Dalam sebuah Hadis Shahih, haji mabrur, kata Rasul, pahalanya tiada lain adalah surga. Rasulullah SAW bersabda: “Haji Mabrur tiada pahala yang layak kecuali surga.” Para sahabat bertanya: Apakah haji mabrur itu, wahai Nabi? Rasul menjawab: “Memberi makan dan menebar salam” (HR. Ahmad). Pertanyaan para sahabat itu karena mereka ingin mengetahui lebih jelas dan detail mengenai ciri-ciri dan karakteristik haji mabrur, atau, barangkali Rasul mau mencontohkan sosok haji mabrur diantara sahabat yang ada. Ternyata, dijawab oleh Nabi dengan singkat padat: memberi makan dan menebar salam.
Beberapa sahabat yang hadir sedikit terkejut mendengar jawaban Nabi itu. Mengapa Nabi tidak menyebut ciri mabrur dengan, misalnya, orang yang sepulang haji lebih rajin shalatnya atau lebih khusyu dzikirnya; yaitu ukuran-ukuran yang sangat individu dan subyektif. Melainkan Nabi justru menyebut dengan menggunakan ukuran-ukuran sosial: memberi makan dan menebar salam.
Shalat, puasa, dzikir dan sejenisnya adalah bagian tak terpisahkan dari sistem keimanan dan keislaman seseorang. Seorang muslim, sebelum berhaji pun, dituntut mengerjakan shalat, puasa, zakat, zikir dan ibadah-ibadah formal lainnya, maka sepulangnya dari ibadah haji mestinya secara otomatis kualitas dan kuantitas ibadah-ibadah tadi harus meningkat. Adalah hal aneh dan keliru besar jika seorang haji kualitas ibadahnya malah menurun.
Nabi justru ingin mengarahkan kemabruran kepada sesuatu di luar diri kita dan berorientasi sosial kemasyarakatan. “Memberi makan” yang menjadi ciri pertama haji mabrur tidak saja dalam pengertian harfiah menyediakan makanan kepada orang lain, tetapi memiliki makna yang lebih luas, yaitu menyejahterakan. Seseorang dikatakan sejahtera hidupnya apabila ia dapat memenuhi kebutuhan makanannya.
Artinya, haji mabrur adalah haji yang kepulangannya ke Tanah Air memiliki komitmen tinggi pada kesejahteraan masyarakat, yaitu dengan menunjukkan kepedulian dan sikap empati terhadap penderitaan orang lain. Ia akan menjadi pribadi dermawan yang senantiasa ringan tangan mengulurkan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Sementara itu, “menebar salam” yang menjadi ciri kedua dari haji mabrur bermakna pada ketenteraman dan kedamaian sosial. “As-salaam” itu sendiri maknanya adalah kedamaian, maka dalam Al-Quran surga disebut juga dengan “Daarus-Salaam” (Kampung Damai). “As-Salaam” juga merupakan salah satu Nama Suci Allah.
Dalam hadis itu, Rasul menggunakan kata “menebar” (ifsyaa’), bukan “mengucapkan” (ilqaa’). “Ifsyaa” (menebar) dan “ilqaa’” (mengucapkan) memiliki makna yang berbeda. Jika dua orang bertemu lalu saling mengucapkan salam dan menyapa, maka disebut “ilqaa’us-salaam”. Sedangkan “ifsyaa’” bermakna menebar, mempengaruhi dan mensosialisasikan.
Maka, menebar salam artinya menebar ketenteraman dan kedamaian di masyarakat. Dengan demikian haji mabrur adalah haji yang kepulangannya ke Tanah Air dituntut mampu membawa ketenteraman dan kedamaian bagi lingkungannya.
Pendeknya, ciri haji mabrur seperti yang ditandaskan oleh Rasulullah SAW itu, memberi makan dan menebar salam, adalah sikap yang menunjukkan kepedulian, empati dan sikap-sikap yang membawa pada ketenteraman dan kedamaian di masyarakat.
Maka, jika sekembalinya dari Tanah Suci seorang haji malah menunjukkan sikap acuh, tak peduli, anti-sosial, dan bahkan kehadirannya menyebabkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat, maka kemabrurannya perlu dipertanyakan, karena tidak sesuai dengan kriteria kemabruran dari Rasulullah SAW. Bukan termasuk haji mabrur jika menunjukkan sikap semakin pelit, semakin angkuh, dan memposisikan dirinya lebih tinggi di hadapan orang banyak dengan menuntut perlakuan istimewa dari masyarakat.
Sikap-sikap anti sosial yang berpotensi menimbulkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat, sebetulnya telah diajarkan pula ketika seseorang sedang melaksanakan ibadah hajinya. Yaitu larangan berkata dan bersikap tak senonoh yang mengandung pornografi dan pornoaksi (rafats), larangan bertindak yang dapat merusak tatanan sosial (fusuq), dan larangan berbantah-bantahan yang dapat menyebabkan perpecahan dan permusuhan di masyarakat (jidal).
“Barangsiapa yang mengerjakan haji di Baitullah, maka tidak boleh rafats, fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”(QS. Al-Baqarah [2]: 197) Dalam Hadis ditegaskan lagi: “Barangsiapa yang berhaji dan dia tidak berbuat rafats dan fasik, maka ia akan kembali (bersih dari dosa) seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Muttafaq alaih)
Jika semuanya itu mampu dipahami, dihayati dan diamalkan oleh setiap haji, maka selain akan mendapatkan kemabruran dengan janji pahala surga dari Allah, sudah barang tentu kehadirannya sungguh sangat dinantikan masyarakat. Kata “mabrur” itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah mendapat kebaikan. Seperti halnya “birrul-waalidain” bermakna berbuat baik kepada orang tua (birr = mabrur). Dengan demikian, haji mabrur adalah haji yang mendapat kebaikan.
Kafilah haji bangsa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, yaitu sekitar 220 ribu orang tiap tahunnya. Artinya, setiap tahun bangsa ini akan selalu kedatangan sekitar 220 ribu anggota masyarakat baru yang siap menebar kebaikan melalui sikap kedermawanan dan kesantunannya yang diliputi dengan sikap kasih sayang kepada sesama. Maka, alangkah sejahtera dan damainya negeri ini jika mereka semua benar-benar kembali membawa predikat haji mabrur seperti yang diharapkan Rasul itu. Karenanya, haji mabrur adalah aset sekaligus potensi besar yang dimiliki bangsa ini. Semoga!
Sebelumnya:
H. Soetadi, SH. MM.; “JUJUR ITU MUJUR”Berikutnya:
HINDARI SYIRIK KECIL; KH Hasan Abdullah Sahal