SANG PERINTIS KAMPUNG INGGRIS; Muhammad Kalend Osen

SANG PERINTIS KAMPUNG INGGRIS; Muhammad Kalend Osen

Sukses merintis lembaga kursus bahasa Inggris yang menjadi cikal bakal kampung Inggris di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tetap membuat Mohammad Kalend Osen rendah hati. Semangatnya menolak komersialisasi pendidikan tak lekang meski dihantam gelombang godaan yang relatif dahsyat.

Kampung Inggris merupakan julukan bagi sejumlah desa di Pare, yang memiliki banyak lembaga kursus bahasa Inggris. Sebagai gambaran, di Desa Pelem dan Desa Tulungrejo terdapat lebih dari 150 kembaga kursus. Itu belum di kelurahan Pare sendiri. Padahal, sebelumnya Pare hanyalah perkampungan biasa meskipun pada zaman Belanda, Pare pernah menjadi kota perdagangan yang menyangga sejumlah perkebunan di daerah sekitarnya, seperti Rangkah Pawon dan Kandangan.

Mr. Kalend, begitu ia biasa disapa, bercerita, ia datang pertama kali ke Pare untuk berguru kepada KH Mohammad Yazid. Ulama ini tersohor karena menguasai sembilan bahasa asing dengan mahir. Salah satunya bahasa Inggris yang diminatinya.

Baru lima bulan belajar, rumah kiai kedatangan 2 mahasiswa STAIN (kini IAIN Sunan Ampel Surabaya) yang ingin belajar bahasa Inggris untuk menempuh ujian nasional. Oleh karena kiai sedang berpergian, Bu Nyai, istrinya, menyarankan dua mahasiswa itu belajar kepada Kalend yang saat itu tengah menyapu masjid.

Singkat cerita, dua mahasiswa yang datang membawa 350 materi soal bahasa Inggris ini lulus ujian. Padahal mereka hanya belajar bersama Kalend dalam tempo lima hari lima malam. Dari keberhasilan itulah nama Kalend dikenal. Banyak mahasiswa lain datang belajar kepadanya. Di sisi lain, ia menjadi percaya diri. Kalend bisa mengajari mahasiswa sekalipun ia tak pernah mengenyam bangku pendidikan tinggi.

Selepas menempuh Sekolah Rakyat, Kalend melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama. Ia sempat mengajar di SD, bekerja di hutan dan perusahaan kayu. Ia lalu merantau ke Pulau Jawa. Kemakmuran masyarakat di Jawa yang dia lihat lewat film Di Balik Awan yang dibintangi Bambang Irawan menginspirasinya.

Ia mengumpulkan bekal sebagai ongkos ke Pulau Jawa. Jadilah dengan uang sekitar Rp 100.000, yang dia kumpulkan dari hasil bekerja, pemberian keluarga, dan orang-orang dermawan yang dijumpai, Kalend bertolak ke Jawa Timur.

Ia menuntut ilmu di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Di sini ia belajar bahasa Inggris dan bahasa Arab. Di tempat ini pula, Mr. Kalend menapaki awal revolusi hidup. Untuk angkatan sekelasnya, beliau termasuk paling tua. Usianya kala itu sudah 27 tahun, sementara teman seangkatannya masih berkisar umur 12-14 tahun. Termasuk para ustadz yang mengajarnya, usianya mayoritas juga jauh di bawahnya. Awal mula, Mr. Kalend merasa kesulitan beradaptasi. Beliau berpikir, begitu sulitnya belajar Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Bahwa dalam menuntut ilmu tidaklah mengenal kata terlambat, maka ia pun tetap semangat. Namun, Kalend belajar di Gontor hanya sampai kelas IV dari seharusnya kelas VI.

Kalend terpaksa putus sekolah karena tak ingin merepotkan teman-teman yang sering membantunya. Ia memutuskan memperdalam bahasa Inggris karena melihat prospeknya bagus. Ia yakin bahasa Inggris mampu menghidupinya. Berbekal bahasa Arab dan Inggris dari Gontor itulah ia kemudian pergi ke Pare untuk memperdalam bahasa Inggris. Karena Kalend menyadari pelajarannya di Gontor belum tuntas. Ia ceritakan kondisinya kepada sang guru, Kiai Yazid, yang lalu menerimanya.

Bersamaan dengan mulai berkibarnya nama Kalend karena prestasinya membimbing sejumlah mahasiswa, rezeki pun mengalir. Meski tak pernah mematok harga, para murid memberi dia imbalan yang pantas. Seiring bertambahnya jumlah murid, Kalend membuka lembaga kursus secara resmi tahun 1977. Lembaga itu diberi nama Basic English Course (BEC). Dari imbal jasa yang diterima, ia bisa memperbaiki pelayanan terhadap murid. Jika sebelumnya belajar di emper rumah mertua, bahkan di tepi sungai, secara bertahap mereka masuk kelas.

