Ternyata, Wakaf Tetap Mampu Menerangi Meskipun Dunia Gelap Gulita

Ternyata, Wakaf Tetap Mampu Menerangi Meskipun Dunia Gelap Gulita

Makkah – Masyarakat Indonesia heboh! Pasalnya, lampu PLN mati untuk waktu yang lama dan dalam skala yang luas. Konon, sebagian besar Pulau Jawa terdampak. Termasuk Jakarta, ibukota negara yang menjadi denyut nadi pemerintahan.

Sebagian masyarakat panik, karena padamnya listrik berdampak sistemik dalam aktivitas kehidupan mereka. Masyarakat kota memang serba ketergantungan pada listrik. Kata orang desa: “Ah, baru mati lampu beberapa jam saja paniknya sampai segitunya.” Orang-orang desa mungkin tidak terlalu memahami seberapa pentingnya listrik bagi orang-orang kota. Ini soal perspektif; wajar, dan tidak ada yang keliru!

Bagi kami yang di pesantren dan berada di desa, mati listrik itu biasa, karena saking seringnya “byar-pet“. Kadang setengah hari mati lampu, bahkan kadang seharian. Malah kadang mati lampunya tiba-tiba; tidak ada petir, tidak ada hujan dan tidak ada angin.

Bagaimana jadinya jika mati lampunya malam hari dalam waktu yang lama, dan itu sering terjadi? Jika gelap gulita pasti berdampak sistemik pada semua santri, guru dan seluruh penghuni pondok. Mau nyalakan lampu petromak seperti tempo doeloe, sayangnya santri milenial sudah tak mengenalinya lagi. Boro-boro menyalakannya yang harus membasahinya dengan spirtus terlebih dahulu, tahu bentuknya petromak saja tidak.

Alhamdulillah, sejak beberapa bulan sebelum tahun ajaran baru dimulai pada 2013, ada salah seorang Anshar Tazakka yang wakaf genset. Namanya Pak Hanafi dan Bu Shinta dari Jakarta. Gensetnya baru gres dari toko, merek Mitsubishi dan jenis silent (suaranya tidak berisik). Kapasitasnya 50.000 watt. Entah berapa harganya, karena barang itu tahu-tahu sudah dikirim ke pondok dengan truk tronton sedang.

Genset dengan kapasitas 50.000 watt tentu saja besar sekali untuk ukuran pondok saat itu yang santrinya saja belum ada. Sekarang saja, 6 tahun kemudian dengan jumlah penghuni pondok yang mencapai 800an orang, dan lebih dari 10 unit pergedungan, dengan cakupan area 2 ha, genset itu tetap masih mumpuni menerangi seluruhnya.

Ada sekelumit kisah unik di balik wakaf genset ini. Suatu senja, keduanya menyempatkan mampir ke pondok saat kunjungan ke Semarang. Saat kunjungannya itu pas listrik PLN mati. Waktu itu belum ada santri. Bangunan baru ada masjid dan satu gedung asrama yang sedang finishing karena sekitar dua atau tiga bulan lagi akan buka pendaftaran tahun ajaran baru.

Tiba waktunya shalat maghrib, kami ajak keduanya ke masjid. Tentu hanya dengan penerangan seadanya. Ada lampu emergency dan beberapa lampu sentir. Usai shalat maghrib hingga hampir isya, kami terlibat obrolan ringan. Lalu, tiba-tiba ada pertanyaan: Apa di sini sering mati listrik? Pertanyaan yang saya “tidak bisa menjawabnya” secara verbal, cukup senyuman saja. Tapi, gestur saya insyaAllah bisa dipahami bahwa di sini mati listrik adalah hal biasa.

Lalu, bagaimana nanti kalau santri sudah ada dan masih sering mati lampu begini?” tanyanya lagi.

“Itulah yang sedang kami pikirkan, insyaAllah ada jalan keluarnya nanti” jawabku sekenanya.

“Saya ada genset, nanti saya kirim ke sini saja kalau begitu, mau yang berapa watt? bisiknya kepadaku.

