Al-Quran adalah sebuah kitab kebenaran. Rasulullah SAW melalui risalah kenabiannya diutus mendakwahkan kebenaran itu kepada manusia seluruhnya. Sepeninggal Rasul, maka para ulama-lah yang mewarisinya; ‘al-ulama’u warosatul ambiya’. Namun, dalam mendakwahkan kebenaran selalu saja terdapat orang-orang yang sulit diajak menerima kebenaran. Bahkan tidak jarang yang kemudian melalukan perlawanan.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa dialektika antara kebenaran dan kebatilan (al-haqq wal bathil) akan selalu terjadi di panggung sejarah kehidupan manusia. Pasang surut perseteruan keduanya adalah hal lumrah. Terhadap kenyataan ini, manusia diberi dua pilihan: tunduk atau membangkang, iman atau kafir, syukur atau kufur.Setiap jalan memiliki konsekuensinya sendiri.
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Qs. Al-Insan [76]:3) “Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.” (Qs. Al-Kahfi [18]:29)
Beriman tetapi tidak beramal saleh itu juga termasuk munafik. Sebagaimana halnya mengaku beriman tetapi tidak bisa berkata yang baik; beriman tetapi menipu; beriman tetapi mengadu-domba; beriman tetapi pendendam, dan lain sebagainya.
Setiap mukmin harus punya ketegasan sikap, tidak boleh ragu dan bermuka dua. Keraguan berpotensi memunculkan kemunafikan, suatu sikap menduakan kebenaran yang amat ditentang agama. Contoh munafik adalah mengatakan sesuatu tetapi tidak melaksanakannya. “Amat besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya.” (Qs. As-Shaff [61]:3)
Beriman tetapi tidak beramal saleh itu juga termasuk munafik. Sebagaimana halnya mengaku beriman tetapi tidak bisa berkata yang baik; beriman tetapi berbohong, menipu, ingkar janji; beriman tetapi mengadu-domba; beriman tetapi pendendam; beriman tetapi memecah-belah umat, beriman tetapi tidak amanah, tidak dapat dipercaya; dan lain sebagainya. Mau jadi kawan atau lawan harus jelas, jangan menjadi “musuh dalam selimut”, “udang di balik batu” dan aneka trik mengelabui lainnya.
Termasuk munafik yaitu orang yang malas shalat atau shalat untuk tujuan pamer (riya’), dan malas zikir. “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit saja.” (Qs. An-Nisa [4]:142)
Secara psikologis pun kemunafikan membuat orang tidak tentram dan bahagia, karena sikapnya itu akan selalu bertentangan dengan kata hati nuraninya sendiri (baca: Qs. Al-Baqarah [2]:8-20) Ada pepatah mengatakan: kamu bisa membohongi orang lain selamanya, tetapi tidak pada diri sendiri. Jadi, orang munafik itu sebetulnya hatinya selalu tertekan, selalu gelisah.
“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang munafik yang berkata: Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan karena hati mereka mengingkarinya. Sesungguhnya makhluk yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran), yaitu orang-orang yang tidak mengerti(Qs. Al-Anfal [8]:21-22)
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri pula bahwa perubahan zaman seringkali mengaburkan nilai-nilai kebenaran, pada saat yang sama etos furqan, yaitu etos membedakan antara kebenaran dan kebatilan menjadi melemah. Oleh karenanya, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:147)
Jadi, kita harus teguh dan konsisten mengimani kebenaran Islam. Rasul berpesan: “Katakanlah, ‘aku beriman kepada Allah’, kemudian istiqomahlah dengan (perkataanmu) itu.” (HR. Ahmad) Oleh karenanya kita harus terus mengimani kebenaran, melakukannya, dan mendakwahkannya kepada seluruh manusia, betapapun resikonya. Jangan munafik; setengah beriman setengah kafir; setengah syukur setengah kufur; setengah teman setengah lawan. Pesan Rasul: “Katakanlah tentang kebenaran meskipun pahit” (HR. Ibnu Hibban).
“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang munafik yang berkata: Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan karena hati mereka mengingkarinya. Sesungguhnya makhluk yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran), yaitu orang-orang yang tidak mengerti(Qs. Al-Anfal [8]:21-22)
Sebelumnya:
Pemimpin yang Bisa MemimpinBerikutnya:
Harta untuk Beribadah