Materi pembelajaran terus diperbarui. Jika sebe-lumnya mengajar berdasarkan permintaan murid, kini ia yang menentukan materi untuk muridnya. Semua murid wajib belajar dari dasar. Proses pembelajaran berlangsung enam bulan dan harus dituntaskan. Kalend tak terpengaruh konsumen yang hanya ingin mengambil materi tertentu seperti persiapan TOEFL atau IELTS.

….disiplin itu kunci keberhasilan dalam proses pembelajaran. Ada sanksi bagi pelanggar disiplin, bahkan bisa dikeluarkan dari kelas.

Kalau murid mau belajar sampai tuntas, ia pasti mampu mengerjakan TOEFL. Kami mengajari murid untuk paham substansi belajar bahasa Inggris,” katanya.

Di tengah proses pembelajaran, dibangun semangat kebersamaan dan toleransi. Murid yang sudah mampu harus membimbing murid yang belum mampu agar mereka bisa berjalan bersama.

Kalend bahkan menerapkan disiplin. Alasannya, disiplin itu kunci keberhasilan dalam proses pembelajaran. Ada sanksi bagi pelanggar disiplin, bahkan bisa dikeluarkan dari kelas. Menurutnya, penerapan disiplin kepada murid-muridnya karena terinspirasi dari disiplin santri Gontor ketika dia nyanti dahulu.

Untuk menjaga kredibilitas, ia tidak mengobral ijazah sekalipun di iming-imingi bayaran mahal. Ia tak mau terjebak komersialisasi pendidikan yang virusnya mulai menjalar di Kampung Inggris. Ia tetap menyelenggarakan pendidikan dengan biaya yang mampu dijangkau masyarakat.

Ia mematok biaya pendidikan Rp 150.000 per bulan untuk 60 kali pertemuan atau 2500 per pertemuan. Dengan uang itu, murid mendapatkan materi pembelajaran lengkap, seperti speaking, grammar, pronouncation, writing, vocabulary, dan reading.

Jumlah murid ia batasi meski permintaan tinggi. Ia ingin para pengajar bisa fokus terhadap semua murid sehingga proses belajar-mengajar berlangsung optimal. Kalend menolak membangun asrama untuk murid. Alasannya, mereka bisa indekos di rumah warga sekitar tempat kursus. Dengan begitu, warga pun “kecipratan” rezeki. Mereka memeroleh penghasilan dari tempat indekos, warung makan, jasa penyewaan sepeda, dan toko kebutuhan harian.

Sikap tegas Kalend terhadap komersialisasi pendidikan kerap menuai protes dari sesama pelaku lembaga kursus. Ia diminta menaikkan tarif. Apalagi, biaya pendidikan itu lebih murah dibandingkan dengan tarif indekos yang mencapai Rp 500.000 per kamar per bulan. Kalend sadar bahwa keberhasilan murid bukan semata masalah sarana dan prasarana, tetapi juga jiwa guru yang ikhlas dan sabar. Bagi Kalend yang pernah 4 tahun nyantri di Gontor, keikhlasan dan kesabaran guru bukanlah sesuatu yang asing, karena ia pernah melihat dan merasakan sendiri bagaimana para gurunya di Gontor dahulu mendidik dan mengasuhnya. Itulah yang kemudian menjadi prinsip dan pandangan hidup Kalend.

Namun, Kalend tak peduli. Ia justru sedih melihat Kampung Inggris yang komersial. Pendidikan tak ubah-nya ladang bisnis untuk mengeruk keuntungan semata. Ijazah diobral dan para pegelola terbawa arus pasar.Ia khawatir lembaga kursus bahasa Inggris di sini tak ubahnya di tempat lain sehingga orang akan enggan datang. Bagi peraih penghargaan People of The Year dari Sindo (2009), Pahlawan Indonesia dair MNC TV (2012) dan Kemilau Jatim JTC ini, kualitas harus dijaga dengan mempertimbangkan pula nilai-nilai sosial.

Sebagai perintis, pendiri, dan orang yang membesarkan Kampung Inggris, dia ingin masa depan kampung ini semakin bersinar. Terima kasih Mr. Kalend, engkau telah mengajari banyak anak negeri ini mahir berbahasa Inggris, sehingga ada diantara murid-muridmu yang kini menjadi diplomat, ilmuwan, dan juru dakwah di negeri Eropa. “Thank you, Sir: Even the Best can be Improved!”

 

Kalau murid mau belajar sampai tuntas, ia pasti mampu mengerjakan TOEFL. Kami mengajari murid untuk paham substansi belajar bahasa Inggris