Wakaf harus menjadi gaya hidup kaum muslimin. Inilah tradisi yang diwariskan Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in hingga ulama-ulama sesudahnya. Karena wakaf pahalanya akan terus mengalir kepada si wakif. Tidak ada peradaban Islam di dunia ini yang tidak terdapat gerakan wakaf di dalamnya.
Bisakah membayangkan Masjid Nabawi tanpa wakaf? Makkah dan Masjidil Haram tanpa wakaf? Atau membayangkan Universitas Al-Azhar Kairo yang sudah berumur 11 abad tanpa wakaf di dalamnya? Berapa banyak masjid-masjid di pelosok nusantara yang berasal dari tanah dan bangunan wakaf.
Sebagaimana banyaknya pesantren dan panti-panti asuhan yatim piatu yang bermula dari gerakan wakaf.
Saat kita bicara wakaf sebetulnya kita sedang bicara peradaban, bicara sejarah perjuangan manusia, dan tentu saja bicara tentang keimanan. Mana mau orang berwakaf menyerahkan hartanya jika tidak disertai iman kepada Allah dan Hari Akhir?
Orang mau berwakaf titik tolaknya dari iman: dari mindset. Jika mindsetnya adalah hedonistik dan materialistik, tidak mungkin mau berwakaf. Orang punya tanah 10 ha, apalagi di tempat strategis, misalnya, jika di kepala dan hatinya bukan potret akhirat, bukan mindset wakaf, tidak mungkin menempuh jalan wakaf.
Sama seperti orang punya uang Rp. 200 juta, atau Rp. 2 Miliar, misalnya, jika di kepalanya adalah gambar destinasi wisata, maka datangnya ke agen travel. Tetapi jika gambarnya di kepalanya adalah kuburan, maka datangnya ke pesantren, madrasah, panti asuhan, masjid dan lembaga-lembaga sosial.
Makanya, sekarang ini perlu terus dikembangkan bagaimana wakaf menjadi gaya hidup masyarakat muslim, menjadi lifestyle. Saya yakin jika ini bisa terwujud, akan ada perubahan dahsyat sekali pada umat ini. Akan terulang kejayaan peradaban Islam seperti pada masa-masa lalu.
Wakaf itu abadi; abadi sejarahnya, abadi asetnya dan tentu saja abadi manfaatnya. Sebagai contoh, Sahabat Umar bin Khattab RA adalah orang yang pertama kali memberi penerangan Masjid Nabawi, dulu pakai obor. Sehingga malam-malam berikutnya semakin ramai orang itikaf di Masjid Nabawi.
Mengetahui hal itu, Rasul mendoakannya di hadapan sahabat-sahabat yang lain: “Wahai Umar, engkau telah menerangi masjid kita, semoga Allah menerangimu di akhirat.” Umar terharu didoakan Rasul sedemikian dahsyat seperti itu. Pikirnya, cuma memberi obor saja kok didoakan untuk akhirat seperti itu?
Jadi, obornya sepele, tapi manfaatnya luar biasa. Nah, sekarang bagaimana dengan orang yang wakaf genset untuk masjid dan pondok; wakaf sumber air; wakaf pipa untuk menyalurkan air ke tempat wudlu dan MCK dan minum; wakaf tempat wudlu dan MCK, wakaf untuk ruang-ruang kelas & asrama, wakaf karpet masjid, wakaf perpustakaan, wakaf klinik, wakaf mobil untuk operasional masjid dan pondok, wakaf mobil ambulan dan lain sebagainya?
Andaikata Rasul masih hidup dan menyaksikan wakaf-wakaf seperti itu, kira-kira doa apa yang akan Rasul panjatkan untuk kita? Setiap kali ingat hal ini, bergetar hati kita! SubhanalLaah.
Contoh lain adalah Imam Al-Ghazali dalam riwayat, Beliau menulis bukunya yang legendaris ‘Ihya Ulumuddin’ di dalam kamar yang merupakan wakaf dari seseorang. Bayangkan kitab itu sudah hampir 10 abad dibaca dan diajarkan ke seluruh pelosok dunia dan menjadi salah satu panduan menata hati. Seperti apa lipat-gulipat pahala yang wakaf untuk Imam Ghazali itu?
Di Kairo, Mesir ada Syaikh Mutawwali Sya’rawi, seorang mufassir paling legendaris abad ini yang banyak dirujuk oleh para ahli tafsir. Beliau mewakafkan sebagian royalti dari penjualan kitab-kitabnya untuk membangun asrama-asrama mahasiswa di Al-Azhar, yang notabene adalah murid-murid beliau sendiri.
Ini sungguh contoh luar biasa, Syaikh Sya’rawi memborong semua pahala Bani Adam yang disabdakan dalam Hadis Rasul: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan. Wakafnya berupa asrama pahalanya terus mengalir, kitab-kitab yang dikarangnya menjadi ilmu yang bermanfaat yang pahalanya juga akan terus mengalir, dan pasti murid-muridnya akan mendoakannya. Mati dengan cara seperti ini nikmat sekali!
Imam Ibnu Quddamah RA pernah ditanya oleh santrinya: siapakah sebetulnya orang yang paling bahagia itu? Beliau menjawab: “Orang yang paling bahagia adalah orang yang apabila nafasnya berhenti, pahalanya masih mengalir”. Dan salah satu amalan ibadah yang pahalanya terus mengalir adalah shadaqah jariyah yang diartikan oleh banyak ulama sebagai wakaf.
Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa: “Tidak ada kebaikan di dalam kebaikan yang tidak terus menerus”. Artinya, agar kita mendapatkan pahala kebaikan, hendaknya kita melakukan kebaikan yang terus menerus. Istiqomah untuk menebarkan gerakan kebaikan kepada umat.
Itulah, mengapa wakaf harus menjadi gaya hidup. Punya harta, pikirannya ke wakaf. Jadi bukan ke materialistik atau hedonistik, sebab jika hal itu yang menjadi mindsetnya, maka yang akan dilakukannya adalah menumpuk-numpuk harta tanpa peduli pada gerakan keumatan.
Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam neraka Huthamah. Dan tahukah kamu apakah neraka Huthamah itu? Yaitu api (azab) Allah yang dinyalakan yang (membakar) sampai ke hati. Sungguh, api itu ditutup rapat atas diri mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (Qs. Al-Humazah [104]: 1-9)
KH. Anang Rikza Masyhadi, MA I Pengasuh Pondok Modern Tazakka Batang Jateng I www.tazakka.or.id
Sebelumnya:
Alumni Perdana Tazakka, Berangkat ke CairoBerikutnya:
Gallery Manasik Haji Muzdalifah