Bersatulah Dan Jangan Bercerai-berai!

Bersatulah Dan Jangan Bercerai-berai!

Persatuan dan kesatuan di dalam negeri akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang memprihatinkan. Mulai dari tawuran antar pelajar, bentrok antar kampung, perang antar suku-ras, dan di tingkat nasional ada pertunjukan perseteruan politik yang sangat tajam dan memalukan karena dilakukan bukan untuk kepentingan bangsa secara umum, tetapi lebih demi memuaskan nafsu politik kelompoknya sendiri. Belum lagi bahwa ancaman disintegrasi masih selalu mengintai Republik ini.

 

Pada ranah budaya dan keagamaan, ketegangan dan konflik antar ormas nampaknya juga belum sepenuhnya selesai. Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyyah (cabang-cabang; bukan masalah prinsipil dalam agama) yang mestinya menjadi khazanah yang dapat menunjukkan kekayaan dan keluasan sumber-sumber Islam, malah dijadikan ajang untuk menyerang dan merendahkan kelompok lain. Para ulama telah mendiskusikannya sepanjang 14 abad, dan hasilnya adalah keragaman pendapat yang melahirkan mazhab-mazhab, dan itulah yang kemudian membentuk bangunan syariah Islam.

Dalam membahas sesuatu masalah apabila pada akhirnya tidak bisa sependapat, para ulama itu sepakat untuk berbeda namun dengan cara yang santun dan bermartabat. Maka ada istilah, “ittafaqna alla nattafiq”: sepakat untuk tidak sepakat. Sikap yang ditunjukkan oleh para imam mazhab adalah, “ro’yi showab yahtamilul khoto’a, wa ro’yul ghoir khoto’un yahtamilus showaba”: pendapatku benar, tetapi (bisa jadi) mengandung kekeliruan, dan pendapat orang lain keliru, tetapi (bisa jadi) mengandung kebenaran. Sungguh mengesankan sekali; tetap percaya diri pada hasil ijtihadnya sendiri, namun masih tetap melihat peluang kebenaran pada pendapat orang lain.

 Jadi, jika sekarang ormas-ormas Islam yang ada masih membesar-besarkan dan meruncing-runcingkan perbedaan mazhab dalam masalah furu’iyyah sehingga merusak bangunan ukhuwwah Islamiyyah, maka hal demikian sama sekali bukan watak Islam, tetapi justru cerminan dari watak yang diwariskan oleh penjajah. Masuk akalkah, apabila 66 tahun penjajah telah pergi tetapi kita tidak bisa membebaskan diri dari belenggu watak dan pikiran yang diwariskannya?

Menurut saya, sumber dari situasi persatuan yang memprihatinkan itu adalah masih kuatnya rasa fanatisme sempit pada diri umat.  Ibnu Khaldun, ulama muslim klasik yang dikenal dengan Bapak Sosiologi Pertama, dalam kitabnya, Al-Mukaddimah, menjelaskan bahwa fanatisme dapat menjerumuskan seseorang atau suatu bangsa kepada pertikaian dan drama kekerasan yang berkepanjangan. Khaldun menegaskan bahwa fanatisme haruslah bersifat global, tidak boleh sempit.

Misalnya, fanatisme yang dibolehkan adalah fanatisme kepada keutuhan dan kesatuan Republik ini; bukan fanatisme sempit dalam bentuk sukuisme dan kedaerahan, apalagi fanatisme kepartaian. Dalam konteks keagamaan, fanatisme yang dibolehkan adalah fanatisme pada Islam, bukan pada mazhab, aliran apalagi fanatisme keormasan. Imam Al-Qari menyebut fanatisme sempit sebagai fanatisme jahiliyah.

Maknanya, jika terjadi benturan kepentingan maka umat dan bangsa harus didahulukan. Misi umat Islam harus satu yaitu untuk membangun kembali kejayaannya sebagai rahmatan lil ‘alamin, meskipun jalan yang ditempuh bisa berbeda-beda melalui ormas, parpol, dan lain-lain.

