PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR

PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR

Dalam Ilmu Sosiologi dikenal ada 3 hal yang membuat seseorang maju, berkembang, dinamis, dan akhir­nya berkarakter.

Pertama, kerjasama. Dengan kerjasama orang akan mendapatkan banyak hal dari rekan-rekan kerjasama­nya; entah ilmu ilmu, pengetahuan, pengenalan ragam-ragam sifat dan sikap. Sehingga, semua akan menjadi khazanah ketika dirinya akan bekerja di tempat lain, dengan jenis pekerjaan dan lingkungan yang berbeda.

Kedua, konflik. Jelas, konflik atau gesekan ini merupakan adu kekuatan, adu pengaruh, adu taktik. Siapa yang lebih kuat, berpengaruh, dan taktis akan unggul. Tentu saja konflik dalam arti positif. Ketika belum bisa mengakomodasi sikap yang berbeda dari teman kerjasamanya, orang akan memaknainya sebagai konflik. Nah, konflik itu akan berkahir ketika orang yang terlibat sudah mampu saling memahami. Misalnya, dengan cara menyamakan tolok ukur atau nilai-nilai yang digunakan dalam kerjasama.

Ketiga, kompetisi. Jika dalam konflik yang dihadapi hanya satu orang, maka dalam kompetisi atau persaing­an orang akan menghadapi banyak lawan, pesaing. Jika menang, harga diri dan rasa percaya dirinya naik. Dia unggul.

Begitu pula yang terjadi dan sengaja dibuat di Pondok Modern Darussalam Gontor. Sejak menjadi santri­ hingga tamat, mereka selalu dihadapkan dengan ketiga­ hal di atas. Begitu masuk, mereka langsung dipisahkan dengan orangtuanya, agar segera mengenal teman-­temannya dan segera memupuk kerjasama, apa saja. Sehingga terbina Ukhuwwah Islamiyah yang kokoh. Setelah menjadi santri, puluhan bahkan mungkin ratusan ajang kerjasama dapat ditemukan di pondok ini: kelas, asrama, muhadharah, pramuka, kursus, klub olahraga, kesenian, dsb.

Ajang-ajang dimaksud, sekaligus, juga merupakan tempat-tempat terjadinya konflik dan kompetisi. Tujuan diciptakannya ajang kerjasama, konflik, serta kompetisi itu agar para santri tumbuh kreatif dan menjadi dewasa. Mereka tidak cengeng ketika hanya kalah dalam satu ajang persaingan, karena masih sangat banyak ajang persaingan lainnya.

Nah, saking banyaknya ajang kerjasama, konflik, dan persaingan di Gontor, terkadang, santri Gontor terlalu asyik atau fanatik hanya pada satu aktivitas saja. Energinya terlalu diforsir ke ajang tersebut. Sehingga, ketika dia merasa gagal, dunia rasanya mau runtuh, malu kalah persaingan. Namun, ketika dia diajak bica­ra­ baik-baik, disadarkan, dimotivasi (bahasa Gontornya di-tasyji’), bahwa masih sangat banyak ajang pertempuran yang belum diikuti. Semangatnya pun kembali, fight, dan tidak sedikit yang kemudian unggul. Meski bukan yang terbaik, tetapi, yang pasti, harga diri dan rasa percaya dirinya akan pulih. Yang jelas, Gontor juga mengajarkan “Event the best, can be improved.”

Di Gontor tidak ada permusuhan abadi. Setiap kon­flik­ begitu relatif mudah diselesaikan. Adakalanya, konflik diselesaikan oleh dua belah pihak yang bersangkutan. Namun, tidak menutup kemungkinan harus diselesaikan oleh kekuatan yang lebih tinggi. Konflik di rayon diselesaikan di tingkat asrama; konflik di tingkat asrama diselesaikan di tingkat pengurus pusat OPPM. Konflik di tingkat pengurus pusat OPPM, diselesaikan oleh Staf Pengasuhan Santri. Aktivitas dan dinamika pergaulan santri juga dituntun/diiringi/dilandasi de­ngan materi-materi pelajaran di dalam kelas, seperti Mahfuzhat (kata-kata hikmah), Hadis-hadis Rasulullah­ SAW, serta ayat-ayat al-Qur’an. Arti­nya, segala gerak langkah, berpikir, berperasaan, serta berbicara santri ada landasan agamanya. Ini pula yang akan dipakai menyelesaikan segala masalah.

Satu hal yang tidak mudah dilakukan dalam menyelenggarakan pendidikan ala Gontor, yakni keteladanan. Sebagian besar santri, dalam berbuat di pondok, mencontoh seniornya. Puncakanya, kiai, Pimpinan Pondok sebagai sentral figur adalah contoh utama dalam segala hal: gerak-gerik, pola pikir, sikap, perilaku, cara bicara. Maka, tidak ada yang tidak bisa dikerjakan oleh santri di Gontor. Sebab —kecuali dibimbing, juga ada keteladanan.

Itulah mengapa santri Gontor harus mondok 24 jam penuh, bukan hanya sekolah. Jika hanya sekolah, maka tidak akan mengalami hal di atas. Yang mereka ketahui hanyalah kelas, kelas, dan kelas. Bagaimana situasi di kamar, asrama, kamar mandi, lapangan olahraga, tempat kursus bahasa, keterampilan atau kesenian, tidak akan mereka alami. Itu semua, sebenarnya, merupakan hidden curriculum di Gontor. Selain khazanah, semua pengalaman dalam aktivitas yang banyak dan beragam itu akan menjadi bekal mereka setelah tamat dan menjadi alumni, bahkan akan membentuk karakter dengan sendirinya, “karakter Gontor.” Yang sering terjadi hingga saat ini, jika ada dua atau lebih orang bertemu, saling berkenalan, dan akhirnya diketahui bahwa mereka sama-sama alumni Gontor, keakraban pun dengan begitu saja terjalin, tulus.

Jadi, tanpa perlu gembar-gembor tentang bagai­mana­ pendidikan karakter harus dirancang, Pondok Modern Darussalam Gontor sudah melakukannya sejak awal didirikan; kian lama kian disempurnakan. Wallahu a’lam bi shawab.