Beberapa saat setelah dilantik sebagai Khalifah menggantikan Rasulullah SAW, Sayyidina Abu Bakar ra secara spontan menyampaikan pidato kenegaraannya: “Saya telah dilantik menjadi pemimpin kalian, namun bukan berarti bahwa saya adalah orang yang terbaik diantara kalian. Maka kalau saya benar dalam menjalankan amanah ini, bantulah. Dan kalau salah, luruskanlah. Taatlah kepadaku selama diriku taat kepada Allah dalam urusan kalian, tetapi jika saya berbuat maksiat kepada-Nya maka tiada lagi kewajiban taat kepadaku. Seandainya kalian menyaksikanku dalam kebenaran maka ikutilah, tetapi jika kalian menyaksikanku telah menyimpang maka luruskanlah.”
Tradisi ini ternyata diikuti oleh penerusnya, Khalifah Umar bin Khattab ra, yang cuplikan pidato kenegaraannya kurang lebih demikian: “Saya tidak akan membingungkan kalian kecuali kalian mau berpartisipasi dalam amanah yang saya emban ini. Dan saya adalah salah seorang diantara kalian. Barangsiapa melihat penyimpangan dalam diriku, maka luruskanlah.”
Itulah kebesaran jiwa kedua kader terbaik Rasulullah SAW, Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra. Perbuatan keduanya setelah dilantik menjadi khalifah adalah membuka diri bagi kontrol publik, menjadikan kepemimpinannya bersifat terbuka dan menyandarkannya pada asas musyawarah.
Yang utama, amati dan nilailah pemimpin dari moralitasnya, termasuk dari lingkungan rumah tangga dan keluarganya, karena ini modal utama untuk menjadi pemimpin yang baik. Mengabaikannya akan melahirkan pemimpin yang korup, maka slogan “the power tends to corrupt”, kekuasaan itu cenderung korup akan menjadi kenyataan.
Kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar ra berjalan tidak lebih dari 2 tahun 3 bulan, namun mampu meletakkan prinsip-prinsip dasar ketata-negaraan yang kokoh. Sesaat setelah dilantik ternyata ada beberapa sahabat yang tidak setuju dan secara terang-terangan mengambil sikap oposisi, yaitu sahabat Saad bin Ubadah ra, demikian juga dengan Zubair bin Awwam ra, dan Ali bin Abi Thalib ra. Namun hanya Saad ra yang memilih keluar dari Madinah dan hijrah ke Syam.
Abu Bakar ra tetap menghormati sikap mereka, dan tidak menggunakan perangkat kekuasaannya untuk ‘menghabisi’ lawan-lawan politiknya. Karena Abu Bakar meyakini bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat untuk menekan atau bertindak sewenang-wenang.
Pada masa Abu Bakar ra digagas masalah gaji bagi seorang khalifah beserta perangkat pemerintahan yang lain. Kemudian dibakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Dalam masalah gaji, dalam kitab Tarikhul Khulafa dikisahkan bahwa ketika Umar bin Khattab ra pernah menjumpai Abu Bakar ra sedang berdagang di pasar. Setelah ditanya oleh Umar ra, Abu Bakar ra menjawab: “(Jika tidak ke pasar), darimana aku dapat memberi makan keluargaku?” Mendengar jawaban yang mengejutkan ini, sontak Umar menyuruhnya pulang dan memerintahkan Abu Ubaidah ra untuk memberinya makanan dan pakaian yang diambilkan dari kaum muhajirin agar Abu Bakar ra memiliki banyak kesempatan untuk bekerja dan memikirkan umat.
Sejak saat itu berkembanglah standar penetapan gaji bagi pejabat negara agar mereka dapat berkonsentrasi penuh mengelola pemerintahan. Inilah prinsip clean and good government pertama dalam sejarah, yaitu pemerintahan yang bersih dan baik. Ada pemisahan yang jelas antara harta pribadi dan harta publik.
