Memaknai Tadarus Al-Qur’an

Memaknai Tadarus Al-Qur’an

Tazakka – Ramadhan adalah bulan diturunkannya permulaan Al-Quran.  “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haqqdan yang bathil).” (Qs. Al-Baqarah [2]: 185).

Setiap Ramadhan, Malaikat Jibril AS dan Nabi Muhammad SAW saling membacakan Al-Quran silih berganti terhadap ayat-ayat yang telah diturunkan: Jibril membaca, Rasul menyimaknya, silih berganti. Inilah tradisi tadarus pertama.

Tradisi tadarus ini diteruskan oleh kaum muslimin sepanjang waktu hingga kini. Masjid, mushola dan surau bergemuruh lantunan ayat-ayat Al-Quran pada musim Ramadhan; ada yang mampu mengkhatamkannya sekali, dua kali, bahkan ada yang sampai 30 kali mengkhatamkan Al-Quran selama Ramadhan.

Membaca Al-Quran termasuk kegiatan ibadah, karena menurut Rasul huruf-hurunya saja jika dibaca mengandung pahala. “Alif lam miim“, misalnya, jika dibaca pahalanya bukan satu, tapi dihitung pahala per huruf: huruf alif satu pahala, lam satu pahala, dan mim satu pahala. Setiap pahala kebaikan dilipatgandakan hingga sepuluh kali. Demikian penegasan Rasul SAW.

Namun demikian, hendaknya kaum muslimin tidak berhenti pada bacaan saja, tetapi mestinya naik pada level memahami, menelaah dan mempelajari kandungan makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran.
Kegiatan membaca saja disebut tilawah. Sedangkan lebih luas lagi, membaca dan menelaah disebut qiraah.

Maka, ayat pertama yang turun, “iqra”, sesungguhnya tidak sekedar membaca dalam arti harfiah mengeja huruf-huruf melainkan membaca dalam pengertian memahami, menelaah dan menganalisa. Adapun “tadarus” berasal dari akar kata “da-ra-sa” yang artinya belajar. Maka, di dalam tadarus tidak saja terkandung pengertian membaca, tetapi juga menelaah dan mempelajari.

Kaum muslimin sekarang ini umumnya masih berada pada level tilawah, meskipun kegiatannya bertajuk tadarus. Pada level tilawah ini pun masih banyak kaum muslimin yang bacaan Al-Quraannya belum standar: ada yang terbata-bata membacanya, namun ada pula yang sangat cepat sampai-sampai tidak jelas bacaannya. Padahal perintahnya membaca dengan tartil, yaitu benar, jelas dan bagus.

Nabi SAW pernah ditegur langsung oleh Allah SWT karena terburu-buru menirukan bacaan sebelum Jibril selesai membacakannya (baca: Qs. Al-Qiyamah [75]: 16)
Banyak kaum muslim yang telah puluhan tahun membaca Al-Quran namun belum juga fasih. Apapun alasannya, berarti mereka belum menganggap Al-Quran bagian penting dalam hidupnya: tidak mau belajar.

Banyak juga anak-anak muslim yang fasih berbahasa asing, ahli dalam matematika, komputer dan musik serta beragam keterampilan lainnya, namun terbata-bata dalam bacaan Al-Qurannya. Artinya, masih banyak para orang tua muslim yang mengursuskan anak-anaknya membaca Al-Quran tidak seserius mengursuskan mereka untuk matematika, bahasa asing, komputer, musik dan lain sebagainya. Mereka lupa bahwa Al-Quran juga bagian dari masa depan, bahkan masa depan di dunia dan akhirat.

Al-Quran masih sekedar bacaan, belum mampu menjadi petunjuk _(hudan),_ cahaya (nur), penjelas (bayyinat), pembeda  (furqan), apalagi menjadi obat (syifaa’), karena belum membekas di hati dan belum mengubah cara pandang, sikap dan perilaku.
Maka, mulailah menjadikan Al-Quran bagian penting dalam hidup kita.

Tadarus Al-Quran kita pada bulan Ramadhan ini harus menjadi momentum untuk memahami, menelaah dan mengamalkan kandungan ayat-ayatnya. “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”_ (Qs. Al-Qamar [54]: 17)

Anang Rikza Masyhadi
Pondok Modern Tazakka Batang