Memilih Pemimpin; KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.

Memilih Pemimpin; KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.

Di era pemilihan langsung seperti sekarang ini hendaknya rakyat jangan sampai salah memilih pemimpinnya.

Pertama, pilihlah pemimpin yang kuat dan dapat dipercaya (al-qowiyyu al-amien). "Sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Qs. Al-Qashash [28]: 26)

Kuat secara jasmani maupun ruhani! Pemimpin seyogyanya tak memiliki cacat bawaan atau cacat fisik permanen yang dapat menghalanginya dalam menjalankan tugas dan peran-peran kepemimpinannya.

Kuat ruhani artinya pemimpin yang secara batiniah memiliki kejiwaan yang matang dan stabil. Ia tidak mudah mengeluh dan menyerah menghadapi tantangan tugasnya. Sebab, jika pemimpin jiwanya tidak matang dan labil, maka dia akan selalu dalam keraguan dan penuh kebimbangan dalam mengambil keputusan.

Pemimpin juga harus kuat secara spiritual dan intelektual. Banyak persoalan yang dihadapinya terkadang melampaui kemampuan alamiahnya, belum lagi tekanan dari berbagai penjuru dengan aneka ragam kepentingan sempit yang selalu mengintainya. Intelek-tualitas itu penting supaya tidak dibodohi oleh orang-orang dekatnya.

Spiritual lebih penting lagi agar ia selalu dalam bimbingan dan hidayah Allah SWT dalam menjalankan kepe-mimpinannya. Pemimpin yang jauh dari Allah sangat berbahaya; ia tidak lagi bisa membedakan halal haram, baik buruk dan bahkan tidak takut neraka atau malah tidak percaya kalau neraka itu ada.

Selanjutnya, adalah kuat secara sosial politik yang didukung oleh masyarakat luas. Ini  jelas berbeda dengan pemimpin yang karbitan yang popularitasnya adalah hasil pencitraan. Investasi kebaikan dan amal saleh itu mestinya berupa rekam jejak sejak remaja, dewasa hingga akhirnya terpilih. Bukan seperti orang yang menunjukkan kebaikannya beberapa bulan lalu atau beberapa tahun saja jelang pemilihan. Itu namanya kemunafikan. Palsu!

Selain kuat seorang pemimpin haruslah amanah dan dapat dipercaya. Kuat saja tetapi tidak dapat dipercaya, maka akan sangat berbahaya. Bisa-bisa kekuatan di tangannya disalahgunakan untuk tindakan-tindakan menyimpang. Atau, dapat dipercaya tetapi tidak kuat, maka dia hanya akan diperalat dan dipermainkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya. Akibatnya, kepemimpinannya menjadi rapuh dan tidak berfungsi dengan baik.

Sifat dan sikap amanah ini penting, sebab dengannya ia melihat kepemimpinannya sebagai amanah yang harus ditunaikan. "Tunaikanlah amanah kepada yang berhak". Berbeda dengan pemimpin yang melihat kepemimpinannya sebagai jabatan, apalagi sebagai "aji mumpung" untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Kedua, pilihlah yang kompeten. Sabda Nabi SAW, "Jika amanah telah hilang, maka tunggulah saat kehancurannya." Lalu, Abu Hurairah bertanya: Ya Rasul, bagaimana orang menghilangkan amanah itu? Rasul menjawab: "Yaitu apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya." (HR. Bukhari)

Rasulullah SAW mengaitkan amanah dengan keahlian. Artinya, jika menye-rahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, berarti tidak amanah. Dengan kata lain, jangan menyerahkan kepe-mimpinan untuk mengurus hajat hidup orang banyak kepada orang yang tidak kompeten dan tidak punya kapasitas, bisa hancur bangsa ini. Orang yang
kapasitasnya rendah lalu diserahi urusan orang banyak sungguh sebuah malapetaka. Seperti halnya menyerahkan kemudi pesawat terbang kepada supir bus.

Di negeri ini banyak orang yang sebetulnya tepat dan memiliki kompetensi, tetapi tidak dipilih. Kita lebih sering mengedepankan ego, lebih memen-tingkan individu dan kelompok. Apalagi hanya karena seberapa banyak “uang pelicin” dan seberapa tebal amplop yang disodorkan. Money politic membuat bangsa ini rusak dan melahirkan pemimpin yang tidak cakap:
pemimpin korup!

Ketiga, pilihlah pemimpin yang memiliki komitmen kerakyatan, bukan komitmen partai. "Tasharruf al-imam 'ala ra'iyyah manutun bil maslahah", yaitu bahwa tindakan seorang pemimpinan haruslah didasari pada asas maslahat bagi rakyatnya.

Maslahah paling mendasar ada dua: yaitu kesejahteraan dan keamanan. Dua hal inilah yang harus menjadi acuan paling prinsip bagi seorang pemimpin dalam membuat kebijakan. Kesejahteraan tanpa keamanan akan hampa. Dan keamanan tanpa kesejahteraan tiada artinya. Bisakah masyarakat sejahtera namun situasi politik tidak aman?

"Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik Rumah ini (Ka'bah). Yaitu, yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (Qs. Al-Quraisy [106]: 3-4)

Mestinya pemimpin muslim mampu meneladani sifat-sifat Allah SWT, yaitu bisa bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjauhkannya dari musibah kelaparan dan menciptakan stabilitas keamanan.

Itulah yang sering diistilahkan oleh pengamat dengan istilah good gover-nance: kesejahteraan dan keamanan (stabilitas). Padahal, Islam telah secara eksplisit menggariskannya sejak 14 abad yang lalu.

Oleh karenanya, masyarakat muslim haruslah cerdas dalam memilih pemimpinnya: yang kuat, dapat dipercaya, kompeten dan memiliki komitmen tinggi pada kemaslahatan rakyat. Jangan asal pilih, jangan buta, dan jangan pula hanya berdasarkan money politic, jika tidak ingin hancur. Mintalah petunjuk pada Allah SWT sebelum memilih!