Keteladanan Abu Bakar dan Umar ra selanjutnya adalah sikap rendah hati. Meskipun dipilih menjadi khalifah, keduanya tetap menyatakan diri bukan sebagai yang terbaik. Dalam idiom politik modern disebutkan bahwa seorang pemimpin itu ibarat “orang pertama dari yang sama” (primus inter pares). Sebagaimana ditegaskan oleh Abu Bakar ra, “wa lastu bi khoirikum”; aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Demikian juga penegasan Umar, “inni wahidun ka ahadikum”; aku tiada lain hanyalah salah seorang diantara kalian. Inilah yang kemudian melahirkan pandangan bahwa kepatuhan kepada pemimpin haruslah bersifat rasional dan terbuka, bukan kepatuhan mutlak dan membabi-buta.
Abu Bakar dan Umar sejak awal dilantik langsung membuka diri dan mengajak masyarakat untuk membantunya jika berada dalam kebenaran. Luar biasa, pemimpin yang mengajak rakyatnya patuh dan memacu mereka untuk ikut berpartisipasi membangun negeri, tetapi tetap membuka diri dari kontrol dan kritik.
Sayangnya, banyak pemimpin kita saat ini yang tidak mau meneladaninya, bahkan sebaliknya; emosional, marah-marah, arogan dan menggunakan perangkat kekuasaannya untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Tidak ada gerakan-gerakan terprogram yang dapat menyemangati, mendorong maupun memupuk harapan masyarakat. Tidak ada pula retorika ataupun arahan yang bisa membangkitkan mimpi masa depan untuk maju dan menjadi lebih baik.
Tidak sedikit pula yang setelah menjabat, energinya lebih banyak terkuras untuk mengembangkan bisnis pribadinya, mengurus partai, dan mengadakan ragam pesta yang tidak ada hubungannya dengan tata kelola pemerintahan. Padahal sesungguhnya kekuasaan itu dicapai untuk mengemban amanah yang dibebankan kepadanya dalam mengurus dan memajukan kehidupan masyarakat, bukan untuk membesarkan diri dan kelompoknya saja. Di sinilah visi dan misi seorang pemimpin harus jelas dan dapat dicerna oleh masyarakat luas.
Saya teringat pesan KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, Pimpinan Pondok Modern Gontor di hadapan ratusan kyai pondok alumni Gontor: “Kalau kalian sungguh-sungguh bekerja membesarkan pondok, maka kalian akan ikut besar. Tapi, kalau kalian hanya memikirkan bagaimana membesarkan diri sendiri, maka belum tentu pondoknya menjadi besar, bisa-bisa malah hancur.” Pesan tersebut relevan untuk konteks kepemimpinan saat ini; pemimpin yang sungguh-sungguh bekerja untuk memajukan daerahnya, maka prestasinya itu akan melambungkan dirinya, namun jika ia terjebak memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja, maka daerahnya tidak akan maju.
Maka, memilih calon pemimpin harus dilakukan dengan pemikiran yang matang, hati yang jernih dan perenungan yang mendalam. Yang utama, amati dan nilailah pemimpin dari moralitasnya, termasuk dari lingkungan rumah tangga dan keluarganya, karena ini modal utama untuk menjadi pemimpin yang baik. Mengabaikannya akan melahirkan pemimpin yang korup, maka slogan “the power tends to corrupt”, kekuasaan itu cenderung korup akan menjadi kenyataan.
Lalu, amati pula kapasitasnya dalam memimpin; orang yang tidak mampu memimpin tidak mungkin dapat memikirkan dan menyelesaikan persoalan bangsa yang kompleks. Mengabaikan hal ini akan menimbulkan kemunduran di masa-masa mendatang. Maka, carilah pemimpin yang bisa memimpin.
Dari Sahabat Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: ‘Jika amanah telah hilang (sudah tidak dipegang lagi dengan teguh), maka tunggulah saat kehancurannya.’ Ia bertanya: ‘Ya Rasul, bagaimana yang dimaksud orang yang menghilangkan amanah itu?’ Rasul menjawab, ‘Yaitu apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.’ (HR. Bukhari)
Berikutnya:
Jangan Munafik !