran aku akan bekerja apa? Dsb. Seharusnya murid lulus dapat ilmu yang menjadi bekal hidup mereka, bukan hanya sekedar bekerja. Inilah tantangan yang berat, yaitu merubah cara berpikir ini.
Batang terkenal dengan pangkalan-pangkalan, untuk memperbaiki citra baik batang, apa yang bapak lakukan pada waktu itu?
Sebenarnya perda-perda itu sudah ada, ada peraturan dan pengaturan serta kerjasama dengan perhutani (karena kebanyakan di daerah perhutani) serta masyarakat sekitar. Juga sudah diadakan pembinaan dan sudah sampai ke dewan, ada upaya-upaya, tapi tidak bisa serta merta selesai. Menurut saya, masalah ini memerlukan proses yang panjang, kita harus memberikan pembinaan sejak awal, kalaupun ini dilakukan secara frontal, keras, efek dan hasilnya pun tidak baik. Solusi yang tepat adalah hal ini digarap dari yang paling kecil, disisir dari mereka yang bersentuhan langsung, door to door, melakukan pendekatan manusiawi. Juga kontrol yang terus menerus, juga masyarakat tidak boleh apatis, selain itu juga penegak hukum harus profesional dalam menindak, juga memerintah memiliki aturan yang jelas, kami sudah perintah bagian hukum yang menbidangi supaya peraturan itu direvisi atau dibuat sebaik mungkin, ini sudah berjalan, dan mentok di top desision tapi pada akhirnya gol juga.
Bagaimana Bapak melihat pendidikan di Pesantren?
Pesantren di batang sudah banyak, hampir setiap kecamatan ada.Pesantren ada yang sudah modern, yang menurut saya pendidikan formal sudah ada juga ada yang salaf, yaitu yang hanya ngaji kitab saja. Pesantren di batang sudah bagus, sebagian sudah ada pendidikan formalnya, dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat menengah atas, kedua sudah mengajarkan keterampilan hidup, dan ketiga memiliki koperasi sebagai wujud kemandirian pesantren.
Menurut bapak, program kerja apa yang belum selesai ketika bapak menjabat?
Mendirikan perguruan tinggi, perguruan tinggi after sma, bukan universitas, akademi, sekolah tinggi, yang milik orang batang atau pemerintah batang. Ada upaya tapi memang belum terealisasikan, sebenarnya banyak yang mendukung, tapi memang butuh kerja sama semua pihak.
Harapan bapak batang ke depan?
Kalau citra batang kemarin gelap, alas roban angker dan kurang bersahabat, harus ada perubahan yang lebih baik lagi.
Harapan kepada pesantren modern?
Menurut saya harus sesuai namanya, yaitu modern, tetapi meodern tidak harus meninggalkan sarungnya, tapi modern intelektual, terbuka dan bisa mengayomi semua. Yang belajar disana tidak hanya dari satu golongan, tapi semua golongan. Konsepnya rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semua. Kalau bisa menjadi wadah untuk semua.
Aktivitas bapak setelah tidak menjabat lagi?
Aktivitas ya masih, bisa dikatakan sibuk. Masih ada saja tamu yang datang, silaturrahmi, yan ngobrol-ngobrol dan diskusi dsb. Sampai anak-anak ada yang bertanya: bapak ini sudah tidak menjabat, tapi kok masih banyak tamu ya? Selain itu mengajar, karena pendidikan memang bidang saya sebelum menjabat. Juga menjadi pengurus pondok, saya juga termasuk anaknya pendiri pondok pesantren di Subah. Saya berharap nantinya bisa membuat lembaga tes yang dapat mendeteksi potensi anak sejak dini, sehingga dapat membantu orang tua, anak untuk mengetahui potensi anak sehingga dapat merencanakan pendidikan yang sesuai dengan bakat dan minat anak.
Mungkin yang menarik dan dapat menjadi inspirasi, yaitu saya tidak penah mendaftar dalam pencalonan wakil bupati, tetapi dicalonkan dan didaftarkan orang, sampai formulir bukan saya sendiri yang mengisi. Bagi saya, kekuasaan itu bukan tujuan, tetapi tujuan saya adalah pengabdian. Biasanya, orang itu yang dituju adalah kekuatan, kekuasaan. Tapi bagi saya, ini bukan masalah kekuasaan, politik, pedoman saya adalah pengabdian. Saya pernah menjadi guru, mengabdi mendidik siswa-siswa, pernah di dewan, mengabdi untuk rakyat, pernah dipemerintahan, bekerja dan mengabdi untuk masyarakat. Jadi ini sesuai dengan perintah agama, bahwa kita diciptakan untuk mengabdi dimanapun kita berada. Amanah ini tanggungjawabnya besar.