Desakralisasi Kehidupan (2)

Desakralisasi Kehidupan (2)

Tazakka,- Sesungguhnya di dalam sistem ajaran Islam segala perbuatan manusia bernilai sakral dan transenden, dan telah ditentukan aturan-aturannya. Rasulullah SAW melalui sunah-sunahnya yang otentik telah mewariskan banyak sekali panduan tata cara kehidupan manusia seluruhnya.

Pada tingkat amaliyah atau praktis, seseorang untuk mewujudkan sakralnya setiap perbuatan harus didahului dengan niat yang benar. Karena, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW, segala perbuatan kita ditentukan oleh niatnya. “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran dari niatnya itu.” (HR. Bukhari Muslim)

Seorang sufi besar, Ibnu Athaillah, mengatakan bahwa amal itu seumpama jasad sedangkan keikhlasan adalah ruhnya. Maka, amal perbuatan yang tidak dilandasi keikhlasan ibadah jasad tanpa ruh.

Bahkan, niat menjadi pangkal diterima atau tidaknya suatu amalan oleh Allah SWT. sebagai misal, seorang dai yang niat dakwahnya untuk mencari popularitas dan menumpuk kekayaan belaka, maka dia hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya itu, sementara di Akhirat tidak akan mendapatkan apa-apa. Seorang guru yang mengajar sekedar memenuhi tugas formalnya saja, maka ia pun tidak akan mendapatkan pahala besar seperti yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, seseorang yang sangat dermawan membantu orang lain yang kesusahan, jika niatnya bukan semata-mata mencari ridho Allah SWT, maka kelak di Akhirat tidak akan menuai apapun. Sungguh, nestapa sekali orang-orang seperti ini!

Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan kufur terhadap perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (Qs. Al-Kahfi[18]: 103-105)

Maka, keikhlasan itu penting dalam konteks niat, yaitu meluruskan maksud dan tujuan semata-mata untuk menggapai ridho Ilahi. “Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas yaitu memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (Qs. Al-Bayyinah[98]: 5)

Maka, segala amal perbuatan yang tidak dilandasi keikhlasan sebagaimana dijelaskan tadi, hal itu tergolong perbuatan riya sehingga menjadi tidak sakral lagi. Beberapa ayat dalam Al-Quran juga dengan tegas menyebutkan tentang riya. “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisa[4]: 142)

Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya’ kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil setan menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.(Qs. An-Nisa[4]: 38)

Dengan demikian, riya merupakan faktor pemicu terjadinya desakralisasi kehidupan, karena riya itu sangat tendensius. Tendensius itu orang berbuat sesuatu bukan karena Allah SWT, tetapi karena motif-motif palsu yang diciptakannya sendiri. Sebab itu, dalam banyak kajian sufisme, riya terkadang dikategorikan sebagai tindakan syirik. Akibatnya selanjutnya, hawa nafsulah yang mendominasi motif perbuatan seseorang. Sebagaimana dicontohkan di bagian awal tulisan ini, misalnya saja, pernikahan yang semestinya sakral, karena hawa nafsu menjadi tidak sakral lagi. Berdakwah yang semula sangat sakral menjadi tidak bernilai lagi karena telah berubah orientasi kepada materi duniawiyah. 

Oleh karena itu, menyucikan hati dengan ikhlas dan membebaskan diri dari segala bentuk riya dalam kese­luruhan perbuatan harus menjadi komitmen setiap mukmin dalam hidupnya, karena kesucian jiwa dan raga merupakan kualitas hidup yang tak ternilai. Itulah sejati­nya tujuan ajaran agama yaitu agar manusia mencapai kesucian lahir dan batinnya.

“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan dirinya (dengan beriman), yang mengingat Tuhannya lalu mendirikan shalat. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Qs. Al-A’la[87]: 14-17).

HOME   |   WAKAF TUNAI PM TAZAKKA  |   BERITA PM TAZAKKA   |   DOWNLOAD KORAN MINI TAZAKKA   |   DOWNLOAD MP3 KH ANANG RIKZA MASYHADI   |   GALLERY KEGIATAN PM TAZAKKA