Memaknai Tadarus Al-Qur’an

Memaknai Tadarus Al-Qur’an

Ramadhan adalah bulan penuh berkah, karena di dalamnya diturunkan permulaan Al-Quran. “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haqq dan yang bathil).

” (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Maka, malam turunnya Al-Quran itu disebut pula dengan malam kemuliaan atau Lailatul Qadr. “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan (lailatul qadr).” (Qs. Al-Qadr [97]: 1)

Setiap Ramadhan, Malaikat Jibril AS dan Nabi Muhammad SAW saling membacakan Al-Quran silih berganti terhadap ayat-ayat yang telah diturunkan: Jibril membaca, Rasul menyimaknya, silih berganti. Inilah tradisi tadarus pertama. Pada tahun wafatnya Rasul, Allah SWT mengutus Jibril turun dua kali selama bulan Ramadhan untuk bertadarus dengan Rasul, seolah menyiratkan bahwa Allah SWT ingin memastikan bahwa seluruh ayat-ayat Al-Quran yang telah diwahyukan benar-benar dihafal, dikuasai dan dimengerti oleh kekasih-Nya itu.

Tradisi tadarus ini diteruskan oleh kaum muslimin sepanjang waktu hingga kini. Masjid, mushola dan surau bergemuruh lantunan ayat-ayat Al-Quran pada musim Ramadhan; ada yang mampu mengkhatamkannya sekali, dua kali, tiga kali, dan bahkan ada yang sampai 30 kali mengkhatamkan Al-Quran selama Ramadhan dengan asumsi sehari 30 juz.

Membaca Al-Quran termasuk kegiatan ibadah, karena menurut Rasul huruf-hurunya saja jika dibaca mengandung pahala. Namun demikian, hendaknya kaum muslimin tidak berhenti pada bacaan saja, tetapi mestinya naik pada level memahami, menelaah dan mempelajari kandungan makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran.

Kegiatan membaca saja disebut tilawah. Sedangkan lebih luas lagi, membaca dan menelaah disebut qiraah. Maka, ayat pertama yang turun, “iqra”, sesungguhnya tidak sekedar membaca dalam arti harfiah mengeja huruf-huruf melainkan membaca dalam pengertian memahami, menelaah dan menganalisa. Adapun “tadarus” berasal dari akar kata “da-ra-sa” yang artinya belajar. Maka, di dalam tadarus tidak saja terkandung pengertian membaca, tetapi juga menelaah dan mempelajari. Kaum muslimin sekarang ini umumnya masih berada pada level tilawah, meskipun kegiatannya bertajuk tadarus.

Pada level tilawah ini pun masih banyak kaum muslimin yang bacaan Al-Quraannya belum standar, baik dari segil makharijul huruf maupun kesesuaiannya dengan kaidah-kaidah tajwid. Ada yang terbata-bata membacanya, namun ada pula yang sangat cepat sampai-sampai tidak jelas bacaannya, padahal dalam tilawah jelas-jelas kita diperintahkan untuk membacanya dengan tartil, yaitu benar, jelas dan bagus. Nabi SAW pernah ditegur langsung oleh Allah SWT karena terburu-buru menirukan bacaan sebelum Jibril selesai membacakannya. “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Quran karena hendak cepat-cepat menguasainya.” (Qs. Al-Qiyamah [75]: 16)

Banyak kaum muslim yang telah puluhan tahun membaca Al-Quran namun belum juga fasih. Padahal, jika ditekuni, menurut pengalaman umum belajar Al-Quran standar dengan guru hanya memerlukan waktu 2 sampai 3 bulan, atau sekitar 16 sampai 24 kali pertemuan dengan durasi tiap pertemuan 1 jam. Jika alasannya adalah tidak sempat waktu, sibuk dan banyak pekerjaan, maka sungguh mengada-ada; mereka belum menganggap Al-Quran bagian penting dalam hidupnya.

Banyak juga anak-anak muslim yang fasih berbahasa Inggris, Mandarin, Jerman dan bahasa-bahasa asing lainnya, ahli dalam matematika, komputer dan musik serta beragam keterampilan lainnya, namun terbata-bata dalam bacaan Al-Qurannya. Artinya, masih banyak para orang tua muslim yang mengursuskan anak-anaknya membaca Al-Quran tidak seserius mengursuskan mereka untuk matematika, bahasa Inggris, komputer, musik dan lain sebagainya. Bagi banyak orang tua muslim bahasa Inggris, komputer, matematika, musik dan aneka keterampilan itu dianggap penting untuk bekal masa depan anak, namun mereka lupa bahwa Al-Quran juga bagian dari masa depan, yaitu masa depan di akhirat. Justru, Al-Quran ini dapat menolong anak itu sendiri dan orang tuanya kelak di akhirat.

Rasulullah SAW berkali-kali menegaskan bahwa Al-Quran akan menjadi syafaat pada hari kiamat nanti bagi orang yang gemar membacanya. Bahkan, dalam sebuah hadis, Rasul menuturkan bahwa Allah memiliki keluarga di dunia ini. Para sahabat bertanya, siapakah yang dimaksud dengan keluarga itu. “Ahli Al-Quran” jawab Rasul. (HR. Hakim) Ahli Al-Quran adalah orang yang akrab dengan Al-Quran baik dengan membacanya, menelaah, maupun mengamalkan kandungannya.

Karena umumnya kaum muslimin masih pada level tilawah, maka pantas saja jika puluhan tahun membaca Al-Quran dan puluhan kali mengkhatamkannya, namun tidak ada yang membekas dalam hati maupun perilaku. Bagaimana mungkin membaca Al-Quran ratusan kali tetapi cara pandang, gaya dan sikap hidupnya tidak berubah? Berarti Al-Quran memang hanya sekedar bacaan, belum mampu menjadi petunjuk (hudan), cahaya (nur), penjelas (bayyinat), pembeda (furqan), apalagi menjadi obat(syifaa’).

Maka, mulailah menjadikan Al-Quran bagian penting dalam hidup kita. Tadarus Al-Quran kita pada bulan Ramadhan ini harus menjadi momentum bagi kita untuk memahami, menelaah dan mengamalkan kandungan ayat-ayatnya. “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (Qs. Al-Qamar [54]: 17)