Konsep Ujaran Dalam Al-Quran

Konsep Ujaran Dalam Al-Quran

 Dalam Al-Quran banyak dijumpai konsep ujaran. Ada 'qaulan   ma'rufa', 'qaulan karima', 'qaulan sadida', 'qaulan tsaqila', 'qaulan   baligha', 'qaulan layyina', 'qaulan adzima', dan lain sebagainya.   Artinya, konsep ujaran begitu pentingnya sehingga Al-Quran   memaparkannya dalam berbagai ragam konsep.

 Tentu saja, masing-masing konsep tersebut menunjuk pada suatu makna tertentu. Para ahli tafsir mencoba menjabarkannya dalam ragam uraian akademik tentang konsep-konsep ujaran itu.

Beberapa contoh ingin dikemukakan di sini. Misalnya, setiap ujaran yang mengandung penentangan yang nyata terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya adalah 'qoulan adzima'.

"Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar dosanya. Dan sesungguhnya dalam Al-Quran ini Kami telah ulang-ulangi peringatan-peringatan, agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari dari kebenaran." (Qs. Al-Isra [17]: 40-41)

Termasuk jenis 'qaulan adzima' adalah setiap ujaran kebencian (hatespeech), atau ujaran yang mengandung permusuhan dan penipuan. Apalagi di era digital dan arus informasi yang sangat terbuka, orang zaman ini begitu mudah mengakses informasi.

 

Maka, di media sosial, jika orang hanya menggunakannya untuk menumpahkan fitnah, caci maki dan menyebarkan ujaran-ujaran yang justru semakin menjauhkan manusia dari jalan Allah, maka hal tersebut termasuk jenis 'qaulan adzima', yaitu perkataan yang mengandung dosa besar.

Ada lagi konsep kata yang disebut 'qoulan sadida'. Yaitu suatu perkataan yang lugas, langsung ke inti masalah dan mencerminkan kejernihan berpikir dari penuturnya. Atau dalam istilah Inggris disebut 'straight to the point'.

Dalam konteks budaya Nusantara, 'qaulan sadida' lebih mungkin dipraktekkan oleh suku Batak atau Bugis, yang umumnya jika berbicara lugas dan to the point; tidak basa basi.

Ada lagi jenis 'qaulan layyina', yaitu perkataan yang lembut namun mengandung nasehat. Biasanya dipraktekkan oleh suku Jawa, atau orang tua kepada orang yang usianya di bawahnya sebagai bentuk nasehat.

Dalam Al-Quran, 'qaulan layyina' digunakan untuk menasehati pemimpin yang dzalim, sebagaimana Musa dan Harun menasehati Firaun. Artinya, menasehati pemimpin terkadang perlu menggunakan pendekatan qoulan layyina, perkataan yang lembut, seperti halnya seorang guru yang menasehati muridnya.

"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Qs. Thaha [20]: 44)

Hampir sama dengan 'qaulan layyina' adalah 'qaulan baligha'. Yaitu kata-kata yang jelas dan menyentuh hati pendengarnya. Para dai atau ulama dalam menyampaikan risalah dakwah harus jelas dan harus dapat menyentuh hati pendengarnya. Setiap tausiyah mereka adalah bagian dari 'qaulan baligha'. Maka dari itu, ceramah atau tausiyah seringkali disebut tabligh.

Ada pula yang disebut dengan 'qaulan tsaqila', yaitu kata-kata yang berbobot dan berat dari seorang ahli hikmah. Artinya, 'qaulan tsaqila' biasanya memuat sebuah konsep pemikiran yang mendalam dan memiliki bobot baik secara intelektual maupun spiritual.

'Qaula tsaqila' oleh Al-Quran lahir dari sebuah proses pendekatan diri kepada Allah. Yaitu dengan memperbanyak shalat malam, membaca Al-Quran, berdzikir dan bersabar menghadapi cobaan hidup.

Para ulama atau para wali Allah yang telah mencapai maqom ini, maka saat berbicara perkataannya pasti berbobot dan berisi. Kata-kata hikmah dari para ulama adalah qaulan tsaqila sehingga bisa bertahan ratusan tahun, karena ia lahir dari perenungan mendalam setelah melalui proses spiritual tinggi.

Demikianlah sekedar beberapa contoh saja. Sebab, jika dikupas satu per satu di sini tentu tidak memadai. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa Islam melalui kitab sucinya, Al-Quran, memaparkan konsep ujaran yang begitu luas.

Dengan kata lain, Islam memandang penting setiap ujaran manusia. Maka, tidak boleh ada orang berujar atau bertutur yang menyimpang dari kebenaran dan menimbulkan kegaduhan serta perpecahan.

Karenanya, Rasulullah SAW pun bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik, atau (jika tidak bisa), maka hendaknya ia diam." (HR. Bukhari & Muslim).

Rasul hanya memberi dua pilihan: berkata yang baik atau diam. Artinya, jangan sampai ujaran dan perkataan kita tidak baik.

Senada dengan itu, dalam pepatah Arab disebutkan bahwa: "Keselamatan seseorang terletak pada menjaga lisannya."

Sayangnya, hari ini kita saksikan kegaduhan luar biasa karena ada orang yang tidak bisa menjaga lisannya, dan tidak mau diam. Dalam konteks hari ini, lisan bisa pula dimaknai tulisan. Orang menulis di medsos hakekatnya adalah sedang berujar. Maka, bagi kaum muslimin seyogyanya berkatalah yang baik atau diam.

KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.

| Pimpinan Pondok Modern Tazakka |

www.tazakka.or.id