Ramadhan, Momentum Kembali Pada Al-Quran Dan Sunnah; KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.

Ramadhan, Momentum Kembali Pada Al-Quran Dan Sunnah; KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petun­juk itu dan pembeda antara yang hak dan yang bathil." (QS. [2]: 186)

Dalam ayat itu ada tiga fungsi pokok Al-Quran: sebagai petunjuk, penjelas dan pembeda. Pertanyaanya: sebagai muslim, sudahkah kita meminta petunjuk melalui Al-Quran?

Kapan kita me­rasa perlu meminta penjelasan kepada ­Al-Quran, dan apakah Al-Quran yang kita baca telah menuntun kita untuk membedakan mana yang haqq dan mana yang batil?

Maka, Ramadhan sejatinya adalah momentum kembali kepada Al-Quran sebagai petunjuk, penjelas dan pembeda, supaya hidup kita selamat dunia akhirat.

Al-Quran adalah kitab petunjuk. Inti Al-Quran ada dalam Al-Fatihah, sehingga disebut 'ummul kitab'. Sedangkan inti Al-Fatihah ada pada: ihdinas-shiraat al-mustaqim: tunjukilah kami jalan yang lurus.

Tidak ada kalimat atau ayat yang ­paling sering diucapkan orang-orang beriman kecuali Al-Fatihah, dan itu ­artinya memohon petunjuk.

Cobalah buka Al-Quran: apa yang ditegaskan di bagian awal? "Bahwa Kitab Al-Quran ini tidak ada keraguan di dalamnya dan menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa". (Qs. [2]: 2)

Di sisi lain, target puasa adalah "la'allakum tattaquun": agar kamu bertakwa. Dengan demikian, takwa adalah mendapat petunjuk melalui Al-Quran.

Ini juga sangat penting diketahui oleh para orang tua, guru dan murid. Bahwa jangan sampai hanya mementingkan ilmu pengetahuan saja tanpa hidayah (petunjuk); bisa sesat.

Rasulullah SAW mengingatkan: ­"Barangsiapa bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak akan bertambah apa-apa kecuali hanya akan semakin jauh dari Allah".

Ilmu jika dibingkai dengan hidayah akan menjadi kearifan dan tercermin dalam akhlakul karimah. Sedangkan ilmu di tangan orang yang tidak mendapat hidayah bisa berbahaya: bisa sesat dan menyesatkan.

Seperti halnya pada zaman modern ini, banyak orang belajar tentang kebenaran tetapi tidak menjadi benar. ­Misalnya orang belajar hukum, tetapi melanggar dan merusak tatanan hu­kum. Sama halnya belajar politik akan tetapi merusak dan mengotori sistem politik. Contoh lain seperti orang belajar ilmu shalat, tetapi ia tidak mau shalat. Belajar Al-Quran tetapi akhlaknya tidak mencerminkan Al-Quran.

Jadi, belajar tentang kebenaran ­adalah penting, itu ilmu, akan tetapi menjadi orang benar lebih penting, dan itulah hidayah.

Puasa adalah ibadah yang luar biasa, ibarat seperti wukuf. Dalam ibadah haji, semua rukun dan wajib haji bergerak dinamis: towaf, sai, lontar jumrah dan lain sebagainya.

Akan tetapi wukuf adalah berhenti dan merenungi dosa-dosanya dengan memperbanyak istighfar. Tidak ada ge­rakan apa-apa saat wukuf di Arafah, ke­cuali memperbanyak istighfar dan munajat pada Allah.

Nah, puasa ibarat wukufnya perut, wukufnya hawa nafsu. 11 bulan kita be­bas makan kapan saja sesuka hati, tetapi saat puasa kita dilarang makan minum dan hubungan seksual dari fajar sampai maghrib. Ini seperti wukuf, berhenti menuruti hawa nafsu.

Shalat juga sebenarnya merupakan wukuf harian, kita diminta meninggalkan semua aktivitas duniawi untuk mememuhi panggilan shalat. "Hai orang-orang beriman, jika telah diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah perniagaan" begitulah ayatnya berbunyi.

Dengan demikian, karena hawa n­afsu ditekan, maka ibadah harus dimaksimalkan. Di bulan Ramadhan ada shalat taraweh, 11 bulan yang lain tidak ada. Maka, gunakanlah waktu satu bula­n itu untuk fokus beribadah baik secara ­kuantitas maupun kualitas.

Jangan kalah sama desakan hedonisme dan materialisme, itu setan-setan zaman sekarang. Di masyarakat kita malah sebaliknya, semakin ke ujung Ramadhan, masjid semakin sepi sementara pusat perbelanjaan semakin ramai. Ini terbalik.

Padahal, Rasulullah SAW dan para sahabat dan orang-orang saleh setelahnya justru semakin memperbanyak iktikaf, terutama  pada 10 hari terakhir.

Amalan utama lain pada bulan ­Ramadhan, yaitu tadarus Al-Quran. Ini sebetulnya meniru tradisi yang dilakukan Rasulullah SAW dan Jibril AS. Pada malam Ramadhan, keduanya saling mengulang hafalan dan menyimak bacaan Al-Quran masing-masing secara bergantian. Tradisi tadarusan hingga kini masih marak di masjid-masjid saat malam Ramadhan.

Tadarusan adalah tradisi baik dan perlu dilestarikan. Namun, jangan berhenti hanya pada membaca, tetapi cobalah untuk memahami kandungan maknanya. Kalau tidak paham bagaimana mau mengamalkan?

Maka, sekali lagi saya tekankan bahwa Ramadhan adalah saat p­aling tepat bagi kita untuk kembali pada Allah dan Rasul, melalui pengamalan yang maksimal terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasul serta tradisi para salafus-saleh.