Tentu saja saya kaget dan sangat terharu. Kujawab: “Alhamdulillah, AllahuAkbar” jawabku kepadanya setengah berbisik. Aku termangu, dan bersyukur kepada Allah: “AlhamdulilLaah Ya Rabb, Engkau telah mengirimkan hamba-Mu ke sini di waktu yang tepat, sungguh indah sekali skenario-Mu” gumamku dalam hati.

Tak lama kemudian, sekitar satu bulan dari kunjungannya itu telponku berdering, mengabarkan bahwa genset sedang dalam perjalanan ke pondok, maka mohon diterima. “Tolong siapkan tempatnya mau ditaruh dimana, ini agak besar.” Tentu saja, kami agak bingung sebesar apa tempat yang harus dipersiapkan karena memang tidak membayangkan besarnya seperti apa.

Datanglah truk mitsubishi fuso membawa genset. “SubhanalLaah, Allahu Akbar, ini sih genset besar, bakal menerangi semua kawasan pondok” seruku tak kuasa meluapkan kegirangannya. Genset itu kini kami buatkan dalam ruangan khusus 3 x 3 m dengan ketinggian 3 m.

Sejak 2013 hingga kini, genset itu terus menerangi seluruh kawasan pondok saat listrik mati: pagi, siang, sore bahkan malam hari sekalipun. Sejak 2013 hati kami tenang karena tidak lagi risau dengan seringnya byar-pet listrik padam.

Pernah beberapa kali mati lampu dalam waktu cukup lama hingga malam hari. Padahal, ini hari-hari santri menghadapi ujian pelajaran dan ujian tahfidz. Bisa dibayangkan jika pondoknya gelap, bagaimana anak-anak itu akan belajar dan muroja’ah hafalan Qurannya? Mereka santri milenial, tidak pernah mengenal lampu penerangan selain listrik. Beda dengan santri zaman old yang terbiasa belajar dengan lampu sentir dan lilin. Berapa pahala jariyah yang akan mengalir kepada wakif genset? Entahlah, yang jelas tak lagi bisa dihitungnya.

Ingatanku menerawang jauh ke masa lampau, sekitar 14 abad yang lalu. Teringat pada sahabat Nabi yang bernama Tamim Ad-Dari. Ia dianggap sebagai orang pertama yang berinisiatif memasang lampu di masjid. Diriwayatkan oleh Abu Hindun bahwa ketika Tamim al-Dari keluar dari Syam menuju Madinah, ia membawa lampu, minyak zaitun, dan tali kecil. Ketika sampai di Madinah, ia menyuruh budaknya, bernama Abu al-Barad untuk menggantungkan lampu yang dibawanya itu dengan tali yang sudah dicampur minyak zaitun dan telah dipintal.

Ketika matahari sudah mulai ghurub (terbenam), ia memasangnya di masjid. Ketika Rasulullah tiba di masjid, beliau melihat masjid begitu terang. Beliau lantas bertanya, “Siapa yang melakukan ini?.” Orang-orang menjawab, “Tamim, ya Rasulallah.” Beliau kemudian bersabda, “Engkau telah menerangi Islam. Semoga Allah menerangimu di dunia dan di akhirat nanti.”

Aku bergumam: SubhanalLaah, pondok ini tetap terang benderang meskipun dunia sekitarnya sedang gelap gulita. Ternyata, wakaf mampu menerangi dunia saat gelap gulita. Bahkan, ternyata wakaf mampu menerangi kehidupan di dunia, di alam kubur dan di alam akhirat. Ternyata, wakaf akan terus abadi menyinari, dunia dan akhirat.

Itulah wakaf! Pahalanya terus mengalir. Yang dalam hadis Rasul disebut dengan sedekah jariyah. “Jika manusia mati, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan” (HR. Muslim).

K.H Anang Rikza Masyhadi, MA

Makkah Al-Mukarromah,
4 Dzulhijjah 1440 H
5 Agustus 2019

www.tazakka.or.id