Panca Jiwa Pondok Pesantren; KH Imam Zarkasyi

Panca Jiwa Pondok Pesantren; KH Imam Zarkasyi

Untuk memperoleh pengertian pondok pesantren, tak usah membuat analisa terlalu njlimetdengan meninjau sejarah pondok sampai ke zaman kuno, membandingkanya dengan sistem pendidikan Mandala dan sebagainya. Cukuplah kita memperhatikan perkembangan agama Islam di tanah air kita, sekitar 100-200 tahun lalu, di mana pondok pesantren menunjukkan peranan-nya yang sangat penting dalam penyiaran agama Islam.

Tentu, kita tidak menerima pengertian pondok pesantren sebagaimana definisi para orientalis, seperti Snouck Hurgronje, yang memperhatikan bentuk lahir atau kulitnya. Snouck Hurgronje hanya menerangkan bentuk rumah tempat kediaman para santri dengan segala tradisinya yang statis. Sebab memang bukan itu hakikat pondok pesan-tren yang banyak memberikan jasa pada agama, nusa dan bangsa.

Pondok pesantren dapat dirumuskan sebagai berikut: Lembaga Pendidikan Islam dengan sistem asrama, dengan kiai sebagai sentral figurnya, dan masjid sebagai titik pusat kejiwaannya. Jadi, hakikat pondok pesantren terletak pada isi dan jiwanya, bukan pada kulitnya. Di situ­lah kita temukan jasa pondok pesan­tren bagi agama, nusa dan bangsa.

Pokok isi pondok pesantern adalah pendidikan mental dan karakter. Selama beberapa abad sebelum ada sekolahan ala barat, pondok pesantren telah memberikan pendidikan yang sangatlah berharga kepada para santri sebagai kader-kader mubaligh dan pemimpin umat dalam berbagai bidang kehidupan.

Di dalam pendidikan pondok pesan-tren itulah terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menetukan filsafat hidup para santri. Adapun pelajaran  atau pengetahuan yang mereka peroleh bertahun-tahun merupakan bekal kelengkapan dalam kehidupan mereka kelak.

Ilmu pengetahuan atau pelajaran yang diberikan di pondok pesantren, dapat saja berbeda-beda: tinggi dan rendah, dan caranya pun dapat selalu berubah dan berbeda-beda disesuaikan
dengan pandangan dan hajat masyarakat atau pandangan hidup tiap-tiap orang. Namun, jiwa pondok pesan­tren itulah yang menentukan arti hidup serta jasa-nya pada negeri ini.

Jiwa Pondok Pesantren.

Jiwa keikhlasan, yaitu sepi ing pamrihatau semata-mata karena dan untuk ibadah. Kiai ikhlas dalam mengajar, para santri ikhlas dalam belajar, lurah pondok ikhlas dalam membantu. Segala gerak-gerik pondok pesantren berjalan dalam suasana keikhlasan yang mendalam. Ar­t­inya, ada suasana hidup yang harmonis: kiai disegani, santri taat dan patuh cinta serta hormat.

Jiwa kesederhanaan,  sederhana bukan berarti nrimo, dan bukan berarti kemelaratan atau kemiskinan. Akan tetapi kesederhanaan mengandung unsur-unsur kekuatan dan ketabahan hati dalam menghadapi segala kesulitan. Di balik kesederhaan itu,  terpancar jiwa yang besar, berani maju terus pantang mundur dalam segala keadaan. Di sinilah tumbuh mental atau karakter yang kuat: syarat suksesnya perjuangan dalam segala segi kehidupan.

Jiwa berdikari, inilah senjata hidup yang paling ampuh. Berdikari bukan ­hanya santri selalu belajar dan berlatih mengurus segala kepentingan sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan tidak pernah menyandarkan kehidupanya kepada bantuan dan belas kasihan orang lain. Itulah self berdruifing system(sama-sama memberikan iuran, dan sama-sama dipakai).

Jiwa ukhuwah islamiyah, kehidupan di pondok pesantren meliputi suasana persaudaraan yang akrab, suasana persatuan dan gotong-royong. Dengan demikian segala kesenangan dirasakan bersama dengan jalinan perasan keagamaan. Dan dibawa sampai luar, bahkan sampai mempengaruhi persatuan umat dalam masyarakat.

Jiwa kebebasan, bebas dalam berpikir dan berbuat, menentukan masa depan, memilih jalan hidup, berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi hidup. Namun, kebebasan itu jangan salah digunakan, tetaplah berpegang teguh pada tradisi. Karena itu kebebasan harus dikembalikan ke aslinya. Yaitu bebas di dalam garis-garis disiplin dan penuh tanggung jawab, baik di pesantren maupun di tengah masyarakat.

Jiwa yang menguasai suasana kehidupan pesantren inilah yang dibawa santri sebagai bekal pokok dalam kehidupan di tengah masyarakat. Jiwa pondok pesantren inilah yang harus senantiasa dihidupkan, dipelihara, dan dikembangkan sebaik-baiknya.

“Pondok pesantren dapat dirumuskan sebagai berikut: Lembaga Pendidikan Islam dengan sistem asrama, dengan kiai sebagai sentral figurnya, dan masjid sebagai titik pusat kejiwaannya. Jadi, hakikat pondok pesantren terletak pada isi dan jiwanya, bukan pada kulitnya”.