Jurnalistik di Pesantren Itu Fardhu ‘Ain

Jurnalistik di Pesantren Itu Fardhu ‘Ain

Madinah – Lagi hangat isu buzzer: baik yg pro pemerintah atau pro oposisi. Hari ini betapa media dan jurnalistik itu jika dikelola oleh tangan-tangan kotor dampaknya bisa sangat merusak. Sebaliknya, kita, santri yg sangat kaya konten malah tidak menuliskan apapun tentang  kebaikan, dan tidak  juga punya wawasan tentang media.

Kita sekarang ibarat umat yang bisu, tuli dan buta, dan tidak mau berpikir. “Summun, bukmun, umyun” ditambah lagi “fahum laa ya’qiluun“. Persis seperti digambarkan Quran. Padahal, Allah bersumpah demi pena. “Nun, wal qolami wamaa yasturuun“: “Demi pena dan apa yang mereka tuliskan“.

Itu Quran, 14 abad yang lalu. Padahal hari ini kita berada di era serba digital. Perang bukan lagi di darat, tapi di udara. Udara itu hawa‘, itu artinya juga gelombang. Gelombang apa? Gelombang digital. Maka, kebaikan harus digelombangkan: diviralkan.

من دل على خير فله مثل أجر فاعله

Kemana hadis Nabi itu kita laksanakan? Menunjukkan kebaikan hari ini, di era digital adalah melalui gelombang.

Kemampuan menulis dan jurnalistik santri hari ini, menurut saya sudah pada tingkat FARDLU AIN. Dulu, zaman saya nyantri, mungkin FARDLU KIFAYAH: tidak perlu semua santri bisa menulis, klo ada yang  bisa beberapa orang terwakili sudah. Itu dulu. https://petitsecret.ch. Sekarang zaman sudah berubah!

Di pondok kita, ruang yang berfungsi sebagai  dorongan untuk menulis amat sangat banyak. Meskipun masih kalah dengan ruang untuk verbal. Tapi, sayang tulisan kita tdk pernah ada dalam gelombang!!!

Diletakkan dimanakah pesan Rasul SAW: “ballighuu anni walaw aayah”: sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat“. Mana? Kita tidak menulis bahkan setengah ayat pun. Bisanya hanya copas-copas tak bermutu!

Selalu juga saya katakan berulang-ulang: “belajar jurnalistik hari ini sama nilainya dg belajar tafsir, hadis, nahwu, sorof, fiqh dan usul fiqh. Bayangkan andai ulama-ulama dahulu tdk mau menulis, peradaban apa yg kita warisi sekarang ini? Kita masih berada dalam kegelapan: mungkin masih sesat blm dpt petunjuk.”

Bayangkan jika Imam Bukhari, Imam Muslim, At-Turmudzi, Ibnu Majah, Nasai, dan lain sebagainya itu tdk mau menuliskan hadis-hadis yang berhasil dikumpulkannya, seperti apakah kira-kira keadaan kita sekarang ini?

Maka, saya perintahkan Direktur KMI, masukkan satu materi pelajaran tentang WAWASAN MEDIA & JURNALISTIK dalam kurikulum dan silabus. Disamping tentu saja, pelajaran Bahasa Indonesia. Supaya paham konteks: paham peta dakwah dengan pena.

Maka, jika santri tidak bisa menulis dan menampilkan konten positif, maka IA TELAH BERKHIANAT PADA KESANTRIANNYA!!!

Utk perhatian semua!

@anangrikza
Madinah, 6 Safar 1441
5 Okt 2019

www.tazakka.or.id