Bagaimana Seharusnya Memaknai Tahun Baru Hijriah?

Bagaimana Seharusnya Memaknai Tahun Baru Hijriah?

Anang Rikza Masyhadi, M.A., Ph.D
Pimpinan Pondok Modern Tazakka

Konon, di kalangan para sahabat senior pernah terjadi perdebatan tentang awal penanggalan Tahun Baru Islam. Kapan dimulai?

Berbagai usulan bermunculan. Ada yang usul agar penanggalan Tahun Baru Islam dimulai dari hari lahirnya Nabi SAW; ada juga usulan dimulainya dari peristiwa turunnya wahyu pertama sebagai penanda kenabian; dan lain sebagainya.

Sejarah penetapan awal penanggalan kalender Islam tidak lepas dari peran Khalifah Umar bin Khattab RA. Khalifah Umar-lah yang memprakarsai penetapan Tahun Baru Islam dengan persetujuan Usman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA. Yaitu ditetapkannya tahun 622 Masehi (hijrahnya Nabi Muhammad SAW) sebagai tahun pertama kalender Islam. Kala itu adalah tahun ke-17 setelah peristiwa hijrah atau 3-4 tahun saat kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab RA. Maka, kalender Islam sejak saat itu dikenal dengan Hijriah.

Hijrah itu suatu aktifitas. Kelahiran bukanlah aktifitas, tetapi sesuatu yg diterima secara given. Argumen Umar RA di hadapan para sahabat adalah bahwa saat kelahiran, Muhammad belum menjadi nabi.

Khalifah Umar jugalah yang memelopori menciptakan diwan (kantor pemerintahan; kantor keuangan) — duane (Perancis, kantor pajak). Diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘dewan’. Umar pula yang menciptakan gelar ‘amirul mukminin’ (sebelumnya khalifatur rasul, khalifat khalifah, khalifatu khalifati rasul, dst)

Sebelum peristiwa hijrah, sulitnya perjuangan itu direkam dalam Surat Ad-Dhuha. Selama kurang lebih tiga belas tahun berjuang di Makkah yang sulit. Nabi SAW pernah hampir putus asa, kehilangan semangat, akan tetapi Allah menghiburnya melalui Surat Ad-Dhuha:

“Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu, dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan. Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan”.

Allah isra’-kan Rasul dan hal itu adalah simbol perjalanan vertikal. Lalu Allah hijrahkan kekasih-Nya itu dari Makkah ke Madinah, dan hal itu adalah simbol perjalanan horisontal.

Jadi, ini menunjukkan bahwa perjuangan menegakkan kebenaran itu tantangannya berat; harus ada proses tazkiah dulu secara vertikal, baru kemudian berkomitmen pada perubahan secara horisontal.

Perjuangan menegakkan kebenaran butuh pendukung. Dalam Isra, Allah ingin menguji siapa yang mengimaninya. Ini fokusnya pada Allah. Dan kemudian, dalam hijrah Allah uji lagi siapa yang mengimani Rasul-Nya.

Maka, percaya itu lebih didahulukan daripada pemahaman. Iman didahulukan daripada nalar. Mereka yang ikut berhijrah sepenuhnya mengimani Allah dan Rasul-Nya.

Kita ini terkadang terlalu rasional, sehingga menempatkan pikiran lebih dominan. Padahal, iman adalah soal ketetapan hati, lebih dari sekedar pikiran. Itulah mengapa ada hidayah. Hidayah terkadang tidak melewati pikiran. Hijrah meninggalkan semuanya. Mengapa mau? Karena percaya. Kenapa percaya? Karena iman.

Yatrib berubah menjadi Taibah dan Madinah Munawwarah karena hijrahnya Rasul SAW. Madinah artinya kota: polis dalam bahasa Yunani. Seperti Konstantinoel, Indianapolis, dll. Lalu polis menjadi politik.

Ini hasil perenungan Rasul SAW. Artinya, semangat hijrah adalah menuju peradaban, bukan sekedar berpindah tempat. Mengubah nama kota dari Yathrib menjadi Madinah, Nabi menancapkan visi membangun kota peradaban. Menciptakan kehidupan yang beradab.

Jadi, hijrahnya Nabi SAW itu sebetulnya untuk membangun sebuah negara yang berkeadaban. Ciri penduduk kota adalah menetap, lawan dari hidup nomaden. Dalam bahasa Arab, menetap disebut ‘hadir’, maka menjadi ‘hadarah’: yang berarti peradaban. Maka, secara implisit, perubahan nama Yathrib menjadi Madinah mengandung spirit hadharah (peradaban).

Hijrah mengajarkan pada kita bahwa menegakkan kebenaran perlu tempat yang subur. Yang kondusif. Setelah kondusif, lalu susun kekuatan, rapatkan barisan, kemudian taklukkan. Itulah yang kemudian kita saksikan dengan Fathu Makkah: membebaskan kembali Kota Makkah. Dari Madinah!.

Sesungguhnya bumi Allah itu luas. Para nabi punya tradisi hijrah. Misalnya saja, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, semuanya berhijrah. Bahkan, yang sangat fenomenal adalah hijrahnya Ibrahim dan keluarga dari Mesopotamia menuju ke lembah Bakkah (Makkah). Di sanalah kemudian Ibrahim dan putranya, Ismail, membangun peradaban baru. Meninggikan lagi fondasi bangunan Ka’bah dan dari sanalah Peradaban Dunia memancar abadi hingga Hari Akhir.

Itulah mengapa Allah kemudian memuji orang-orang mau berhijrah dan melakukan perubahan ke arah yang positif.

وَمَن یُهَاجِرۡ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِ یَجِدۡ فِی ٱلۡأَرۡضِ مُرَ ٰ⁠غَمࣰا كَثِیرࣰا وَسَعَةࣰۚ وَمَن یَخۡرُجۡ مِنۢ بَیۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ یُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورࣰا رَّحِیمࣰا)
[سورة النساء 100]

“Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Berhijrah bukan sekedar momentum. Hijrah juga bukan sekedar peristiwa sejarah yang terjadi 14 abad lalu. Apalagi sekedar seremonial memperingatinya tiap tahun. Lebih dari itu, hijrah adalah spirit. Hijrah adalah sebuah komitmen. Inilah yang justru perlu terus dipupuk dan dipelihara dalam sanubari umat. Bukan seremonialnya semata!

Marilah terus berhijrah sepanjang masa. Lakukan perpindahan dari keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik. Lakukan pergerakan dan strategi menuju kemenangan. Susun kekuatan dan rapatkan shaff serta konsolidasikan kekuatan umat untuk mengendalikan peradabannya sendiri. Karenanya, kerahkan segala daya upaya yang kita miliki untuk menghijrahkan diri, keluarga dan masyarakat menuju ketaatan total pada Allah dan Rasul-Nya.

Inilah saatnya memaknai Tahun Baru Hijriah sebagai: moving to the best, lilLaah.