Dalam sejarah politik Islam, kebijakan Khalifah Abu Bakar RA memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat ditentang keras oleh Umar bin Khattab RA dan para pemuka sahabat yang lain. Mereka berdalih bahwa jika seseorang sudah mengucapkan kalimat syahadat, maka jiwa dan hartanya harus dilindungi, maka tidak boleh diperangi hanya karena keengganannya menunaikan zakat.

Namun, Khalifah Abu Bakar RA dengan penuh percaya diri meyakinkan kepada para sahabat bahwa kebijakannya itu semata-mata untuk menegakkan sistem nilai lain yang menurut Abu Bakar RA jauh lebih penting: yaitu pemisahan antara kewajiban shalat dan zakat. Artinya, kalau ada orang mau shalat tetapi tidak mau zakat (padahal ia mampu), maka ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Karena dalam banyak sekali ayat perintah shalat hampir selalu dirangkai dengan perintah berzakat. Jadi, bukan sekedar karena enggan membayar zakat lalu diperangi.

Itulah jawaban diplomatis argumentatif Abu Bakar RA. Mendengar itu, Umar bin Khattab yang awalnya menentang keras, malah berbalik dan mengajak pemuka sabahat lain untuk mendukungnya. “Demi Allah, Allah telah melapangkan hati Abu Bakar dengan pemahaman ini, dan saya tahu inilah yang benar” demikian kata Umar RA. Artinya, Umar RA tidak fanatik dengan pendapatnya sendiri, dan ketika dihadirkan pendapat lain yang menurutnya ternyata lebih benar, maka dengan kebesaran jiwanya Umar RA malah menjadi garda depan dalam mengawal kebijakan Abu Bakar RA tersebut.

Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW melarang umatnya untuk berfanatik buta. Simaklah sabdanya berikut ini: “Orang yang berperang secara membabi-buta (tidak paham tujuannya), mengajak kepada fanatisme, atau marah karena fanatik, maka matinya seperti mati jahiliyah.” (HR. Ibnu Majah)  Untuk memastikannya, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tetang hakekat fanatisme. Apakah yang dimaksud dengan fanatisme itu? Rasulullah SAW menjawab: “Yaitu menolong kaummu yang berbuat zalim.” (HR. Abu Daud)

Nilai ini yang sekarang jarang kita jumpai pada diri umat. Nabi melarang kompak dalam hal membantu orang-orang yang berbuat zalim, meskipun, misalnya, yang melakukannya adalah teman separtainya, se-ormas, se-golongan, se-suku, atau se-daerah. “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Qs. Al-Maidah [5]:8)

Ancaman bagi orang yang fanatik sempit atau fanatik buta adalah sebagaimana dijelaskan dalam Hadis yang diriwayatkan dariJubair bin Muth'imbahwasanya Rasulullah S.a.w bersabda: ”Tidak termasuk kelompok kita orang yang mengajak kepada fanatisme, tidak pula orang yang berperang atas dasar fanatisme, dan tidak pula orang yang mati dalam keadaan fanatik.” (HR. Abu Daud)

Imam Baihaqi dalam kitabnya, Sunanul Kubro lil Baihaqi, mengutip pendapat Imam Syafii bahwa seseorang yang menampakkan fanatismenya melalui ucapan, keyakinan dan mensponsorinya, maka syahadatnya tertolak (mardudusyahadah). Padahal syahadat ini adalah pilar pertama keislamannya. Imam Syafii berdalil melalui ayat Al-Quran: ”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Qs. Al-Hujurat [49]:10); dan sabda Rasul SAW, “Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.

Para pemimpin di negeri ini harus memberikan teladan dalam persatuan dan kesatuan umat melalui kesantunan dan kebesaran jiwanya untuk menghargai setiap perbedaan pendapat. Bersatulah dan janganlah bercerai-berai!"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran". (Q, s. Al-Maidah [5]:2)