Tazakka – Umumnya, orang yang mencintai sesuatu tandanya ia akan sering menyebutnya. Demikian pula dalam hal kecintaan seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan sering menyebutnya. “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Qs. [33]:41)
Maka, ciri orang beriman adalah banyak berdzikir menyebut nama Allah. Sedangkan yang sedikit berdzikir disifati dengan munafik. “Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Qs. [4]: 141)
Orang mukmin diperintah untuk selalu mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi SAW supaya terus terpupuk cinta kepadanya. Allah sendiri menyontohkannya dengan memberi shalawat dan salam kepada kekasih-Nya itu. “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. [33]: 56)
Bahkan, tidak satu pun perintah yang Allah mulai dari Diri-Nya sendiri kecuali perintah bershalawat atas Nabi SAW. Shalawat Allah atas Nabi adalah rahmat. Sedangkan malaikat bershalawat atasnya adalah memohonkan ampunan untuk Nabi. Adapun shalawatnya orang-orang mukmin adalah penghormatan dan ungkapan terima kasihnya karena kenabian dan kerasulannya membawa manusia dari jalan kegelapan kepada jalan cahaya Ilahi (min-adzulumaat ilan-nuur).
Para ahli tafsir mengemukakan bahwa shalawat dan salam sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas berlangsung terus menerus dan berulang-ulang. Artinya, shalawat berlangsung sebelum Nabi SAW terlahir ke dunia, ketika berada di dunia dan setelah Nabi SAW berpindah ke alam kubur.
Perlu diketahui bahwa shalawat dan salam kita kepada Nabi SAW bukanlah untuk kepentingannya, melainkan manfaatnya kembali kepada diri kita sendiri. Apalah artinya shalawat dan salam kita dibandingkan dengan shalawat dan salamnya malaikat? Apalagi dibanding shalawatnya Allah kepada Nabi-Nya itu?
Maka, shalawatnya seorang mukmin kepada Rasul adalah dalam rangka melengkapi salam kepada Rasul dari dua alam yang berbeda: alam rendah dunia (manusia) dan alam tinggi di langit (malaikat). Ini untuk memberikan penghormatan yang besar kepada Nabi Muhanmad SAW.
Bershalawat dan salam kepada Nabi SAW tidak disyaratkan hadir di hadapannya. Artinya, bisa pula dilakukan dari jarak jauh. Sebagaimana tidak pula disyaratkan ketika Nabi masih hidup. Artinya, shalawat dapat pula diucapkan sepeninggal Rasul, seperti yang kita lakukan saat ini.
Ada dua kondisi mukmin dalam mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi SAW, yaitu: dari dekat dengan berziarah ke Makam Rasul di Madinah, dan dari jauh di manapun berada. Keduanya akan mendapatkan respon yang berbeda sebagaimana diriwayatkan dalam banyak sekali hadis shahih.
Pertama: shalawat dan salam dari dekat dengan berziarah ke Makam Rasul di Madinah. Dalam kondisi seperti ini, Rasul dapat mendengarnya langsung, dan Rasul pun akan menjawab setiap salam yang ditujukan kepadanya.
Hadis Abu Hurairah RA: “Tidak seorang muslim pun yang mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah kembalikan ruhku sehingga aku bisa menjawab salamnya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Thabarani & Al-Baihaqi, dishahihkan pula oleh Imam Nawawi, dan seluruh perawinya tsiqaat; dapat dipercaya)
Bahkan, menurut Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni, Imam Ahmad bin Hambal menambahkannya dengan kalimat “di dekat kuburku” dalam hadis tersebut. Maka, sebagian besar ulama meyakini bahwa dalam kondisi seperti ini Nabi SAW menjawab langsung salam dari umatnya.
Hal ini bisa juga dipahami dari berbagai pandangan ulama tafsir, termasuk Imam Al-Khafaji bahwa para nabi dan syuhada itu hakekatnya adalah hidup, dan kehidupan para nabi tentu lebih kuat, andai saja tidak terkubur dalam tanah maka mereka layaknya seperti sedang tidur saja.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, bahwa mereka itu mati; bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (Qs. [2]: 154) “Allah memegang jiwa orang ketika matinya dan memegang jiwa orang yang belum mati di waktu tidurnya…” (Qs. [39]: 42)
Untuk memperkuat pendapat ini ada beberapa penjelasan tambahan, selain dalil ayat di atas, diantaranya bahwa anjuran mengucapkan salam kepada ahli kubur, jika mereka tidak lebih dari seorang mayit yang tidak mendengar, maka jelas perintah seperti ini percuma saja. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah malah berpendapat bahwa mayit di dalam kubur mengetahui orang-orang yang menziarahinya.
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa mayit di dalam kubur mendengar bunyi terompah (sandal) orang yang mengantarkannya ke kuburan sebagaimana dalam hadis riwayat Muttafaq-alaih. Selain itu, Nabi SAW pernah berbincang dengan orang-orang musyrik yang terbunuh dalam Perang Badar setelah mereka dikuburkan, dan Nabi mengatakan bahwa mereka mendengar namun tidak bisa menjawab, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas dari Umar dan AbubThalhah. Jadi, anjuran mengucapkan salam kepada ahli kubur saat melintasi makam mereka, jika mereka tidak bisa mendengar tentu sia-sia saja anjuran itu.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa para syuhada itu, jika ada orang mukmin yang mengunjunginya dan memberinya salam, mereka mengetahui dan menjawabnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA. Pendapat ini juga diamini oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Kedua: mengucapkan shalawat dan salam dari jauh. Dalam kondisi ini ucapan salam disampaikan melalui malaikat, sebagaimana dalam hadis dari Ibnu Masud RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat di bumi yang berkeliling untuk menyampaikan salam umatku kepadaku.” (HR. Ahmad, An-Nasai, Ad-Darimi, Al-Bazzar, At-Thabarani, Abu Ya’la dll; Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Ibnu Qayyim menshahihkannya)
Inilah diantara bentuk pemuliaan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu menciptakan malaikat-malaikat yang bertugas menyampaikan salam dari umat kepada Nabi SAW.
Dari Aus bin Aus RA, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya hari yang paling mulia bagimu adalah hari Jumat; karena pada hari itu Adam diciptakan, diwafatkan, ditiupkan ruh dan pada hari itu pula sangkakala ditiup, maka perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari Jumat, karena sesungguhnya shalawatmu itu disampaikan kepadaku.” Para sahabat bertanya: “Bagaimana shalawat kami disampaikan kepadamu sedangkan engkau telah dikubur di dalam tanah?” Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada bumi untuk memakan jasad para nabi.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah, At-Thabarani & Baihaqi, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Nawawi)
Maka, perbanyaklah mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi SAW. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Masud RA bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling mulia bersamaku pada hari kiamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR. Bukhari, At-Turmudzi, & Ibnu Hibban) “Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali akan dibalas sepuluh kali“.
اللهم صل على محمد وعلى آله وصحبه وبارك وسلم أجمعين
K.H. Anang Rikza Masyhadi, MA
Pondok Modern Tazakka Batang Jawa Tengah