Butuh Pemimpin Besar

Butuh Pemimpin Besar

Negeri ini butuh pemimpin besar. Pemimpin yang memegang dua kata kunci: amanah dan tanggungjawab: “al-amanah wal masuliyyah.”

Dengan sangat lugas, Rasulullah SAW pernah menegaskan dalam Hadisnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagai pemimpin keluarga tanggung jawab seorang ayah adalah menafkahi keluarganya secara lahir dan batin. Seorang bupati bertanggung jawab atas daerahnya: kesejahteraannya, kemajuannya, ketenteramannya dan keamanannya.

Demikian pula seorang presiden bertanggung jawab atas seluruh negeri: pemerintahannya, stabilitas politik dan sosialnya, kesejahteraannya dan juga penegakan hukum serta good governance-nya. Termasuk pemimpin agama. Ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas pemahaman dan pelaksanaan ajaran-ajaran agama di masyarakatnya.

Namun, banyak orang tidak paham tanggungjawabnya. Parahnya, jika ia adalah seorang pemimpin. Ada yang paham tetapi tidak mau melaksanakannya. Maka, setiap pemimpin hendaknya merumuskan tanggungjawabnya, dan membuat ukuran yang jelas untuk melihat keberhasilan tanggungjawabnya itu.

Jangan sampai pemimpin tidak mengerti apa yang dikerjakannya. Pemimpin salah mengambil sikap. Pemimpin yang tidak peka pada apa yang sedang terjadi dengan rakyatnya. Artinya, pemimpin yang tidak paham tanggungjawabnya!

Ada orang yang bodoh dan menyembunyikan kebodohannya. Ada orang yang bodoh dan menunjukkan kebodohannya. Keduanya tetap saja bodoh. Padahal, mestinya, pemimpin haruslah berotak besar; berkapasitas besar; karena ia akan melakukan kerja-kerja besar. Otak kecil tidak bisa memimpin, kapasitas pribadi yang tidak memadai tidak cukup untuk melakukan pikiran-pikiran dan pekerjaan-pekerjaan besar.

Sebagai contoh, komputer pentium satu tidak lagi mampu mengerjakan beban pekerjaan kantor hari ini, karena tuntutan pekerjaan kantor hari ini jauh lebih besar daripada 10 tahun yang lalu. Jika mau cepat, jangan pakai pentium satu lagi, tetapi pakailah yang paling mutakhir. Nah, komputer saja harus upgrade, apalagi bagi seorang pemimpin.

Inilah yang disebut kapasitas dan kompetensi. Itulah mengapa Rasulullah SAW pernah mengingatkan: “Jika amanah telah hilang, maka tunggulah saat kehancurannya.” Abu Hurairah RA bertanya: Ya Rasul, bagaimana maksudnya orang menghilangkan amanah itu? Rasul menjawab: “Yaitu apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Bukhari)

Maksud Hadis ini adalah amanah dan kompetensi. Ada orang amanah, tapi tidak kompeten; ada yang kompeten tapi tidak amanah. Ada juga yang tidak amanah dan tidak kompeten. Akan tetapi ada pula yang amanah dan yang kompeten.

Dalam realitas seringkali terjadi banyak orang yang amanah dan kompeten tetapi tidak terpilih, atau tidak diberi kesempatan dipilih. Sebaliknya, politik uang malah merajalela. Rekrutmen kepemimpinan politik di semua tingkatannya terkadang menyisakan banyak persoalan yang perlu dibenahi. Ini soal sistem.

Jika itu pilihan kita, maka tunggulah saat kehancuran negeri ini. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Qs. Ar-Ra’d [13]: 11)

Selain syarat amanah, tanggungjawab, kapasitas dan kompetensi, pemimpin haruslah bisa mendengar, melihat, membaca, mengolah, kemudian memutuskan. Jangan cuma mendengar, tetapi tidak melihat. Jangan cuma melihat tetapi tidak mendengar. Juga jangan hanya mendengar dan melihat saja tetapi tidak memutuskan.

Jika pemimpin tidak bisa mengolah, maka akan diolah oleh orang lain. Demikian itulah pemimpin boneka, yaitu pemimpin yang digerakkan, bukan yang menggerakkan. Padahal, pemimpin itu harus bergerak dan menggerakkan.

Pemimpin yang tidak mampu memutuskan, maka seperti disebutkan dalam pepatah Arab: “Wujuduhu ka adamihi”; keberadaannya sama dengan tidak ada. Artinya, pemimpin seperti ini ada dan ketiadaannya sama saja: tidak dianggap.

Pemimpin juga perlu kepemimpinan, bukan sekedar menjadi pemimpin tetapi tidak memiliki jiwa kepemimpinan. “Leader and leaderahip“, “al-imam wal imamah“. Ini terminologi yang dipakai dalam agama. Sehingga mudah kita saksikan dalam masyarakat banyak yang ingin jadi imam shalat, tetapi sebetulnya secara kapasitas belum memenuhi kriteria imamah shalat.

Jika pemimpin tidak punya jiwa kepemimpinan, maka ia adalah pemimpin yang tidak bisa memimpin. Sebagimana halnya guru tetapi tidak memiliki jiwa mendidik. Hanya formalitas menyandang status sebagai guru, atau lebih tepatnya: buruh mengajar. Mestinya guru itu mendidik melalui sifat dan sikap keteladannya, bukan sekedar menyampaikan ilmu.

Seperti halnya, seorang ibu tetapi tidak punya sifat keibuan. Untuk menjadi seorang ibu, mudah, asal pernah melahirkan anak maka ia otomatis menjadi ibu. Akan tetapi, jika ibu tidak memiliki jiwa keibuan maka dapat dipastikan pendidikan mentalitas anaknya tidak akan sempurna.

Negeri ini masih butuh banyak pemimpin yang amanah, bertanggungjawab, punya kapasitas dan kompetensi. Pemimpin yang bisa memimpin; pemimpin yang bergerak dan menggerakkan; pemimpin yang berjuang dan memperjuangkan. Bukan pemimpin yang bergantung dan digerakkan oleh orang lain.

Bangsa ini adalah bangsa besar. Dilihat dari aspek demografis jumlah penduduk lebih dari 240 juta jiwa. Dilihat dari aspek geografis bentangan wilayah dari Sabang sampai Merauke konon sama dengan jarak antara Kairo sampai ke London; yang jika ditempuh dengan pesawat bisa memakan waktu sekitar 6 jam. Dilihat dari budaya, bangsa ini sangat heterogen: lebih dari 300 bahasa daerah dan 300 etnis. Belum lagi sumber daya alamnya yang sangat melimpah, dan juga sumber daya manusianya yang potensial.

Maka, Bangsa yang Besar ini butuh Pemimpin Besar. Pemimpin yang Negarawan. Semoga.

 

K. H. Anang Rikza Masyhadi, MA

Pondok Modern Tazakka, Batang – Jawa Tengah