Zakat adalah kewajiban sebagaimana halnya shalat, puasa dan haji bagi yang mampu, dan merupakan bagian dari rukun Islam, sehingga mengabaikannya adalah dosa besar. Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Imam Bukhari, menyebutkan bahwa Islam dibangun di atas lima pilar utama, “buniyal Islamu ‘ala khomsin,” yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.
Dalam banyak ayat, perintah shalat hampir selalu dirangkai dengan perintah berzakat. “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat…” (Qs. Al-Baqarah [2]:43). Maka dari itu, ketika Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq RA menerapkan kebijakan dengan memerangi orang yang enggan berzakat, spontan kebijakan tersebut mendapat reaksi keras dari para sahabat senior, termasuk Umar bin Khattab RA.
Setelah melalui perdebatan yang alot, akhirnya Khalifah Abu Bakar berhasil mengemukakan argumen yang diterima oleh para sahabat yang lain. Menurutnya, ia tidak semata-mata memerangi orang yang tidak mau berzakat, tetapi ia memerangi orang muslim yang mencoba memisahkan antara shalat dan zakat, sementara dalam Islam jelas sekali bahwa keduanya adalah satu rangkaian yang tak terpisahkan.
"Saya tidak memisah-misahkan dua hal yang telah disatukan sendiri oleh Allah SWT dan Rasul-Nya," demikian kira-kira argumen Abu Bakar RA. Jadi, andaikata ada orang muslim yang taat shalat namun enggan berzakat, maka hal itu dapat meruntuhkan sendi-sendi keagamaan.
Menurut Ibnu Masud RA: siapa yang tidak membayar zakat, jika ia sudah wajib akan hal itu, berarti shalatnya tidak berarti. Senada dengan itu adalah pernyataan Ibnu Zaid RA yang mengatakan bahwa shalat dan zakat diwajibkan secara bersama, tidak terpisah-pisah; shalat tidak akan diterima tanpa zakat.
Sedemikian pentingnya perintah zakat ini, bahkan dalam pembukaan Al-Quran setelah Al-Fatihah dalam permulaan ayat surat Al-Baqarah, ciri-ciri paling pertama dari orang bertakwa adalah menafkahkan sebagian rezeki, yang disebut setelah iman kepada yang ghaib dan mendirikan shalat.
Mengingat pentingnya zakat, maka Al-Quran menegaskan perlunya petugas khusus yang menganganinya, dan zakat adalah ibadah mahdhoh (formal) satu-satunya dalam syariat yang memiliki petugas, yaitu amil. Maka, pada zaman Rasulullah SAW, Beliau mengutus beberapa sahabat diantaranya Ibnu Abi Lubiah dan Muadz bin Jabal sebagai petugas pemungut zakat (amil). Ini berdasarkan firman Allah SWT, “Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Allah Maha Mengetahui.” (Qs. At-Taubah [9]:103). Ayat ini jelas sekali; zakat itu harus dipungut, bila perlu amil zakat mengejar terus para muzakki untuk menunaikan zakatnya tentu dengan cara yang ma’ruf, sebagaimana halnya negara mengejar warganya untuk membayar pajak. Karena seringkali orang lupa menunaikannya.
Di sisi lain, dalam banyak ayat Al-Quran maupun hadis Nabi SAW, banyak kecaman terhadap orang yang enggan menunaikan zakat sementara ia tergolong mampu untuk itu. “Ingatlah pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahannam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan), ‘inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah akibat dari apa yang kamu simpan itu’.” (Qs. At-Taubah [9]:35)
Sejalan dengan itu, Rasul pun pernah mengancam, “Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah harta kekayaan, namun tidak mengeluarkan zakatnya, pada hari kiamat hartanya akan berubah menjadi seekor ular jantan buas, yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya, lalu melilit dan mematuk lehernya sambil berteriak, ‘Saya adalah harta kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu yang kamu simpan dulu’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang enggan mendermakan sebagian rezekinya kepada yang membutuhkan adalah perbuatan kikir dan sangat dibenci oleh Allah. Mereka lupa bahwa kekayaan yang dicapainya tidak semata-mata hasil jerih payahnya, namun juga karena karunia Allah SWT. Simaklah ayat berikut ini: “Dan diantara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, niscaya kami akan bersedekah dan niscaya kami termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan berpaling, dan selalu menentang kebenaran.” (Qs. At-Taubah [9]:75-76)
Itulah diantara sifat buruk pada diri manusia, oleh karenanya harus selalu diingatkan. Memang butuh pembinaan yang terus menerus untuk meneguhkan komitmen setiap muslim dalam menjalankan ajaran agamanya, dan itulah yang menjadi tugas utama para dai, ulama, ustadz, kyai, habib, ormas Islam, dan lain sebagainya, termasuk sesungguhnya menjadi tugas negara juga. Potensi zakat di Indonesia mencapai kurang lebih Rp. 19 triliun, dan di Jawa Tengah, saja potensi zakat fitrah jika dinominalkan mencapai angka sekitar Rp. 243 miliar. Jumlah yang fantastis; bisa untuk membangun, meningkatkan sumber daya manusia dan mengentaskan kemiskinan!
Maka dari itu, saya mengajak kaum muslimin untuk menyegerakan menunaikan zakat, disamping infak dan sedekah lainnya. Dalam harta kita terdapat hak orang-orang fakir miskin. “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (Qs. Adz-Zariyat [51]:19) Dua setengah persen (2,5%) harta kita, sesungguhnya bukan milik kita, tapi milik orang lain, maka kembalikanlah kepada yang berhak atasnya.
Orang yang enggan berzakat, Allah SWT akan membuat jalan hidupnya sukar. “Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).” (Qs. Al-Lail [92]:8-10)
Percayalah, “Harta tidak akan berkurang karena sedekah,” kata Rasul SAW (HR. Muslim).
Sebelumnya:
Membaca Raport Diri; K.H. Hasan Abdullah SahalBerikutnya:
LAZIS TARGETKAN 1,9 M