TAZAKKA – Majelis Wilayah KAHMI dan ICMI Jawa Tengah dalami wakaf di Pondok Modern Tazakka, Sabtu siang (27/7). Acara yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Wakaf dan Zakat Tazakka itu bekerjasama dengan KAHMI & ICMI Jateng.
Selain dari unsur Majelis Wilayah KAHMI & ICMI Jateng, hadir pula Forhati Jateng serta perwakilan dari beberapa Majelis Daerah: Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Cilacap, Semarang, Grobogan, Pati, Kendal, Surakarta, Salatiga dan lainnya.
Ketua Majelis Wilayah KAHMI Jateng, Bapak Wahid mengatakan bahwa kajian wakaf ini sebetulnya telah berlangsung beberapa kali pada tahun lalu di tempat yang sama di Tazakka.
“Ada antusiasme yang kuat dari anggota KAHMI Jateng untuk mendalami lebih lanjut terutama tentang wakaf produktifnya, sehingga nanti kita bisa rumuskan di internal apa yang bisa ditiru dan dikembangkan” ujarnya.
Senada dengan itu salah seorang anggota Penasehat KAHMI Jateng H. Teguh Suhardi mengatakan bahwa KAHMI punya potensi sangat besar karena anggota terdiri dari para tokoh berpengaruh di komunitasnya masing-masing. Sehingga, menurutnya, jika wawasan dan konsep wakaf produktif ini dipahami secara baik oleh mereka maka akan lebih mudah menggerakkan potensi itu untuk percepatan kemajuan umat.
Sementara itu, KH. Anang Rikza Masyhadi, MA selaku narasumber utama dalam paparannya selama hampir dua jam menjelaskan panjang lebar tentang wakaf mulai dari landasan teoretis, konsep maupun isu-isu kontemporer wakaf dunia.
Menurut Kiai yang juga menjadi salah seorang Penasehat KAHMI Jateng itu bahwa wakaf dan zakat harus menjadi instrumen penting dalam membangun peradaban ke depan. Karena, tidak ada jejak peradaban Islam yang tidak ada jejak wakafnya.
“Coba perhatikan dan teliti, hampir tidak ada jejak peradaban Islam yang ada di dunia ini yang tidak ada jejak wakafnya, jadi kalau mau bicara peradadan pastilah bicara wakaf” paparnya.
Saat ini instrumen ekonomi keumatan bukan lagi wakaf dan zakat, tetapi menggunakan ekonomi kapitalistik. “Padahal, wakaf dan zakat itu warisan syariah kita, given, dan itu berfungsi sebagai instrumen ekonomi umat, dan selama berabad-abad pernah dilakukan oleh kita dan sukses dan menjadi contoh peradaban dunia, ini fakta sejarah, sayangnya kita tidak menelitinya” jabarnya.
“Di kalangan sebagian umat masih banyak yang memahami wakaf hanya sebatas tanah, kuburan, masjid dan harta tak bergerak lainnya, sempit sekali, padahal aslinya wakaf itu ya bersifat produktif, itu sejak zaman Nabi ketika Usman bin Affan mewakafkan sumur untuk kebutuhan air minum penduduk Madinah, atau Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kurma terbaiknya, atau Umar bin Khattab yang mewakafkan tanah pertanian di Khaibar, atau Abdurrahman bin Auf yang mewakafkan pertokoannya, dan lain sebagainya” jelasnya.
Kandidat doktor Linguistik Arab dari Suez Canal University Mesir itu lalu menjabarkan konsep dan desain wakaf yang dikembangkan di Pondok Modern Tazakka. Ia juga mengetengahkan konsep dan model-model wakaf yang dikembangkan oleh institusi dunia seperti Al-Azhar Kairo, Saudi Arabia, Dubai, bahkan Universitas Harvard di Amerika pun menggunakan endowment sebagai instrumen pengembangannya.
“Al-Azhar di Kairo itu berbasis wakaf dan telah berlangsung 10 abad lebih sampai hari ini masih terus memberi untuk dunia, demikian pula Harvard sebetulnya wakaf juga hanya istilahnya endowment dan dari situ dana risetnya mencapai ratusan triliun rupiah, sementara kita masih di wacana terus, maka segera rumuskan langkah strategis mengedukasi dan mengembangkan wakaf pada umat” lanjut kiai yang juga sedang menyelesaikan S3 wakaf di ekonomi UGM itu.
Menurutnya, tema wakaf merupakan tema besar dalam khazanah literasi Islam, bahkan dalam kajian fiqh dibahas secara panjang lebar dan detail. Tapi, sayangnya, kajian itu tidak sepenuhnya sampai kepada umat hari ini, padahal literasinya sangat terbuka dan mudah diakses.
“Misalnya tentang perdebatan apakah wakaf itu harus bersifat abadi atau temporer, itu bahasan fiqh sejak 13 abad yang lalu dan sudah selesai, ada perdebatan yang hangat antar para imam madzhah, dan literasinya ada dan terbuka, sehingga sama seperti bahasan Subuh itu ada atau tidak ada qunutnya, tinggal pilih mau merujuk ke madzhab yang mana, jadi secara akademik itu ya” tandasnya lagi.
Selain Kiai Anang, hadir sebagai narasumber adalah Ustadz M. Sulthoni, Lc., M.A kandidat doktor wakaf dari IIUM Malaysia. Ia mengetengahkan tentang konsep dan menejemen wakaf di beberapa pesantren: Gontor, Darunnajah dan Tazakka. Menurutnya, salah satu kunci sukses ketiga lembaga itu dalam mengembangkan wakaf adalah adanya dukungan struktur dan SDM yang kuat. Juga, adanya strong leadership di ketiga lembaga itu.
Usai dalami wakaf selama hampir satu hari penuh, Kahmi dan ICMI Jateng sepakat untuk segera merumuskan langkah kongrit dan melakukan edukasi serta inkubasi wakaf di majelis-majelis daerah guna pemberdayaan potensi ekonomi umat. @ray media_center
Sebelumnya:
Galery Apel Tahunan Tazakka 2019Berikutnya:
Museum Rasulullah Akan Dibangun di Indonesia