JUJUR DALAM MENGOREKSI JAWABAN UJIAN: KH. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag.

JUJUR DALAM MENGOREKSI JAWABAN UJIAN: KH. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag.

Setiap habis ujian, tugas ter­berat guru adalah mengoreksi jawaban. Dahulu setiap awal ujian tahriri atau tulis, Direktur KMI memperingatkan cara-cara koreksi. Semua guru-guru akan diuji terlebih dulu, bagaimana dia mengkoreksi. Prinsip paling pen­ting dalam mengkoreksi adalah A’thi kulla dzi haqqin haqqahu, yaitu berikanlah kepada yang berhak sesuai haknya. Kita harus memberikan hak siswa se­bagaimana hasil jawabannya. Untuk itu kita harus jujur, apa adanya. Pondok adalah alam kejujuran, maka saat mengoreksi hasil ujian guru harus tekun dan jujur.

Mungkin ada yang merasa bahwa mengkoreksi itu membosankan. Namun itu adalah tanggung jawab seorang guru. Selain mengajar, guru juga harus mengoreksi, karena itu terkait erat dengan mengajar. Bertanya, menguji, dan mengkoreksi merupakan tanggung jawab seorang guru. Dengan begitu guru akan tahu sampai dimana hasil mengajar dan belajar siswa.

Karena itu, masing-masing guru mesti mengoreksi dengan betul. Artinya, memberikan hak yang dikoreksi dengan tepat. Jangan sampai zalim. Jika di dalam ruang ujian pengawasannya sudah begitu ketat, sampai tidak ada seorang siswa pun yang dapat menyontek dan berperilaku tidak terpuji, maka selanjutnya guru mengoreksi dengan betul dan jangan sampai curang. Jangan sampai kurang teliti, sehingga yang betul di­salahkan dan yang salah dibetulkan. Itu bentuk ketidakjujuran. Setiap guru mesti hati-hati dan takut dosa. Meski tidak ada orang yang tahu selain dirinya, namun Allah SWT Maha Tahu.

Selain itu, dengan mengkoreksi seorang guru juga belajar. Guru akan termotivasi untuk belajar. Guru tidak hanya menilai betul dan salahnya jawaban, tetapi juga ta’bir dan uslubnya juga dinilai. Misalnya, pelajaran Matematika, tidak hanya hasilnya saja yang dinilai namun juga caranya atau rumusnya. Ada yang caranya betul tapi hasilnya salah dan ada pula yang caranya salah namun hasilnya betul. RelaxInfo. Dalam mengkoreksi Dirasah Islamiyyah yang menggunakan bahasa Arab, shihhatu ta’bir menentukan penilaian. Tidak hanya betul jawabannya saja, namun juga uslubnya diperhitungkan.

Diharapkan koreksi dapat selesai tepat dengan selesainya ujian tahriri. Sebab koreksi pada saat ini tidak terlalu banyak. Berbeda dengan yang lalu-lalu, dimana koreksian sangat banyak. Sekarang ini, paling banyak guru mengkoreksi 15 bundel. Meski ditentukan waktunya namun ketelitian harus tetap terjaga. Ketelitian ini dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, seperti keadaan ramai dan sepi, lapang dan sempit, maupun lapar dan kenyang. Untuk itu hendaknya setiap guru yang mengoreksi mencari tempat-tempat yang sepi dan tenang. Karena ketenangan akan mempengaruhi hasil atau betulnya koreksi. Jika mengoreksi sambil menonton sepak bola  di lapangan tentu konsentrasi dalam mengkoreksi akan buyar.

Apalagi di awal-awal mengoreksi harus betul-betul konsentrasi. Mengoreksi pelajaran Insya di hari-hari pertama harus dimulai dengan pelan-pelan. Mungkin pertama-tama mengkoreksi dalam 1 lembarnya dapat selesai 5 menit atau lebih dari itu. Tapi jika sudah masuk lembaran ketiga, keempat dan se­terusnya akan bisa lebih cepat karena sudah hapal jawabannya.

Bagaimana mengawasi dan mengkoreksi dengan betul? Sekali lagi, harus jujur, betul dan takut dosa. Jangan zalim meski orang lain tidak mengetahuinya. Allah SWT Maha Tahu. Mengapa selalu kita peringatkan hal-hal seperti ini? Karena setan-setan selalu berupaya mendekati para guru yang mengoreksi. Setan mendekati sambil mengganggu dengan membisiki supaya bosan, jenuh, dan sejenisnya dalam mengoreksi.

Demikian yang harus kita hadapi dalam mengoreksi. Jangan menambah dan mengurangi nilai. Jika nilainya 3, berikan 3, dan jika nilainya 8, berikan 8. Jangan sampai ditambah ataupun dikurangi. Ingat Pondok kita alamnya kejujuran dan keikhlasan. Mudah-mudahan kejujuran dan keikhlasan masih dapat terus kita tegakkan dalam Pondok ini. Sehingga, baik yang diuji maupun yang menguji merasa puas dan tidak terzalimi. Guru merasa puas dan murid pun merasa puas pula. Jangan sampai terjadi dan ada ungkapan-ungkapan “Kok murid saya gak bisa dapat nilai sekian?” atau “Saya bisa menjawab, tapi kok dapat nilai sekian?”